Masuk Daftar
My Getplus

Kecelakaan Seolah Bencana Alam

Polisi menyebut penyebab utama kecelakaan terletak pada perilaku dan kondisi jiwa pengemudi.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 07 Apr 2018
Mobil menabrak pohon setelah pengendara hilang kendali.

KECELAKAAN kendaraan bermotor di Jakarta terjadi tiap hari. Korlantas Polri mencatat 5.140 kecelakaan sepanjang 2017. Itu berarti rata-rata ada 14 kecelakaan saban hari. Faktor penyebabnya beragam. Bisa dari kondisi kendaraan, tersebab jalan tak rata, atau lantaran perilaku mengebut pengemudi. Tiap dekade punya penyebab utama berlainan. Tapi harapan orang selalu sama: jalan jadi tempat yang aman.

Firman Lubis, seorang dokter yang mengalami masa remaja di Jakarta pada 1950-an, menyatakan kecelakaan masih jarang tersua di Jakarta. “Sebab utamanya karena jumlah kendaraan bermotor yang sedikit,” kata Firman dalam memoarnya, Jakarta 1950-an. Tapi jarang bukan berarti tidak ada.

Harian Pikiran Rakjat, 6 November 1950, mencatat kecelakaan kendaraan bermotor di Jakarta terjadi 219 kali pada September dan 200 kali pada Oktober. Jumlah kecelakaan tersebut hanya yang diurus polisi lalu-lintas dan belum termasuk kecelakaan lalu-lintas militer yang diurus langsung oleh pihak CPM (Corps Polisi Militer) dan MP (Polisi Militer).

Advertising
Advertising

Banyak kecelakaan terjadi saat jam-jam sibuk pagi dan sore hari; dan pada jalan utama Jakarta. Antara lain di Molenvliet (sekarang Jalan Hayam Wuruk), Glodok, Kramat, Matraman, dan Rijkswik (sekarang Jalan Veteran).

Polisi menyebut kepadatan lalu-lintas jadi penyebab utama kecelakaan. “Karena sangat banyaknya kendaraan bermotor dewasa ini,” terang Pikiran Rakjat.

Jumlah kendaraan di Jakarta setelah Perang Kemerdekaan (1945-1949) mencapai 20.000. Selama Perang Kemerdekaan, jumlah kendaraan berkisar 15.000. Ramainya kendaraan setelah Perang Kemerdekaan bikin pengendara kurang awas dan jalan mudah rusak. Apalagi personel polisi, rambu, dan petunjuk jalan sangat minim.

Untuk mengurangi jumlah kecelakaan, polisi bekerjasama dengan Pemerintah Kotapradja Jakarta. Mereka memperbaiki jalan rusak, menyiagakan polisi di tiap persimpangan ramai, dan menambah rambu dan petunjuk lalu-lintas di kawasan rawan kecelakaan. “Hingga Oktober 1952 telah dibikin 1.044 buah tanda-tanda lalu-lintas baru di samping papan nama disana-sini,” tulis Kotapradja, Januari 1953.

Seorang polisi lalu-lintas berpendapat awam bahwa upaya itu cukup mengurangi kecelakaan pada 1960-an. “Jarang sudah terjadi tabrakan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Angka-angkanya tipis. Ya tentu saja kadang-kadang ada juga yang selip, atau remnya blong. Tapi ini kan biasa, dimana-mana bisa terjadi,” kata polisi, dikutip Djaja, 27 Juni 1964.

Pendapat polisi lalu-lintas itu gugur jika statistik kecelakaan pada 1960-an. Djaja, 20 Juni 1964, melaporkan kecelakaan terjadi 2.090 kali pada 1960, lalu naik 2.263 kali pada 1961, naik lagi jadi 2.550 pada 1962, tetapi turun pada angka 2.515 pada 1963. Jumlah kendaraan juga naik dari tahun ke tahun. Dari 76.707 kendaraan pada 1960 menjadi 110.658 kendaraan pada 1963. Pun begitu dengan jumlah korban tewas. Hampir selalu naik.

Angka di atas sangat mengkhawatirkan. Kepolisian menyebutnya “seolah bencana alam”. Tiap hari jatuh korban tewas setelah kecelakaan. Dan penyebab utama kecelakaan maut terletak pada perilaku dan kondisi jiwa pengemudi. Anak kehilangan orangtua dan orangtua gagal melihat anaknya tumbuh besar.

“Setelah seseorang duduk di belakang kemudi mobil atau sepeda motor, orang itu akan menjadi orang lain,” tulis Djaja. Mereka memacu kendaraannya tanpa peduli keselamatan diri dan orang lain. Pedal rem tak lagi diingat dan lupa bahwa jalan milik bersama. Mereka memotong lajur kendaraan lain seenaknya dan mengklakson orang sesukanya.

“Jelas bahwa yang tidak beres pada orang ini adalah psikonya,” lanjut Djaja.

Polisi berikhtiar secara beda kali ini. Mereka gelar hajat Pekan Keamanan Lalu-Lintas di Jakarta pada Juli 1964 untuk menggugah kesadaran pengendara agar mengutamakan keselamatan bersama di jalan.

Penyelenggara hajat memajang poster berisi pesan keselamatan di jalan raya. Terpampang pula rongsokan mobil bekas kecelakaan. Tak ketinggalan lukisan dan harapan anak-anak pada pengendara di jalan. Mereka berharap suatu hari jalan raya bisa benar-benar jadi tempat yang aman buat semua orang. Maujudkah?

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Ibu dan Kakek Jenifer Jill Tur di Kawasan Menteng Daripada Soeharto, Ramadhan Pilih Anak Roket Rusia-Amerika Menembus Bintang-Bintang Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pieter Sambo Om Ferdy Sambo