Masuk Daftar
My Getplus

Sejarah Lajur Khusus Sepeda di Indonesia

Jalan di kota-kota kolonial terbagi untuk sejumlah pengguna jalan. Salah satunya untuk pesepeda. Menghilang sejak 1970-an.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 07 Nov 2019
Lajur khusus untuk pesepeda di kawasan Cideng, Jakarta Pusat, menyatu dengan jalan kendaraan bermotor. (Fernando Randy/Historia)

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggencarkan pembuatan lajur khusus untuk pesepeda pada November 2019 sepanjang 69 kilometer. Lajur itu menyatu dengan jalan aspal kendaraan bermotor. Hanya dipisahkan oleh garis tak putus berwarna putih. Selain cat putih, terdapat pula cat hijau, kuning, dan merah sebagai penanda lajur itu.

Anggaran pembuatan lajur khusus untuk pesepeda sebesar Rp73 miliar. Anggota DPRD mempertanyakan jumlah anggaran itu. Sebaliknya, para penggiat transportasi massal dan alternatif mendukung pembuatan lajur itu. Terlepas dari besaran anggarannya. Mereka menilai pembuatan lajur itu sudah mendesak dan berkaitan dengan keselamatan semua pengguna jalan.

Lajur khusus untuk pesepeda sangat jarang ada di kota-kota besar Indonesia. Begitu pula dengan sejarah pembuatannya. Padahal dulu kala pemerintah kolonial telah membagi jalan untuk macam-macam pengguna jalan.

Advertising
Advertising

Berbagi Lajur

Sedikit catatan tentang pembagian lajur itu termaktub dalam Atoeran Mempergoenakan Djalan Raja karya Mr. Dr. F.J.W.H. Sandbergen terbitan 1939. Buku ini mengandung maklumat penggunaan jalan raya. Salah satunya untuk pesepeda.  

“Kereta angin sekali-kali tidak boleh lalu di tengah-tengah jalan,” catat Sandbergen. Kereta angin adalah sebutan untuk sepeda pada masa itu. “Kencang, cepat seperti angin,” begitu kesan almarhum Pramodya Ananta Toer, pengarang sekaligus arsiparis yang tekun mengumpulkan kliping berita dari media massa, dalam novel Anak Semua Bangsa. Novel ini mengambil latar waktu awal 1900-an di Hindia Belanda.

Sepeda mulai muncul di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. “Sepeda awal digunakan oleh pegawai kolonial dan para bangsawan, selanjutnya juga oleh para misionaris dan saudagar kaya,” ungkap Hermanu dalam Pit Onthel.

Baca juga: Onthel Sepeda Cinta

Sepeda sebermula menjadi lambang gengsi kelompok elite. Harganya mahal. Tetapi nilai sepeda menurun ketika auto atau kendaraan bermotor masuk Hindia Belanda pada 1920-an. Sepeda berubah menjadi milik orang banyak.

Jalanan kota-kota besar Hindia Belanda seperti Batavia, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan pun ramai oleh pesepeda. Bahkan Yogyakarta berjuluk kota sepeda.

Pesepeda melaju di lajur kiri jalan di Bandung pada 1933. (geheugenvannederland.nl).

Kartu pos lawasan koleksi Olivier Johannes Raap yang dibukukan menjadi Kota di Djawa Tempo Doeloe menunjukkan pembagian lajur pengguna jalan. Lajur paling kiri tersedia untuk pejalan kaki.

Gerobak sapi atau kerbau melintas di samping kanan pejalan kaki. Lalu di sebelah kanannya, lajur untuk pesepeda. Kemudian lajur untuk sado atau delman. Lajur paling kanan digunakan pengendara bermotor, roda dua ataupun empat.  

Tidak ada marka pembatas di jalan. Tapi pembagiannya jelas. Dari paling lambat menuju paling cepat.

“Tiap-tiap macam kendaraan mesti berjalan di bagian jalan yang ditentukan bagi masing-masing,” tulis Sandbergen. Dia menambahkan, pembagian itu untuk menjamin keteraturan dan keselamatan semua pengguna jalan.

Baca juga: Sejarah Tertib Berlalu-Lintas

Pengguna jalan dilarang saling menyerobot lajur lainnya. “Dalam hal itu di jalan kereta angin hanya orang yang naik kereta angin saja boleh lalu,” catat Sandbergen. Tetapi seringkali pesepeda melaju di lajur kanan, lajur kendaraan bermotor. Biasanya lantaran aspal di lajur pesepeda berlubang.

Bersepeda di lajur untuk kendaraan bermotor adalah pelanggaran lalu-lintas. Tak peduli dalih pesepeda, polisi menyemprit dan menghentikan pesepeda. “Penunggang sepeda tak henti-hentinya diperbal dan didenda,” catat P.K. Ojong dalam Kompas, 7 April 1969.

Diperbal merupakan istilah polisi koloial untuk menginterogasi pelaku tindak pidana ataupun pelanggar lalu-lintas. Jika terbukti bersalah, pelanggar lalu-lintas terkena denda.

Menurut Ojong, banyaknya pesepeda masuk ke lajur kendaraan bermotor menjadi perhatian serius harian Het Dagblad. Dalam pandangan Het Dagblad, pemerintah kurang memperhatikan kepentingan pesepeda.

Het Dagblad meminta pemerintah kolonial agar memperbaiki lajur untuk pesepeda. Tetapi Ojong tidak menyebut tanggal pasti terbitan harian tersebut sehingga mempersulit penelusuran lebih lanjut tentang fenomena itu.

Kota Kehilangan Pesepeda

Ojong menjelaskan pula tentang terulangnya fenomena masuknya pesepeda ke lajur untuk kendaraan bermotor pada 1969. Ini terjadi di Jakarta pada sekitar Jalan Sudirman. Pesepeda enggan menggunakan lajur mereka tersebab aspalnya berlubang dan bergelombang.

Saat itu, kendaraan bermotor mulai merajai jalanan. Ali Sadikin, Gubernur Jakarta 1966—1977, menekankan moda transportasi pada kereta api, bus, taksi, dan bemo. Tetapi rencana pengembangan ini kalah oleh kebijakan pemerintah pusat dengan program pengembangan industri otomotif. Hasilnya jumlah kendaraan bermotor pribadi melesat pesat di Jakarta pada 1970-an.

Baca juga: Kecelakaan Seolah Bencana Alam

Lajur sepeda menyatu dengan jalan kendaraan bermotor di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. (Fernando Randy/Historia).

Almarhum Firman Lubis, penulis buku Jakarta 1970-an, menyebut dekade 1970-an sebagai era menghilangnya pesepeda. “Sejak ramainya kendaraan bermotor, orang mulai tidak berani naik sepeda di jalan umum karena cukup membahayakan,” terang Firman.

Keterangan Firman senada dengan cerita seorang pesepeda dalam Mingguan Midi, 13 Juli 1974. Pesepeda kerapkali kena semprot atau senggol pengendara bermotor. Mereka sudah berjalan agak ke kiri. Tetapi pengendara bermotor hampir menabraknya.

“Lu mau ke mana?” teriak pengemudi sedan kepada pesepeda.

“Apakah bapak bisa menolong? Sebaiknya saya lewat jalur mana? Jalur ini khusus untuk bus kota, bemo, helicak. Tidak disebutkan sepeda. Apa lewat jalur cepat. Saya berpikir ke sana, tetapi bapak menebak saya lewat jalur bus kota. Kita selesaikan dengan pak polisi. Bisa kita tanyakan,” kata pesepeda tak mau kalah. Pengemudi sedan enggan berurusan panjang. Dia tancap gas.

Baca juga: Roda Kehidupan Legenda Balap Sepeda

Kisah tadi menggambarkan tidak ada lagi pembagian lajur untuk pesepeda. Semua lajur dikuasai oleh kendaraan bermotor. “Jakarta adalah kota untuk orang yang punya mobil. Orang yang naik sepeda atau berjalan kaki hampir-hampir tidak diakui kehadirannya di jalan-jalan raya kota ini,” kata Mochtar Lubis dalam “Jakarta Kota Penuh Kontras,” termuat dalam Prisma No 5, Mei 1977.

Keadaan pesepeda di kota besar lainnya pun serupa Jakarta. Medan, salah satu kota dengan pesepeda terbanyak di Indonesia, mulai kehilangan pesepeda hari demi hari. Pesepeda terakhir kali menguasai jalanan pada 1960-an.

“Jalur-jalur itu masih dipelihara sampai sekitar tahun 1960-an. Yaitu di beberapa jalan utama Kota Medan, seperti Jalan Kesawan, Jalan Pemuda, Hakka, Sutomo, Kapten Palang Merah, dan semua jalan penghubung inti-kota,” catat Ahmad Arif (editor) dalam Melihat Indonesia dari Sepeda. Tapi pertumbuhan kendaraan bermotor mengubah komposisi pemakai jalan di Medan. Pesepeda pun tersingkir.

Merancang Ulang

Gairah bersepeda muncul kembali pada akhir dekade 1980-an. Mirip dengan era awal kehadiran sepeda di Hindia Belanda, dekade ini ditandai dengan kepemilikan sepeda pada orang-orang kelas atas.

Kelompok ini membeli sepeda-sepeda mahal. Harganya setara atau bahkan di atas kendaraan bermotor. Rangkanya berlapis emas. Penggunaannya pun bukan untuk harian, melainkan sebatas simbol prestise atau kegiatan melobi kolega bisnis. Sehingga tak ada tuntutan dari mereka kepada pemerintah untuk menghadirkan lajur khusus untuk pesepeda.

Memasuki era 2000-an, komunitas pesepeda bermunculan. Antara lain bike to work dan bike to campoes di Jakarta dan Depok Mereka menggunakan sepeda sebagai kebutuhan transportasi harian. Karena itu mereka meminta pemerintah menyediakan fasilitas pendukung untuk pesepeda seperti parkir dan lajur khusus.

Baca juga: Orang yang Mengusulkan Presiden Bersepeda

Jalur khusus untuk pesepeda. Terpisah dari jalan kendaraan bermotor di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta. (Fernando Randy/Historia)

Beberapa perkantoran di wilayah segitiga emas (Gatot Subroto-Rasuna Said-Sudirman dan Thamrin) mulai membuat parkir khusus sepeda. Sementara kampus Institut Pertanian Bogor dan Universitas Indonesia mulai menyediakan lajur dan parkir khusus sepeda sejak 2007.

Arkian lajur khusus untuk pesepeda muncul di kota Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Jakarta, Palembang, Bogor, Balikpapan, dan Bandung. Desainnya berlainan. Ada yang menyatu dan ada pula yang terpisah dengan lajur kendaraan bermotor. Tetapi lajur-lajur itu kurang dibuat secara konseptual dan terkesan ala kadarnya.

Belakangan ini, sejumlah pemerintah kota mulai menggagas ulang konsep pembuatan lajur sepeda. Pembuatannya dirancang lebih terintegrasi dengan moda transportasi lain. Juga dengan penerapan aturan perlindungan untuk para pesepeda seperti denda bagi pengendara bermotor jika menerabas lajur pesepeda.

TAG

transportasi sepeda

ARTIKEL TERKAIT

Insiden Menghebohkan di Stasiun Kroya Bersepeda Keliling Dunia Sejarah Kereta Malam di Indonesia Masa Lalu Lampu Lalu Lintas Pemilik Motor Pertama di Indonesia Sukarno Bikin Pelat Nomor Sendiri Sejarah Pelat Nomor Kendaraan di Indonesia SIM untuk Kusir dan Tukang Becak Begitu Sulit Mendapatkan SIM Kemacetan di Batavia Tempo Dulu