top of page

Sejarah Indonesia

Perkara Parkir Kendaraan Di Jakarta

Perkara Parkir Kendaraan di Jakarta

Mengelola parkir bukan urusan gampang. Sebelum dikelola Pemda Jakarta, parkir dikelola secara borongan.

3 April 2018

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Juru parkir. (sumedang.radarbandung.id).

Warganet ramai bergunjing seputar cekcok Ratna Sarumpaet dengan petugas Dinas Perhubungan (Dishub) Jakarta. Perkaranya mengenai pelanggaran parkir mobil. Menurut Dishub, Ratna parkir sembarangan sehingga Dishub harus menderek mobilnya. Tapi Ratna bilang tidak, seraya bertanya dasar hukum penindakan petugas. Di luar cekcok Ratna dan Dishub, perkara parkir kendaraan bermotor di ibukota punya sejarah sendiri.


Kemunculan perkara di seputar parkir kendaraan bermotor berkaitan erat dengan pertumbuhan kendaraan bermotor. Jakarta, misalnya, memperoleh perkara parkir ketika kendaraan bermotor mulai jamak di jalanan pada 1970-an. Masa ini perekonomian tumbuh dan memunculkan kelas menengah baru kota. Mereka mampu membeli kendaraan bermotor, baik mobil ataupun motor.


Seorang nenek tua dari kampung berkesempatan naik mobil ke Jalan Thamrin, Jakarta, pada September 1970. Dari sebalik jendela mobil, dia berkata, “Ya, Allah, mobil begini banyak pada mau kemana?” dikutip dari Ekspres, 5 September 1970.


Mobil parkir di tepi jalan menyebabkan kemacetan di Jakarta pada 1980-an.
Mobil parkir di tepi jalan menyebabkan kemacetan di Jakarta pada 1980-an.

Itu hitung-hitungan kasar seorang nenek untuk menggambarkan kepadatan lalu-lintas Jakarta. Data statistik memperkuat gambaran itu. Ada 221.838 kendaraan bermotor di Jakarta pada 1970. Jumlah itu meningkat jadi 560.229 kendaraan bermotor pada 1976. Begitu laporan Ali Sadikin dalam Gita Jaya menyangkut jumlah kendaraan bermotor.


“…Dengan meningkatnya pembangunan dan perkembangan fisik kota serta perkembangan sosial ekonomi masyarakat, mengakibatkan adanya peningkatan frekuensi dan volume lalu-lintas yang banyak membutuhkan tempat parkir,” kata Ali Sadikin. Ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Pemda Jakarta.


Tantangannya ialah bagaimana mengelola perparkiran sehingga lalu-lintas kota tetap elok dipandang dan lancar, sedangkan peluangnya bagaimana memperoleh keuntungan finansial dari sana untuk mendukung pembangunan kota.


Menurut Ali, pola perpakiran tidak dapat berdiri sendiri. Ia harus berkelindan dengan kesatuan sistem lalu-lintas, pengangkutan kota, dan perkembangan bangunan jasa, kantor, rekreasi, dan perdagangan. Selain itu, pedoman perpakiran mesti terang dan dimengerti banyak orang.


Seragam juru parkir di lingkungan pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 1970-an. (Berita Buana, 18 November 1973/Perpusnas RI).
Seragam juru parkir di lingkungan pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 1970-an. (Berita Buana, 18 November 1973/Perpusnas RI).

Ali mengusulkan beberapa pedoman parkir. Pertama, tempat parkir selayaknya berada di luar jalan sehingga tak mengganggu lalu-lintas. Tempat parkir itu bisa berupa taman yang luas di pusat kota supaya mempunyai fungsi ganda: sebagai paru-paru kota dan tempat rekreasi. Kalau tidak berupa taman, bisa pula berbentuk bangunan bertingkat tinggi. Kedua, sebisa mungkin menghindari parkir di tepi jalan. Tapi bila terpaksa, kendaraan sebaiknya parkir sejajar dengan sumbu jalan atau serong.


Pedoman parkir itu menjadi masukan untuk pengelola parkir di Jakarta. Ia bisa swasta atau pemerintah. Tapi pada awal 1970, Pemda Jakarta belum punya kemampuan menjadi pengelola parkir. Juga belum ada swasta berminat mengelola parkir. Maka mereka menyerahkan perkara parkir ke orang sekitar. Nanti hasilnya dibagi dua.


“Kita memakai cara borongan. Kami memilih pemborong-pemborong yang berdomisili dekat tempat parkir. Sebab hanya mereka yang kenal keadaan setempat diharap bisa kerja dengan baik,” kata Eddy Djadjang Djajaatmadja, walikota Jakarta Pusat dalam Ekspres, 5 September 1970. Hasil pengelolaan pemborong itu menambah pemasukan bagi kas kotamadya Jakarta Pusat sebesar Rp250.000 per bulan. Tapi beberapa orang menduga pemasukan parkir mestinya jauh lebih besar kalau tidak ada penilepan.


Mereka bilang jumlah putaran uang yang cukup besar itu mengundang oknum-oknum liar turut ambil bagian. Oknum meminta Rp50 tiap kali mobil parkir. Padahal tarif parkir resmi hanya Rp10. Ada selisih Rp40 yang tak jelas larinya kemana. Tapi Eddy membantahnya. Menurut dia itu bukan penilepan, melainkan keikhlasan pengendara mobil memberi juru parkir uang lebih. “Pers itulah yang barangkali membesar-besarkan,” kata Eddy.


Seragam tukang parkir di Kantor Balaikota DKI Jakarta hasil rancangan Gubernur Ali Sadikin. (Sinar Harapan, 17 Mei 1975/Perpusnas RI).
Seragam tukang parkir di Kantor Balaikota DKI Jakarta hasil rancangan Gubernur Ali Sadikin. (Sinar Harapan, 17 Mei 1975/Perpusnas RI).

Meski Pemerintah Jakarta telah berupaya menyediakan tempat parkir resmi, banyak orang memarkirkan kendaraannya secara asal-asalan. Ini membuat P. Harahap, Kepala Dinas Lalu-Lintas dan Angkutan Djalan, menindak mereka. “Mendidik disiplin pemakai jalan dengan denda-denda keras..,” tulis Ekspres. Parkir asal-asalan seperti itu membuat macet lalu-lintas dan mengurangi potensi pemasukan Pemda Jakarta. Tak ada pemasukan berarti, tak ada pembangunan.


Untuk memaksimalkan potensi parkir, Pemda Jakarta membentuk PT Parkir Jaya, pengelola tunggal perparkiran di Jakarta pada 1972. Usaha pengelolaan ini hanya bertahan lima tahun lantaran PT Parkir Jaya tidak mampu memecahkan tetek-bengek prosedur parkir.


Ali Sadikin cari pemecahan lain urusan parkir ini. Dia bentuk Otorita Pengelolaan Parkir Pemerintah DKI Jakarta pada 1977. Wilayah Blok M dan Kebayoran Baru jadi garapan percontohan pertama. Beberapa lama berselang, perusahaan swasta merambah usaha parkir. Sebab kendaraan bertambah tanpa batas sementara kemampuan Pemda Jakarta untuk mengelola parkir selalu terbatas.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

Sebagai murid, S.K. Trimurti tak selalu sejalan dengan guru politiknya. Dia menentang Sukarno kawin lagi dan menolak tawaran menteri. Namun, Sukarno tetap memujinya dan memberinya penghargaan.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
bottom of page