Masuk Daftar
My Getplus

Secuplik Kisah Salah Tangkap Sengkon dan Karta

Kegemparan kasus salah tangkap Sengkon dan Karta. Terbongkar justru lewat rasa iba pelaku sebenarnya.

Oleh: Randy Wirayudha | 06 Agt 2024
Ilustrasi (pexels.com)

DUGAAN salah tangkap kembali terjadi pada kasus perampokan dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan pada Selasa (30/7/2024) dengan terdakwa Hajidin (47). Seorang saksi yang dihadirkan justru mengaku sebagai pelaku aslinya.

Hajidin disidang dalam kasus perampokan terhadap korban, Wagirin, di Mesuji Makmur, OKI, medio Januari 2024. Hajidin ditangkap aparat kepolisian sebulan berselang dan kini duduk di kursi pesakitan. Tetapi kemudian dalam persidangan, Sutikno (38, dalam beberapa sumber dituliskan Sutekno) yang hadir sebagai saksi, justru memberi pengakuan bahwa dialah yang merampok Wagirin.

“Saya pribadi meminta maaf kepada keluarga Pak Hajidin. Karena ulah saya, Pak Hajidin menanggung permasalahan ini,” aku Sutikno, disitat IDN Times, Jumat (2/8/2024).

Advertising
Advertising

Polres OKI yang menetapkan tersangkanya tetap meyakini Hajidin pelakunya. Sementara, pihak keluarga terdakwa berharap majelis hakim membebaskannya dari segala dakwaan.

Dugaan salah tangkap memang kerap kali terjadi. Sebelumnya, Pegi Setiawan juga jadi korban salah tangkap atas “Kasus Vina Cirebon”. Belakangan, dengan desakan warganet, Pegi dibebaskan pasca-memenangkan gugatan praperadilan pada awal Juli 2024. 

Sejarah juga pernah mencatat kasus salah tangkap yang menggemparkan pada 1970-an, yakni kasus perampokan dan pembunuhan seorang pedagang bernama H. Sulaiman di Bekasi dengan terpidana Sengkon dan Karta. Jika kasus dugaan salah tangkap Hajidin masih berproses di persidangan, pengungkapan kebenaran akan Sengkon dan Karta baru terjadi saat keduanya sudah bertahun-tahun mendekam di penjara.

Baca juga: Lika-liku Peninjauan Kembali Sengkon-Karta hingga Kasus Vina

Bersua Pelaku di Penjara 

Pada malam Jumat, 21 November 1974, kediaman pasutri H. Sulaiman dan Siti Haya di Bojongsari, Kabupaten Bekasi, disatroni perampok. Tak hanya kehilangan harta, pasutri korban itu juga meregang nyawa.

Mengutip Tim Lindsey dalam artikel “Reconsidering Reform: The Supreme Court and Indonesia’s Extraordinary Legal Measure” yang termaktub dalam buku Crime and Punishment in Indonesia, seorang saksi yang mengaku ikut berusaha melarikan korban ke rumahsakit, mendengar bahwa H. Sulaiman dalam keadaan sekarat membisikkan nama Sengkon dan Karta. 

“Nama Sengkon (dan Karta) yang merupakan petani setempat diduga dibisikkan sang korban yang sedang sekarat saat hendak dibawa ke rumahsakit. Sebuah sandal miliknya (Sengkon) juga ditemukan dekat tempat kejadian perkara,” tulis Lindsey.

Baca juga: Ada Oknum dalam Pembunuhan Berencana Marhaenis

Atas dasar itulah kemudian aparat kepolisian yang menginvestigasi kasusnya menciduk Sengkon dan Karta, lalu menjadikan keduanya tersangka. Dalam interogasi, Sengkon dan Karta membantah tapi dipaksa mengaku sebagai pelakunya.

“Polisi menangkap Sengkon bin Jakin dan Karta Al (alias) Karung Al Encep bin Salam dengan tuduhan kasus tersebut. Keduanya menolak mengaku sebagai pelaku. Setelah mengalami siksaan polisi, akhirnya keduanya menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP, red.),” tulis Yerry Wirawan dalam artikel “Kekacauan Hukum di Indonesia: Kasus Sengkon dan Karta” di buku Menolak Hukuman Mati: Perspektif Intelektual Muda.

Meski begitu, baru pada Oktober 1977 Sengkon dan Karta menghadapi persidangan di PN Bekasi. Dari beberapa saksi yang dihadirkan, tiga di antaranya menguatkan pembelaan kedua terdakwa dengan mengatakan di waktu kejadian, Karta sedang terbaring sakit.

Nahas, ketua majelis hakim Djurnetty Soetrisno menolak pernyataan saksi dan pembelaan kedua terdakwa. Djurnetty lebih mendasarkan keputusannya pada BAP kepolisian dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). 

Baca juga: Perjalanan Johny Indo, Perampok Cerdik dan Licin

Sengkon dan Karta akhirnya dijatuhi vonis penjara. Sengkon dihukum 12 tahun, sementara Karta divonis lebih ringan, 7 tahun penjara.

Melalui kuasa hukumnya, Sengkon mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Bandung namun ditolak. Sedangkan Karta memilih pasrah menerima vonisnya.

“Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 1/KTS/Bks/1977 yang dikuatkan oleh Putusan Tinggi Bandung Nomor 38/1978/Pid/PTS, Sengkon (tetap) dihukum selama 12 tahun penjara dan Karta dihukum selama 7 tahun penjara atas tindak pidana pembunuhan dan perampokan,” ungkap D. Y. Witanto dalam Hukum Acara Praperadilan dalam Teori dan Praktik: Mengurai Konflik Norma dan Kekeliruan dalam Praktik Penanganan Perkara Praperadilan.

Sengkon dan Karta pun makin pasrah. Bertahun-tahun mereka mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas/LP) Cipinang.

Baca juga: Para Penguasa Penjara Cipinang Legendaris

Pada medio 1980, tetiba saja ada seorang tahanan lain bernama Gunel yang dibui karena kasus pencurian. Beberapa sumber lain menyebutkan namanya “Genul”, dan disebutkan pula ia masih kerabat dari Sengkon. Gunel merasa iba pada Sengkon pasalnya kondisi Sengkon sedang parah terkena TBC. Gunel mengaku bahwa dia dan teman-temannyalah yang merampok dan membunuh H. Sulaiman dan Siti Haya istrinya.

“Dengan jujur dan merasa berdosa ia minta maaf kepada Sengkon yang harus mendekam di penjara karena perbuatan yang tidak dilakukannya. Pengakuan Gunel itu akhirnya diketahui media massa,” tulis advokat Bachtiar Sitanggang dalam kolom hukum di majalah Mimbar Kekaryaan ABRI edisi Maret 1997, “Hakikat Peninjauan Kembali Atas Suatu Perkara Pidana”. 

Berkat pemberitaan media massa besar-besaran, DPR, Kejaksaan Agung, hingga Mahkamah Agung (MA) pun “turun tangan”. Gunel dan teman-temannya lantas kembali disidang di PN Bekasi pada Oktober 1980 atas kasus perampokan dan pembunuhan H. Sulaiman dan Siti Haya.

“Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 6/1980/Pid/PN Bks dan Putusan Nomor 7/1980/Pid/PN Bks, Gunel, Elly, dkk dinyatakan terbukti bersalah,” sambung Witanto.

Gunel sendiri menerima vonis 12 tahun penjara. Sementara, Sengkon dan Karta dipulihkan statusnya dengan menghidupkan kembali mekanisme Peninjauan Kembali (PK) yang sempat mati suri. 

Dengan mendasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1980, Sengkon dan Karta diperiksa ulang dan dinyatakan tidak bersalah. Lalu karena alasan kesehatan, pada 3 November 1980 Sengkon dan Karta akhirnya menghirup udara bebas untuk segera dilakukan perawatan intensif, walau penetapan resmi pembebasannya baru keluar pada 4 November 1980.

Baca juga: R. Soeprapto, Jaksa Agung Perintis Reformasi Hukum

TAG

perampok penjara hukuman hukum

ARTIKEL TERKAIT

Kasus Perampokan Kereta Api Terbesar Ketua PSI Meninggal di Sukamiskin Lika-liku Peninjauan Kembali Sengkon-Karta hingga Kasus Vina Produk Hukum Kolonial Terekam dalam Arsip Tak Bisa Bayar Utang Dipenjara di Ruang Bawah Tanah Para Penguasa Penjara Cipinang Legendaris Cerita Bob Hasan di Nusakambangan Menonton Eksekusi Hukuman Mati di Batavia Gubernur Jenderal VOC Dijatuhi Hukuman Mati Hukuman Kasus Pembunuhan di Masa Sultan Hamengkubuwono VI