Masuk Daftar
My Getplus

Demam Sepeda 1990-an

Sebelum banyak pesepeda kebut-kebutan. Orang memilih bersepeda santai di kota dan menjelajah kampung. Ini pesan Kasino kepada pesepeda.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 31 Mei 2021
Komunitas penggemar sepeda melakukan aktivitasnya. (Mufid Majnun/unsplash.com).

Seorang pemotor roda dua mengacungkan jari tengah ke arah pesepeda balap. Dia kesal lantaran jalannya tertutup rombongan pesepeda balap di lajur kanan Jalan Sudirman, Jakarta. Kejadian ini terekam dalam foto yang viral di media sosial pada akhir Mei 2021. Tindakan pemotor itu mendapat dukungan. Banyak orang memendam kesal pada perilaku srantal-sruntul pesepeda belakangan ini seiring tingginya minat pada kegiatan bersepeda.

Demam bersepeda telah melanda kota-kota besar dunia sejak pandemi Covid-19. Beberapa pemerintah kota di Eropa dan Asia bahkan menjadikan momentum ini untuk merapikan jalur bersepeda dan menertibkan pesepeda. Di Indonesia, demam sepeda agak sedikit berbeda. Sepeda tak hanya untuk transportasi, tapi juga buat olahraga dan rekreasi.

Demam sepeda bukan kali ini saja terjadi di Indonesia. Awal dekade 1990-an, demam sepeda pernah melanda Indonesia. “Pamor sepeda memang sedang naik. Dari sekadar sebagai kereta angin atau alat angkut murah-meriah di desa-desa, ia kini tampil lebih bergengsi di antara ‘orang kota’,” sebut Femina, No. 30, Agustus 1992.

Advertising
Advertising

Baca juga: Soeharto dan Sepeda Turangga

Di Jakarta, ratusan pesepeda turun memenuhi jalan tiap minggu pagi. Aktivitas kegiatan mereka berada di sepanjang jalur Senayan-Sudirman-Thamrin-Monas. Mereka membaur bersama ribuan orang lainnya yang menikmati olahraga pagi itu. Macam-macam olahraganya. Senam, sepatu roda, lari, sampai sepakbola.

Tiap hari Minggu, kendaran bermotor hanya boleh melewati jalur lambat di sepanjang jalan Senayan-Sudirman-Thamrin-Monas. Ini memberi ruang bagi pesepeda santai untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya. “Para orangtua asyik bermain sepeda dengan anak-anak mereka,” catat Matra, No. 31, Februari 1989.

Beberapa penggemar sepeda lainnya memilih blusukan ke kampung daripada merasakan jalan ibu kota. Mereka menggunakan sepeda gunung (MTB/Mountai Trail Bike). Masa ini MTB sangat populer karena bisa menempuh jalan aspal, becek, dan masuk kampung. Merknya dari Federal (produksi dalam negeri), Raleigh, Specialized, Veetus, Peugeot, Cannondale, Litespeed, Colnago, dan Miyata.

Baca juga: Sejarah Lajur Khusus Sepeda di Indonesia

Para pesepeda yang gemar blusukan ke kampung ini berasal dari beragam latar belakang. Ada Direktur TV Swasta, dokter, pengusaha muda, dan ibu rumah tangga. Jalan kampung yang becek dan licin kadang memaksa mereka turun dan memanggul sepedanya. Tak sedikit pula yang hampir terjatuh.

Tapi mereka tetap senang. Sesekali mereka menyampaikan salam kepada orang-orang kampung. “Melambaikan tangan pada anak-anak di pinggir jalan tanah yang kadang becek dan licin,” sebut Femina.

Saking senangnya, pesepeda blusukan kampung ini sering lupa waktu. “Janji pulang pukul sembilan pagi, ternyata baru nongol pukul dua belas siang. Kita jadi suka dinomorduakan,” kata Yuni Djamaloedin, istri pengusaha Nasri Fazil Djamaloedin.

Mulanya sang istri marah-marah kepada suaminya. Apa sih enaknya naik sepeda? Penasaran, dia pun mencobanya. Ternyata malah keterusan. “Ternyata saya bisa enjoy. Bersepeda itu ternyata asyik,” kata Linda Soegama, istri pengusaha Yoga Soegama.

Baca juga: Soeharto, Astra, dan Sepeda Federal

Harga sepeda bervariasi. Dari Rp200 ribu sampai Rp15 juta. Sepeda berharga murah buatan Federal, sedangkan sepeda mahal biasanya sepeda MTB atau balap impor (Road Bike).

Pembeli sepeda mahal berasal dari kelompok ekonomi menengah atas. Sepeda mahal itu hanya diproduksi terbatas di dunia. Misalnya sepeda John Tomac. Hanya 20 buah di dunia. “Dua di antaranya ada di Indonesia,” kata Didi dari toko sepeda Speedy Bike kepada Femina.

Kelompok pesepeda mahal membeli sepeda bukan sekadar untuk bangga-banggaan. Mereka bilang sepeda mahal itu punya nilai sejarah. Perry Josohadisoerjo, Direktur PT Sarana Pembina Buana Sentosa, pernah memesan sepeda Colnago seharga Rp25 juta saat ulang tahun ke-100 pabrik pembuat sepeda itu.

Perry juga memesan sepeda Concord model TVT 92HM, sepeda yang digunakan oleh Miguel Indurrain ketika memenangkan kompetisi balap sepeda bergengsi Tour de France pada 1991.

Seiring menyebarnya demam sepeda di Indonesia, klub-klub sepeda pun bermunculan. Ada yang mempunyai struktur formal dan menarik iuran seperti Ikatan Penggemar Sepeda Jakarta (IPSJ). Ada juga yang cair dan informal semisal Speedy Bike.

Baca juga: Budaya Sepeda Orang Indonesia

IPSJ mempunyai ratusan anggota. Mereka juga menarik bayaran untuk anggota baru. Selain itu, mereka aktif berkumpul di kawasan Monas. Setiap pesepeda bisa menjadi anggota IPSJ tanpa memandang jenis dan harga sepedanya. “Mau yang dari tukang loak kek, mau yang harganya jutaan rupiah, terserah,” kata Ismoeyanto, ketua IPSJ.

Yang penting bayar iuran dan menaati tata tertib organisasi. Tiap anggota baru akan mendapat masa pengenalan. “Para senior biasanya memberi penjelasan praktis tentang cara bersepeda yang baik dan benar,” kata seorang anggotanya.

Berbeda dari IPSJ, Speedy Bike hanyalah komunitas pesepeda kecil. Tapi anggotanya berasal dari kalangan berduit dan kesohor seperti Peter Gontha, bos RCTI, dan Airin Soetanto, mantan Ratu Indonesia.

Baca juga: Lagu Sepeda dan Pak Kasur

Selain di Jakarta, klub-klub bersepeda juga muncul di Bogor dengan nama Grup Kujang. Ada juga di Solo dengan nama Kelompok Slamet Riyadi. Lalu di Bali juga tumbuh. Bedanya, mereka mengorganisir diri ke dalam bisnis pariwisata dengan menawarkan paket wisata bersepeda.

Acara bersepeda santai (fun bike) pun sering bermunculan sebagai tanda antusiasme orang pada sepeda. Acara ini diikuti oleh para pejabat, ibu-ibu PKK, anak sekolah, sampai tokoh sohor. Kasino, pelawak Warkop DKI,  salah satu pesohor yang cukup menggemari sepeda santai. Dia bahkan mengajak Rudy Badil, teman baiknya untuk bersepeda gunung.

“‘Ketinggalan zaman lo. Ikut kita nyepeda ke Puncak, lewat Serpong dan gue akan kelola Bike’s Camp di Cipayung,’ ajak Kasino yang tiba-tiba hobi bersepeda gunung di zaman belum ramai-ramainya orang ngantor sepedaan atau bike to work,” kenang Rudy Badil dalam Main-Main Jadi Bukan Main.

Baca juga: Aturan Bersepeda pada Masa Lampau

Antusiasme Kasino pada sepeda berubah jadi petaka. Suatu hari dia terjatuh saat acara fun bike. Dia pingsan setengah jam. Setelah siuman, dia merasa baik-baik saja. Tapi tanpa dia ketahui, ternyata ada luka dalam di kepalanya hingga menjadi tumor.

Sebelum meninggal, Kasino sempat berpesan kepada penggemar sepeda. “Agar hati-hati melindungi kepalanya. Kalau pakai helm, jangan sembarang helm... Sebab sekali jatuh bisa berakibat fatal. Anehnya jatuh sekarang, dampak rasa sakitnya baru bisa diketahui sekitar enam bulan sampai dua-tiga tahun mendatang,” kata Kasino kepada Mutiara, 3 Desember 1996.

Demam sepeda mulai hilang ketika krisis ekonomi menerpa Indonesia. Kemudian sekelompok orang kembali menggiatkan kembali kegiatan bersepeda pada 2000-an. Berbeda dari sebelumnya, sepeda tak hanya digunakan untuk berolahraga atau mengisi hari libur, melainkan juga sarana transportasi harian dan perwujudan gagasan kesetaraan ruang di kota.

TAG

sepeda kota

ARTIKEL TERKAIT

Pengawal Raja Charles Masuk KNIL Bersepeda Keliling Dunia Lima Walikota Jadi Gubernur dan Presiden Menjaga Kebersihan Kota pada Zaman Belanda Ibu Kota Pindah dari Cianjur ke Bandung Tempat Jin Buang Anak Kertanagara dan Nusantara Mimpi Ibukota di Tengah Rimba Raya Binjai, dari Kota Rambutan sampai Kedebong Pisang 200 Tahun, Pasar Baru Terus Melaju