Masuk Daftar
My Getplus

Roda Kehidupan Legenda Balap Sepeda

Hendrik Brocks. Berjaya kala muda, nelangsa di masa senja.

Oleh: Randy Wirayudha | 14 Feb 2019
Hendrik Brocks (tengah) bersama tim balap sepeda Indonesia (Foto: Dok. Pribadi Hendrik Brocks)

TANGAN kanannya sibuk menggerak-gerakkan tongkat. Tangan kirinya senantiasa mencari pegangan. Dengan langkah tergopoh-gopoh, Hendrik Brocks sampai ke kursi ruang tamu. Dia tak lagi bisa melihat. Penyakit glukoma merampas penglihatan sang legenda balap sepeda itu sejak 2007.

Sosok bersahaja berusia 77 tahun itu tinggal di sebuah rumah sederhana di Gang Rawasalak, Sriwidari, Kota Sukabumi hanya bersama istri, Yati Suryati, seorang pensiunan guru. Kehidupannya jauh dari kata sejahtera. Untuk biaya sehari-hari saja, harus ditopang bantuan kecil-kecilan keluarga besar dan para tetangganya. Hendrik sama sekali tak punya uang pensiun.

“Ya makanya kadang sakit kalau mendengar banyak atlet sekarang dikasih bonus miliaran,” ujarnya saat ditemui Historia di kediamannya, Senin (11/2/2019).

Advertising
Advertising

Baca juga: Ganefo, Olimpiadenya Bangsa Asia Afrika

Padahal, seperti halnya sepakbola dan bulutangkis, di gelanggang balap sepeda era 1960-an Indonesia pernah jadi “Macan Asia” kala Hendrik masih jadi sosok yang disegani oleh kawan maupun lawannya. Di ajang sekelas PON (Pekan Olahraga Nasional), Kejuaraan Asia, Asian Games, Ganefo (Games of the New Emerging Forces) hingga Olimpiade, pria berdarah Jerman-Sunda itu nyaris tak pernah pulang tanpa prestasi.

Dari lintasan kampung hingga dunia

Hendrik lahir di Sukabumi pada 27 Maret 1942. Perkenalannya dengan sepeda terjadi sejak usia sekolah dasar kendati hanya sekadar untuk selingan bermain.  Dengan sepeda onthel milik ayahnya, Joppi Brocks, Hendrik acap bersepeda di kebun-kebun dan kampung sekitar rumahnya.

Hendrik tak pernah menyangka sebuah event road race tingkat daerah di Sukabumi pada 1958 akan jadi titik balik bagi kehidupannya. “Anak-anak (teman-teman) bilang agar saya ikut. Tapi saya ragu karena enggak punya sepeda (balap),” sambungnya. Namun dorongan teman-temannya membuat Hendrik yang masih di usia sekolah menengah dan “buta” teknik balap sepeda itu pun mengikuti race dengan rute Sukabumi-Cisaat-Gekbrong-Sukabumi.

“Akhirnya pakai sepeda kumbang punya teman. Pas lihat lawan-lawannya, waduh pakai sepeda balap semua. Saya bengong lihat sepeda mereka. Rantainya beda, gear-nya banyak, stang-nya yang tanduk begitu. Aneh lah pokoknya buat saya waktu itu.”

Alhasil, sebelum start, Hendrik kerap mendengar sindiran meremehkan dari lawan-lawannya. “Awalnya diketawain sama pembalap-pembalap dari Bandung, Bogor, enggak tahu kenapa. Pas lagi balapan, malah dibilang: ‘Anak Sukabumi ngalang-ngalangin saja nih!’. Tapi saya diam saja,” kenangnya.

Hendrik tak gentar. “Malah tambah semangat,” katanya. Tak dinyana, Hendrik yang masih “anak bawang” justru jadi yang pertama melewati garis finis. “Pas sampai Gekbrong, saya sudah tinggal sendirian paling depan. Alhamdulillah menang,” ujarnya mengenang masa lalu.

Saking bangganya, ayah Hendrik menghadiahinya sepeda balap bekas. Sejak itu, Hendrik lebih sering ikut beragam kejuaraan di berbagai kota. Namanya mulai dikenal sejak menang sebuah event road race di Jakarta tahun 1959 dengan rute Jakarta-Serang-Jakarta. Di tahun itu pula Hendrik ikut terpilih masuk Pelatnas Balap Sepeda lewat Invitasi Nasional jelang persiapan Olimpiade Roma 1960.

“Usia saya masih 19 tahun waktu itu. Kita TC (Training Camp) di Semarang dan saya paling yunior usianya dari empat yang lolos seleksi nasional. Ada saya, Rusli Hamsjin, Theo Polhaupessy, dan Sanusi. Kita dilatih orang Italia yang lama tinggal di Medan, Maurice Lungo,” ujarnya.

Sayang, keempatnya gagal meraih medali. Hasil terbaik dicetak lewat nomor Time Trial 100 kilometer putra. Indonesia, dilansir sport-reference.com, duduk di urutan ke-26 dari 32 tim yang ambil bagian dengan catatan waktu 2 jam 34 menit 29,98 detik. Hasil itu lumayan baik bagi peserta dari Asia. Korea Selatan yang bersama Indonesia mewakili Asia di olimpiade itu hanya hanya menempati urutan ke-30 dengan waktu 2 jam 53 menit 09,51 detik.

Baca juga: Pesan Bung Karno dan Rujak Diponegoro

“Makanya waktu pulang dari Roma langsung ditunjuk oleh Bung Karno (Presiden Sukarno) bahwa balap sepeda akan jadi salah satu prioritas untuk Asian Games 1962, agar bisa memberikan emas. Tapi sebelum itu kita semua kembali ke daerah masing-masing untuk persiapan PON V dulu di Bandung (1961). Saya ikut mewakili Jabar (Jawa barat). Dari 11 nomor, saya dapat 10 emas,” sambung Hendrik.

Pasang surut

Seusai PON, Hendrik kembali ke Pelatnas di Jakarta jelang Asian Games 1962. Kali ini, tim balap sepeda dibesut pelatih asal Jerman Timur Rolf Nietzsche. “Waduh dia sih, untuk kedisiplinan tinggi sekali, keras orangnya. Apalagi dia ngomongnya bahasa Jerman terus. Kita enggak bisa ngomong Jerman tapi tetap bisa menangkap apa yang dia mau,” katanya.

Pada Asian Games 1962 yang dibanggakan Bung Karno itu, tim Indonesia memetik tiga emas. Sebagaimana dimuat dalam biografi MF Siregar: Matahari Olahraga Indonesia, tim yang berisi Hendrik, Aming Priatna, Wahju Wahdini, dan Hasjim Roesli itu memenangkan nomor Team Time Trial 100 km dengan catatan waktu 2 jam 37 menit 23,1 detik. Ketiganya, ditambah Frans Tupang dan Henry Hargini, mencomot emas kedua di nomor Open Road Race 180 km. Emas ketiga dicetak Hendrik pribadi di nomor yang sama kategori individu.

“Di Asian Games dapat tiga emas, kita semua diundang ke Istana Negara. Tapi ya, juragan (Presiden) dulu mah hanya bilang terima kasih, disuruh semangat lagi latihannya. Habis itu balik kanan, sudah. Kita mah hanya lihat punggungnya saja,” kenang Hendrik sembari memperlihatkan tiga medali yang disimpannya dengan baik di tiga kotak kayu.

Roda karier dan kehidupan Hendrik terus berputar. Medali demi medali dibawanya pulang, mulai dari Ganefo 1963 (satu emas dan satu perak), hingga Ganefo Asia 1966 (satu emas, satu perak, dua perunggu). Dua emas di Kejurnas 1967 menjadi penutup karier emasnya.

Baca juga: Ganefo, Bukan Sekadar Kompetisi Olahraga Biasa

Dua tahun berselang, Hendrik melatih tim balap sepeda Jaawa Barat di PON VII Surabaya dan mengantarkan anak didiknya, Irwan Iskak, menggamit satu emas. Namun di PON VIII Jakarta, Hendrik kembali turun gelanggang.

“Mulanya saya sama Wahju hanya disuruh melatih tim DKI. Tapi Wahju bilang, saya disuruh ikut turun lagi. Saya bilang, ‘Ah gila lu, gua kan sudah tua.’ Tapi akhirnya dia meyakinkan saya sampai akhirnya ikut turun. Dapat perunggu, lumayan, sama dikasih piagam dari Ali Sadikin (Gubernur DKI),” lanjutnya.

Setelah itu, Hendrik mulai merambah level nasional kepelatihan. Setelah ikut penataran pelatih pada 1975, Hendrik mendapat sertifikat pelatih nasional. Namun tak lama kemudian, Hendrik memilih mundur. “Saya tuh gimana ya. Kalau sudah sakit hati, saya tinggalin deh itu sepeda sampai 1983,” ujarnya tanpa mau menjelaskan penyebab persoalannya.

Lama vakum dan sempat berbelok jadi pelatih atletik tim Jabar pada 1980, Hendrik kembali pada 1983 dengan menjadi juri Tour de Java. Di tahun yang sama, dia melatih timnas untuk Kejuaraan Asia di Manila dengan hasil satu perak dan dua perunggu. Setahun kemudian Hendrik membawa anak-anak asuhnya memenangi satu emas di ASEAN Cup dan perak di Kejuaraan Asia 1985.

Sempat dimintai bantuan melatih tim PON Lampung hingga 1995, Hendrik lalu kembali ke tim PON Jabar. “Tapi saya melatihnya tim MTB (Mountain Bike). Saya disuruh melatih tim road race, enggak mau. Saya ingin suasana baru. Di PON 1995, kita dapat satu perunggu,” ungkapnya.

Selain aktif melatih, Hendrik kemudian dipercaya menjadi manajer tim Kabupaten Sukabumi tingkat Porda hingga 2008. “Saya sudah mulai tidak bisa melihat tahun 2007, tapi masih tetap, jadi si buta ini jadi tim manajer. Tapi setahun kemudian sudah saya lepas,” imbuhnya.

Tapi karena minimnya perhatian pemerintah selama dia masih aktif, Hendrik menjalani masa senjanya dengan terseok-seok. Untuk biaya sehari-hari saja, harus dibantu keluarga besar dan tetangga sekitarnya. Kondisi rumahnya sepeninggal orangtuanya terus memburuk tanpa mampu diperbaikinya.

“Enggak pernah ada bonus! Enggak kayak sekarang, bonus…bonus…bonus. Enggak saya pernah merasakan bonus. Di TC saja dulu enggak dapat uang saku. Kalaupun dapat, pas lagi kejuaraan ke luar negeri. Itu pun untuk beli oleh-oleh saja tidak cukup. Pensiun juga tidak ada. Kalau sekarang, jangankan PON, Porda aja pegawai negeri udah pasti di tangan kalau berprestasi,” ujar Hendrik dengan nada meninggi.

Untuk mengobati glaukomanya saat awal-awal terserang, Hendrik harus dibantu KONI Kabupaten Sukabumi dan teman-temannya lantaran BPJS Kesehatan pun tak punya. Medio 2007, Menpora Adhyaksa Dault sempat menjanjikan dana pensiun kepadanya. Hendrik juga mendapat bantuan rumah dari menpora.

Baca juga: Muda Melegenda, Tua di Panti Wreda

Setelah satu dekade, rumah itu terpaksa dia jual guna membiayai renovasi rumah warisan ayahnya yang ia tinggali kini. Rumah itu sempat hampir roboh sebelum bisa direhab. Tetapi sampai lebih dari satu dekade berlalu, dana pensiun yang dijanjikan Adhyaksa tak jua ditepati. Uang itu setidaknya bisa untuk menyambung hidupnya dan istri.

“Belum lama lalu, sempat saya berkirim surat juga ke Erick Thohir (Ketua Komite Olimpiade Indonesia/KOI), namun sampai sekarang belum ada jawaban soal dana pensiun itu,” kata Hendrik menutup pembicaraan.

TAG

Balap Asian-Games

ARTIKEL TERKAIT

Mengenal Lebih Dekat Beladiri Kurash Lima Sirkuit Paling Menantang di MotoGP Lika-liku Pembalap Perempuan di Gelanggang F1 Kisah Pembalap Prancis di Garis Finis Siklus Valentino Rossi Angkernya Sirkuit Nürburgring Rush Memicu Adrenalin hingga Garis Finis Sembilan Anak dan Ayah di Arena F1 (Bagian II – Habis) Sembilan Ayah dan Anak di Arena F1 (Bagian I) Garis Start Valentino Rossi