Masuk Daftar
My Getplus

Tur di Kawasan Menteng

Kawasan Menteng dirancang sebagai kota taman. Dikenal sebagai permukiman elite di pusat kota Jakarta, Menteng mencoba bertahan di tengah arus modernitas.

Oleh: Amanda Rachmadita | 23 Apr 2024
Dibangun pada tahun 1920-an, rumah di Jalan Diponegoro Nomor 30, Menteng, ini kini menjadi kediaman Duta Besar Mesir. David Stanton/Indonesian Heritage Society,

SIAPA yang tak mengenal kawasan Menteng, permukiman elite di pusat Jakarta. Rumah-rumah besar dengan berbagai pohon rindang itu menjadi tempat tinggal orang-orang bergengsi, mulai dari pejabat negara, duta besar, hingga pengusaha terkenal.

Kawasan Menteng dikembangkan sejak awal abad ke-20 untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur dari komunitas hunian Eropa yang terus berkembang. Pembangunan awal Menteng berlangsung antara tahun 1910 dan 1918, berdasarkan rancangan arsitek Belanda P.A.J. Moojen, yang telah berkiprah di Batavia sejak tahun 1903.

Moojen yang belajar arsitektur dan seni lukis di Antwerp, Belgia merupakan anggota Commisie van toesicht op het Geheer van het Land Menteng (Komisi pengawasan pengurusan tanah Menteng) yang dibentuk oleh pemerintah kota Batavia. Komisi ini bertanggung jawab merencanakan dan mengembangkan wilayah Gondangdia yang lebih luas (Nieuw Gondangdia) dengan Menteng sebagai pusatnya.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Rumah Para Pemimpin Jakarta

Di sisi lain, sejak pergantian abad ke-19 ke abad 20, pengembangan kota taman (tuinstad) marak dilakukan di Eropa, khususnya di Belanda. Tak heran bila Moojen terinspirasi untuk menghadirkan sebuah kota taman di Hindia Belanda. Menteng pun dirancang sebagai kota taman dengan luas tanah melebihi 500 ha.

Moojen bersama Bouwmaatschappij N.V. de Bouwploeg merancang pola jaringan jalan untuk kawasan Menteng. Pelaksanaan pembangunannya sejak tahun 1911 diawasi dan dilakukan dari kantornya di gedung Bouwploeg (kini disebut gedung Boplo). Kapling-kapling di sekitar kantor Bouwploeg, yakni di Jalan Cut Meutia dan Jalan Teuku Umar, diisi dengan rumah-rumah pertama di kawasan Menteng sebelum tahun 1912.

Rumah dengan gaya arsitektur khas zaman kolonial Belanda yang masih bertahan di Jalan Syamsu Rizal, Menteng. Marcel Koers/Indonesian Heritage Society. 

Pada pintu masuk utara ke kawasan yang direncanakannya, Moojen merancang dan membangun gedung Bataviasche Kunstkring yang menjadi pusat budaya pada awal abad ke-20. Karyanya itu mendapat pujian dari H.P. Berlage. Pakar arsitektur termasyhur di Belanda itu menyebut Moojen sebagai arsitek modern pertama di Jawa, di mana bangunan rancangannya dipandang sebagai pangkal tolak arsitektur modern di Indonesia.

Saat berkunjung ke Batavia, termasuk Menteng pada 1920-an, Berlage menyebut Menteng sebagai Europese Buurt (lingkungan Eropa) karena kawasan itu mirip dengan Minervalaan, sebuah kawasan elite di selatan kota Amsterdam.

Baca juga: 

Rekreasi dan Beraksi di Taman Suropati

Penulis asal Belanda, Sveen Verbeek Wolthuys menyebut bahwa Menteng memiliki peran yang spesial dalam sejarah perkembangan arsitektur di Indonesia. “Pengembangan Menteng menjadi penanda untuk pertama kalinya perluasan sebuah kota dilakukan dengan perencanaan yang matang. Kawasan ini dirancang dengan berbagai fasilitas untuk menunjang kegiatan para penghuninya, mulai dari jalan, taman, hingga saluran drainase. Tak heran bila kemudian Menteng disebut sebagai taman bermain bagi para arsitek,” kata Wolthuys saat memberikan presentasi mengenai sejarah Menteng di Tugu Kunstkring Paleis, Sabtu, 20 April 2024.

Tak hanya itu, kawasan Menteng sebagai kota taman pertama di Jakarta juga berperan memperkenalkan ke dalam lanskap kota sebuah keragaman bangunan tradisional dan modern yang mengubah dan mempercantik tampilan kota. Di kawasan itu vila-vila bergaya Indisch tradisional dibangun berdampingan dengan bangunan dua lantai. Terdapat tiga jenis vila kecil yang luasnya tidak lebih dari 500 meter persegi dibangun di kawasan tersebut, yakni Tosari, Sumenep, dan Madura yang dirancang dengan fasilitas untuk mengakomodasi mobil dan pembantu rumah tangga. Selain itu, banyak pula rumah bergaya Art Deco yang dibangun dengan desain atap inovatif, termasuk penggunaan atap mansard yang meluas.

Seiring berjalannya waktu, sejumlah arsitek seperti F.J. Kubatz, F.J.L. Ghijsels, J. van Hoytema, dan von Essen ambil bagian dalam mengembangkan dan mendesain berbagai bangunan di kawasan Menteng. Di antaranya Logegebouw (kini gedung BAPPENAS) di Taman Surapati yang dibangun oleh Algemeen Ingenieurs- en Architecten Bureau (AIA) –biro arsitek sekaligus kontraktor yang didirikan Ghijsels pada 1916– serta Gereja Paulus rancangan Ghijsels pada 1930-an.

Rumah di Jalan Diponegoro Nomor 30, Menteng, memiliki atap berbentuk mansard. Kini menjadi kediaman Duta Besar Mesir. David Stanton/Indonesian Heritage Society.

Pada periode pasca kolonial, ketika peninggalan-peninggalan Belanda dihilangkan, Menteng sebagai lingkungan yang bergengsi tetap bertahan. Meski begitu meningkatnya nilai tanah di pusat kota, tak terkecuali Menteng, berdampak pada harga properti dan tarif pajak yang melesat tinggi. Akibatnya, banyak penghuni asli Menteng yang tidak mampu membayar biaya perawatan dan pajak yang besar memutuskan menjual rumah mereka.

Baca juga: 

Akhir Riwayat Rumah Cantik

Walaupun gaya arsitektur khas Menteng masih diperhatikan oleh beberapa pemilik rumah yang mengintegrasikan beberapa detail bangunan asli dengan struktur yang dimodifikasi atau diperluas. Namun, beberapa bangunan peninggalan asli Menteng sering kali berada dalam kondisi rusak parah sehingga sulit diperbaiki dan dipertahankan. Oleh karena itu, bangunan asli Menteng sering kali dihancurkan untuk membangun rumah baru dengan gaya arsitektur mengikuti tren masa kini.

Kondisi tersebut mendorong Perkumpulan Pelestari Kawasan Bersejarah Menteng (Menteng Heritage Society) dan Indonesian Heritage Society berkolaborasi dengan Duta Besar Kerajaan Belanda, Lambert Grijns, dan komunitas diplomatik di Jakarta menyelenggarakan wisata jalan kaki (walking tour) di kawasan Menteng pada Sabtu, 20 April 2024.

Tur itu mengajak peserta dari masyarakat umum, friends of the Indonesian Heritage Society, dan anggota komunitas budaya lainnya, mengunjungi empat rumah asli Menteng yang tercatat sebagai bangunan cagar budaya. Keempat bangunan tersebut dirancang dengan tipe yang berbeda-beda. Rumah di Jalan Diponegoro Nomor 39 misalnya, bangunan yang dirancang oleh arsitek Han Groenewegen pada tahun 1940-an itu dibangun dalam gaya Realisme Baru yang disesuaikan dengan arsitektur pra-perang. Bangunan itu mulanya dimiliki oleh Javasche Bank, lalu sempat menjadi kantor untuk Diplomat Belanda Carl D. Barkman di masa kepemimpinan Presiden Sukarno, dan kini menjadi kediaman Duta Besar Belanda.

Kediaman Duta Besar Belanda ini dirancang oleh arsitek Han Groenewegen dalam gaya Realisme Baru. Chris Davids/Indonesian Heritage Society.

Bangunan lain yang tak kalah menarik perhatian adalah sebuah rumah di Jalan Diponegoro Nomor 30, Menteng. Rumah bergaya country-house itu dirancang oleh arsitek N.J. Kruizinga berdasarkan arahan sang pemilik rumah yang merupakan seorang pengusaha bernama F. Plumacher. Pembangunan rumah yang menelan biaya sebesar f. 200.000,- itu selesai pada bulan Agustus 1922. Rumah besar dengan atap mansard itu kini menjadi kediaman Duta Besar Mesir.

Melalui walking tour ini peserta tak hanya menyaksikan bangunan-bangunan khas Menteng, tetapi juga melintasi waktu, menghayati cerita dan seluk-beluk era sebelum perang kemerdekaan. Setiap langkah menyingkap satu lapisan sejarah, mengungkap desain dan signifikansi budaya dari rumah-rumah yang menjadi saksi bisu masa lalu kota Jakarta. Tur ini diakhiri dengan presentasi Sven Verbeek Wolthuys mengenai sejarah pengembangan kawasan Menteng.

Baca juga: 

Jalan dan Ruang Hilang di Jakarta

Menurut Halida Hatta, ketua umum Perkumpulan Pelestari Kawasan Bersejarah Menteng, upaya melestarikan kawasan Menteng menjadi hal yang penting karena kawasan ini memiliki peran yang besar dalam sejarah Indonesia.

“Pembuatan teks proklamasi, yang diikuti dengan deklarasi kemerdekaan Indonesia, terjadi di jantung Menteng. Selain itu, kawasan ini juga merupakan tempat rekonsiliasi dan memelihara persahabatan antarbangsa dan masyarakat. Kita semua memiliki keinginan yang sama untuk menghormati warisan sejarah dan pada saat yang sama mempelajari dan menghargai peradabannya untuk mendapatkan kekuatan dalam menghadapi masa depan,” kata putri bungsu Proklamator dan Wakil Presiden Mohammad Hatta yang hadir dalam tur di kawasan Menteng itu.*

TAG

menteng arsitektur

ARTIKEL TERKAIT

Chairil Anwar Sang Pejuang Para Pemuda yang Diciduk Usai Rapat Raksasa di Lapangan Ikada Dari Vila Buitenzorg ke Istana Bogor Gedung Bappenas Bekas Loji Freemason Jejak Keberagaman Bangsa di Sam Poo Kong Villa Isola, dari Vila Mewah hingga Sunda Empire Raja Sriwijaya Membangun Taman Kota Ketika Arsitek Belanda Masuk Islam Sejarah Gedung Mahkamah Konstitusi dan Medan Merdeka Barat Pyonsa dan Perlawanan Rakyat Korea Terhadap Penjajahan Jepang