Jalan dan Ruang Hilang di Jakarta
Pascakemerdekaan, atas nama nasionalisme, nama-nama jalan dan ruang publik Jakarta diubah. Meninggalkan warisan yang hanya berupa kenangan.
OKTOBER 1904, Ratu Wilhelmina melantik Johannes Benedictus van Heutsz sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda. Dia dianggap berjasa dalam Perang Aceh (1873-1904) sewaktu menjabat gubernur militer Aceh.
Van Heutsz menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda hingga 1909. Bertahun kemudian, namanya diabadikan menjadi sebuah nama jalan di Batavia: van Heutsz Boulevaard. Pascakemerdekaan, namanya berubah menjadi Jalan Teuku Umar, kawasan Menteng sekarang.
Di Batavia, pada masa kolonial, pemerintah memberikan aturan-aturan tertentu mengenai penamaan jalan dan ruang-ruang publik. Untuk jalan lebar di tengah jalur hijau diberi nama boulevaard seperti Oranje Boulevaard (kini Jalan Diponegoro), Nassau Boulevaard (Jalan Imam Bonjol), dan van Heutz Boulevaard (Jalan Teuku Umar).
Menurut sejarawan Adolf Heuken yang tinggal di Menteng sejak 1960-an, Oranje dan Nassau Boulevaard sangat ramai dilalui orang, namun di daerah sekitarnya sangat tenang. “Menteng selain Boulevard Imam Bonjol dan Diponegoro merupakan permukiman yang tenang. Sangat nyaman duduk di teras di muka rumah pada sore hari sambil memandangi jalan, membaca koran, atau terima tamu,” tulis Adolf Heuken dalam Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia.
Penamaan Laan dipakai untuk jalan penghubung antara jalan ramai. Misalnya, Tamarindelaan yang kini menjadi Jalan KH Wahid Hasyim, Alaydruslaan (Jalan Alaydrus), dan Kenarilaan (Jalan Kenari).
Jalan yang memiliki kegiatan bisnis dan perdagangan diberi nama Straat. Misalnya Kerkstraaat, yang saat ini bernama Jalan Jatinegara Timur. Pasar Baru Straat dan Risjwijkstraat (JalanVeteran) adalah jalan yang hingga kini masih menjadi daerah perniagaan dan pertokoan.
Selain itu ada weg, nama jalan untuk daerah permukiman. Pemerintah melarang kawasan weg dijadikan tempat perdagangan. Weg yang terkenal adalah Javaweg (kini Jalan HOS Tjokroaminoto), Drukerijweg (Jalan Percetakan Negara), dan Jacatraweg (Jalan Pangeran Jayakarta).
Jacatraweg dahulu permukiman elite di utara Batavia. Di daerah ini, berjejer rumah besar dan megah yang dihuni orang-orang kaya. “Rumah-rumah milik orang kaya terdapat juga di sepanjang Jacatraweg yang membujur dari barat-laut ke tenggara,” tulis Abdul Hakim dalam Jakarta Tempo Doeloe.
Untuk kawasan taman kota, pemerintah menamakannya park, seperti Prinsenpark (Lokasari), Hertogpark (Pejambon), Deca Park (bagian utara Monas sekarang), Eijkmanpark (dekat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), dan Wilhelmina Park (Masjid Istiqlal).
Di Wilhelmina Park, dahulu terdapat sebuah benteng Belanda untuk menghalau para pejuang dari Jayakarta, Mataram, dan Banten. Setelah kemerdekaan, benteng ini dihancurkan dan digantikan sebuah bangunan megah bernama Masjid Istiqlal. “Dengan dibangunnya Istiqlal, runtuhlah salah satu benteng peninggalan kolonial Belanda di Jakarta, yang waktu itu diberi nama Wilhelmina Park,” tulis Alwi Shahab dalam Saudagar Baghdad dari Betawi.
Pascakemerdekaan, segala hal yang berbau Belanda dihapuskan dari bumi Indonesia, begitu pula nama-nama jalan dan ruang publik di Jakarta. Semuanya atas nama nasionalisme dan kebanggaan atas Indonesia.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar