Masuk Daftar
My Getplus

Budaya Sepeda Orang Indonesia

Pandangan masyarakat tentang sepeda. Tak hanya untuk transportasi tapi juga gengsi.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 18 Nov 2019
Sepeda digunakan untuk lomba. (Fernando Randy/Historia).

Lelaki itu turun dari sepeda gunung putih. Dia memarkirkannya di halaman tempat kerja. Ada puluhan kendaraan bermotor roda dua. Sepeda itu satu-satunya di parkiran. Lalu dia membuka helm, masker, dan menyeka peluh di dahi. Dia biasa menempuh jarak 20 kilometer dari rumah menuju tempat kerja. Dia bilang jarak segitu tidak melelahkan.

Sepedanya sudah modifikasi sana-sini sesuai kebutuhan dan gambaran tentang kenyamanan. “Biar enak dipakai dan daya jelajah kekuatan sepeda saya bisa sampai puluhan sampai dengan ratusan kilometer,” kata Hendry Gustian, (33 tahun), pengajar di sebuah bimbingan belajar di Jakarta Timur.

Hendry telah menghabiskan jutaan rupiah demi kenyamanan bersepeda. Bagi dia, bersepeda tak bisa seadanya saja dan sepeda bukan cuma alat transportasi. Kenyamanan butuh harga dan sepeda adalah alat dia mencapai tujuannya. “Umur bertambah, kesehatan harus dijaga,” katanya.

Advertising
Advertising

Hal serupa diutarakan oleh Arman Widyastama, karyawan swasta di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta. Dia bersepeda sejauh 20 kilometer dari rumah ke kantornya. Menurutnya, sepeda adalah investasi kesehatan. “Sehat itu mahal. Lebih baik mencegah daripada mengobati,” katanya. Seperti Hendry, dia pun telah memodifikasi sepedanya senyaman mungkin.

Hendry dan Arman adalah sedikit contoh dari orang-orang yang memandang sepeda lebih dari alat transportasi. Mereka melihat sepeda juga sebagai alat untuk mencapai cita-cita pribadinya dan menuangkan gagasannya tentang sesuatu. Sejarah sepeda di Indonesia pun mengungkap hal serupa.

Pembeda Golongan

Sepeda masuk ke Hindia Belanda pada 1910-an. “Sepeda awal digunakan oleh pegawai kolonial dan para bangsawan, selanjutnya juga oleh para misionaris dan saudagar kaya,” ungkap Hermanu dalam Pit Onthel.

Harga sepeda sangat mahal. Setara dengan 1 ons (28,35 gram) emas atau sekarang berharga Rp19 juta. Maka penggunanya pun berasal dari kalangan elite. Jelata kebanyakan hanya mampu membayangkan menaiki kereta angin, sebutan untuk sepeda pada masa kolonial.

Baca juga: Onthel Sepeda Cinta

Kepemilikan sepeda pada segelintir elite menjadikan barang ini sebagai simbol status. “Menjadi simbol pembeda kelas antara pribumi dengan kalangan penjajah atau antara jelata dengan priyayi,” ungkap Ahmad Arif dalam Melihat Indonesia dari Sepeda. Di sini sepeda telah menjelma lebih dari alat transportasi ke kantor, pasar, atau sebatas jalan-jalan.

Karena sepeda di kaki para penjajah dan kaum elite menjadi alat penindasan, maka perlawanan dari rakyat terjajah pun juga datang melalui penggunaan sepeda. Ini dikisahkan Daoed Joesoef, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan 1978–1983, kelahiran Medan, Sumatra Utara, 8 Agustus 1926.

Baca juga: Warisan Daoed Joesoef

Daoed mempunyai ibu bernama Siti Jasiah. Ketika masih kanak-kanak, Daoed menyaksikan ibunya bertekad memiliki sepeda. Ibunya mengutarakan keinginan itu di tengah makan malam keluarganya. Moehammad Joesoef, ayah Daoed, terkejut mendengar tekad Jasiah.

“Untuk apa?” tanya Moehammad.

“Untuk bisa pergi lebih jauh dalam waktu yang lebih singkat dan bisa membawa belanjaan yang agak banyak,” tanggap Jasiah.

Moehammad kurang berkenan dengan keinginan Jasiah.

“Nik, kita ini tidak muda lagi,” kata Moehammad.

Tapi Jasiah menampiknya. Tak ada pembatasan umur untuk bersepeda dalam aturan lalu-lintas kolonial. Jasiah juga bilang nyonya-nyonya Belanda kesana-kemari dengan kereta angin. Badannya gemuk-gemuk dan usianya pun sudah tua.

“Mereka lain sih…” kata Moehammad, mencari alasan.

“Lain bagaimana? Mereka dan kita sama-sama manusia. Bedanya kan cuma di warna kulit. Akan saya buktikan bahwa saya pun bisa berkereta angin seperti perempuan-perempuan Belanda itu,” balas Jasiah, tak mau kalah.

Moehammad meluruskan kekhawatirannya. Bukan soal perempuan Belandanya, melainkan dia merasa tak enak hati dengan perempuan-perempuan di kampungnya jika melihat seorang perempuan bumiputra belajar naik sepeda.

Jasiah menegaskan, “Biarkan perempuan-perempuan sini menggunjing di belakang saya. Heran, kok mereka begitu benci pada kemajuan. Picik bagai katak di bawah tempurung.”

Baca juga: Daoed Joesoef dan Borobudur

Daoed mengungkap kisah ini dalam biografi ibunya. Judulnya Emak. Daoed melanjutkan, ayahnya tak bisa mempertahankan pendapatnya lagi. Dia membiarkan istrinya belajar kendarai sepeda.

Jasiah membeli sepeda bekas dari uang tabungannya. Dia jatuh bangun demi bisa bersepeda. Sesuai dugaan Moehammad, orang-orang kampung menggunjing istrinya begitu melihat istrinya belajar naik sepeda.

“Tingkah lakunya seperti noni dan nyonya Belanda saja,” kata seorang tetangga.

Tetangga lainnya mencibir. “Tak tahu diri!”

Perempuan-perempuan kampung berkumpul melihat Jasiah bersepeda. Berharap dia terus jatuh. Kalau dia jatuh, mereka akan bertempik sorak.

Baca juga: Perempuan Pejuang Kemanusiaan

Semua cibiran tak berarti banyak buat Jasiah. Dia akhirnya lancar bersepeda keliling kampung dan kota Medan. Orang-orang kampung terdiam, sedangkan perempuan Belanda ternganga melihat perempuan bumiputra mahir bersepeda. Menurut Daoed, jarang sekali perempuan bumiputra naik kereta angin kala itu, baik di kampung maupun di kota Medan.

Kemudian Jasiah pergi ke toko sepeda hendak membeli sepeda baru. Dia ingin sepeda yang kuat dan tangguh. Pilihannya tiga: Fonger, Gazelle, dan Raleigh. Dua buatan Belanda dan satu dari Inggris. Harga ketiganya hampir setara. Jasiah memilih Raleigh, menolak Fonger dan Gazelle.

“Saya pilih yang bukan buatan Belanda. Supaya si Belanda ini tahu kita tidak mau terus membebek kepadanya. Belanda ini kan setali tiga uang dengan Kompeni (VOC, red.),” kata Jasiah.

Dengan sepeda, Jasiah telah menghantam dua bentuk penindasan: imperialisme asing dan kebekuan berpikir kaum bumiputra.

Nasionalisme Sepeda  

Zaman mesin tiba. Auto (mobil) dan sepeda motor masuk ke Hindia Belanda pada 1920-an. Kepemilikan atas keduanya menjadi kebanggaan baru kaum elite. Sepeda sudah tak lagi menarik kaum elite. Sebaliknya, banyak kaum bumiputra mulai memiliki sepeda.

Karena jumlahnya kian banyak, sepeda tak lagi menjadi barang eksklusif. Ia justru jadi sumber pamasukan baru bagi pemerintah kolonial. Caranya dengan mengenakan pajak kepada tiap rumah tangga pemilik sepeda. Ini berlaku umum di seluruh wilayah Hindia Belanda, tetapi besaran pajaknya bergantung kepada pemerintah daerah. Sesuai dengan semangat desentralisasi pemerintahan sejak 1905.

Baca juga: Menelaah Sejarah Otonomi Daerah

Pajak sepeda masih berlaku hingga masa Indonesia merdeka. Sebagai bukti sepeda itu sudah lunas pajak, pemilik akan memperoleh tanda (penning) di bagian depan sepeda. Dengan begitu, pesepeda tidak akan dihentikan oleh polisi.

Orang tak menganggap pajak ini memberatkan. Penjualan sepeda tetap tinggi dan menjadi alat transportasi andalan masyarakat Indonesia pada dekade 1950-an.

Dalam dekade ini, hasrat orang menggunakan sepeda berkembang lagi lebih dari alat transportasi harian. Saleh Kamah, pemuda berusia 20 tahun asal Manado, menjadikan sepeda sebagai alat untuk mewujudkan impiannya: berkeliling dunia. Dia juga berkasad memperkenalkan Indonesia kepada warga dunia di tiap persinggahannya. 

Baca juga: Yang Muda yang Keliling Dunia (1)

“Bawalah Merah Putih ke seluruh penjuru dunia. Tepuklah dadamu dan katakanlah inilah Indonesia!” kata Sukarno ketika menerima kedatangan Saleh Kamah di Istana Negara, Jakarta, 8 Januari 1955. Sukarno menghadiahkan sepeda Philips untuk Saleh agar bisa menuntaskan misinya. Tapi Saleh gagal memenuhi impiannya. Dia terempas di Burma pada Februari 1955.

Sepeda Mahal

Lalu orang berpaling dari sepeda sekian lama. Hingga datang kembali kegandrungan terhadap sepeda pada pengujung dekade 1980-an. Pemerintah mengkampanyekan sepeda sebagai alat transportasi untuk mengisi slogan ‘Hidup Sederhana’. Masa ini harga minyak naik. Begitu pula dengan harga bahan kebutuhan pokok.

Sepeda dianggap turut meringankan beban hidup masyarakat. Maka berlomba-lombalah pejabat negara eksis dengan sepeda. Supaya rakyat turut pula bersepeda. Lomba bersepeda dengan gembira (fun bike) juga marak demi memasyarakatkan sepeda

Baca juga: Orang yang Mengusulkan Soeharto Bersepeda

Klub penggemar sepeda pun terbentuk, seperti Ikatan Penggemar Sepeda Jakarta. Federal, anak perusahaan grup otomotif Astra, menangkap kegandrungan orang terhadap sepeda dengan memproduksi sepeda.

Orang-orang kaya ikut tertular gandrung sepeda. Tetapi mereka enggan asal membeli sepeda. Mereka ingin sepeda yang berbeda dari kebanyakan punya orang. Eksklusivitas adalah kata kunci sebelum membeli. Sepeda-sepeda terbatas berharga mahal adalah incaran mereka.

“Kalau mobilnya sudah Mercedes atau BMW, masa sepedanya Rp2 jutaan. Kan nggak pantas?” kata Johnie, seorang pemilik sepeda mahal, seperti dikutip Tempo, 19 Oktober 1991, dalam “Gila Sepeda Berjuta Harganya”.

Garasi rumah Johnie terisi empat Mercedes, satu BMW, dan satu Volvo. Maka sepeda mahal bukanlah masalah baginya.

Baca juga: Sejarah Lajur Khusus Sepeda di Indonesia

Sering harga sepeda edisi terbatas lebih tinggi dari motor atau bahkan mobil. Orang-orang kaya membanggakan sepeda itu di hadapan koleganya dan menjadikannya sebagai simbol status.

“Mirip ketika awal-awal orang-orang Belanda di Hindia Belanda memiliki sepeda,” kata Sofian Purnama, dosen di Universitas Indonesia yang sehari-hari bersepeda.

Pengujung dekade 1980-an, pemakaian sepeda mahal hanya terbatas pada hari libur atau untuk melobi kolega. Tak ubahnya seperti olahraga golf.

Baca juga: Soeharto Tantang Rambo di Lapangan Golf

Tahun-tahun belakangan ini, kegandrungan terhadap sepeda berulang kembali. Sebagian besar orang menggunakannya untuk kebutuhan transportasi harian. Tingkat harga sepedanya masuk kategori murah dan menengah. Terjangkau oleh kebanyakan orang.

Selingkaran lainnya mampu membayar lebih untuk sepeda yang harganya jauh dari jangkauan kebanyakan orang. Bedanya dengan generasi lampau, mereka pakai sepeda mahal itu untuk pergi ke kantor. Bukan hanya untuk pamer.

“Bisa dilipat masuk kolong meja kantor,” kata Arman. Yang dia maksud adalah sepeda lipat premium. "Layaknya Jaguar. Rolls Royce-lah. Handmade,” lanjut Arman, mengibaratkannya dengan merk mobil mahal. Apa kelebihan sepeda lipat premium itu?

"Anti murah dan meningkatkan strata sosial," canda Gamma Riantori (38 tahun), salah satu penggemar sepeda yang telah menjajal banyak jenis sepeda, dari yang termurah sampai yang termahal.

Baca juga: MRT Sebuah Keajaiban di Jakarta!

Pengguna sepeda mahal sudah jamak tersua di dalam kereta Moda Raya Terpadu (MRT) dan Jalan Thamrin-Sudirman, Jakarta. Menandakan adanya pertumbuhan kelas atas di Jakarta. Mereka juga membentuk komunitas berdasarkan merk sepeda.

Buat mereka, sepeda bukanlah sekadar alat transportasi. Sejarah terus berulang. Meski itu dilihat dari sebuah sepeda.

TAG

transportasi sepeda sejarah sepeda daoed joesoef

ARTIKEL TERKAIT

Insiden Menghebohkan di Stasiun Kroya Bersepeda Keliling Dunia Sejarah Kereta Malam di Indonesia Masa Lalu Lampu Lalu Lintas Pemilik Motor Pertama di Indonesia Sukarno Bikin Pelat Nomor Sendiri Sejarah Pelat Nomor Kendaraan di Indonesia SIM untuk Kusir dan Tukang Becak Begitu Sulit Mendapatkan SIM Kemacetan di Batavia Tempo Dulu