Dari Guci Jadi WC
Orang Belanda di Batavia menggunakan guci untuk buang air kecil dan air besar. Guci-guci itu kemudian dibuang para budak ke kanal pada jam tertentu hingga melahirkan sebutan bunga pukul sembilan.
BAGI sebagian orang, toilet atau WC (water closet) tak hanya tempat untuk buang air kecil dan air besar, tetapi juga tempat favorit untuk berpikir mencari inspirasi. Di tempat mal atau kafe, desain toilet yang unik nan artistik juga kerap dimanfaatkan pengunjung untuk swafoto. Namun, berbeda dengan masa kini di mana toilet menjadi fasilitas vital yang tersedia di berbagai tempat, di zaman kolonial VOC, rumah-rumah orang Belanda di Batavia umumnya tidak memiliki toilet.
Menurut Sir John Barrow, Sekretaris Departemen Angkatan Laut Inggris, dalam catatannya yang termuat dalam Jawa Tempo Doeloe: 650 Tahun Bertemu Dunia Barat, 1330–1985, yang disusun James R. Rush, ada dua alasan yang menyebabkan orang-orang Belanda di Batavia memilih tak memiliki kamar kecil atau toilet.
Pertama berkaitan dengan iklim panas yang dipandang dapat memengaruhi kondisi sedemikian rupa sehingga menimbulkan bau busuk tersebar ke dalam kota. Kedua, tikus bandicoot besar dikhawatirkan bersarang di tempat-tempat tersebut sehingga tempat itu tak aman untuk digunakan, terutama bagi penduduk pria. “Alasan yang pertama sangat konyol, sedangkan alasan yang kedua lebih tidak masuk akal,” tulis Barrow.
Baca juga: Peradaban dari Jamban ke Jamban
Oleh karena itu, daripada membangun kamar kecil, para imigran Eropa memilih menggunakan guci besar yang sengaja dibuat di Cina untuk buang air kecil maupun air besar. Dalam pengamatan Barrow yang mengunjungi Batavia pada 1792, guci itu memiliki bagian atas yang sempit dan rendah serta menggembung sangat besar di bagian tengah dan dibiarkan tergeletak di sudut tertentu di dalam rumah. Pada jam-jam tertentu para budak akan mengosongkan guci-guci tersebut.
Arsiparis Frederik de Haan dalam Oud Batavia Volume 2 menyebut rumah-rumah orang Belanda pada masa itu tidak dibangun di atas septic tank atau tangka septik. Dengan demikian, rumah-rumah mereka umumnya dibangun berdekatan dengan kanal atau saluran air yang memungkinkan para budak membuang sampah maupun kotoran ke kanal setelah jam sembilan malam (jam penutupan pub).
Menurut Peter J. M. Nas dan Kees Grijns dalam “Jakarta-Batavia, A Sample of Current Socio-Historical Research”, yang termuat dalam Jakarta-Batavia: Socio-Cultural Essays, sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan polusi di Batavia, sejak tahun 1630 pemerintah memberlakukan aturan pengosongan tinja ke dalam kanal-kanal hanya boleh dilakukan setelah pukul sembilan malam. Oleh karena itu, fenomena rutin di Batavia pada zaman kolonial VOC itu terkenal dengan sebutan bunga pukul sembilan (negenuursbloemen).
Baca juga: Menjaga Kebersihan Kota pada Zaman Belanda
Pembuangan kotoran pada jam sembilan malam bukan hanya disesuaikan dengan jam penutupan pub, tetapi juga karena pesta maupun pertemuan yang dihadiri orang Eropa telah berakhir dan orang-orang kembali ke rumah masing-masing. Saat orang-orang Eropa bersiap untuk beristirahat, sampan Cina atau perahu tinja mulai mengarungi kanal-kanal kota. “Saat mendengar teriakan keras dari pengumpul tinja yang sudah dikenal ini, para budak dari rumah-rumah yang berada di seberang kanal berlarian keluar sambil membawa guci-guci penuh berisi tinja dan mengosongkan isinya yang sangat banyak ke dalam perahu-perahu itu,” tulis Barrow.
Kebiasaan seperti ini, dengan kondisi iklim di Batavia, bukan saja membahayakan kesehatan tetapi juga tidak patut dan menjijikan. Namun, menurut Barrow, bangsa Belanda sepertinya mengabaikan hal ini. Jika mereka tak sengaja diterpa angin yang membawa bau dari guci-guci tersebut, mereka pun dengan santai akan berkata, “Daar bloeit de foola nonas horas” artinya “bunga pukul sembilan baru saja mekar”.
Baca juga: Gubernur Jenderal Van Imhoff Melarang Mandi di Kali
Sementara itu, de Haan menyebut ketidaknyamanan imbas kegiatan ini diperparah dengan tidak adanya pintu belakang (rumah-rumah yang lebih kecil saling membelakangi), konsekuensi yang tak terelakkan adalah guci keluarga harus melewati ruang tamu dan rumah depan. “Hal yang paling aneh tentang hal ini adalah bahwa kadang-kadang pintu dari halaman ke aula tidak berada pada sisi yang sama, dengan demikian guci yang kerap disebut dengan ‘bunga jam sembilan’ itu dibawa keluar secara diagonal melalui ruang tamu,” sebut de Haan.
Kebiasaan membuang sampah maupun kotoran ke kanal-kanal membuat kondisi kota Batavia kian tak sehat dan tak layak dihuni. Pemerintah kota melakukan sejumlah upaya, salah satunya memberlakukan larangan membuang sampah sembarangan dan menerapkan denda bagi yang melanggar.
Arsiparis Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia menyebut aturan serupa soal larangan membuang sampah dan kotoran manusia ke kali dan kanal yang mengalir di dalam kota sesungguhnya sudah pernah dikeluarkan tahun 1630, namun masih banyak penduduk yang mengabaikannya. “Aturan seperti ini diundangkan lagi pada 28 Februari 1747, 4 Desember 1777, 1 April 1788, dan yang ketahuan akan kena denda sebesar 6 riksdalders,” tulis Mona.
Baca juga: Cara Penduduk Batavia Melindungi Diri dari Penyakit
Denda bagi pelanggar yang membuang sampah sembarangan kemudian dinaikkan menjadi 25 riksdalders untuk memberikan efek jera. Tak hanya itu, lurah atau wijkmeester juga ditugaskan agar benar-benar mengawasi kebersihan dan tak segan memberikan hukuman langsung kepada mereka yang terpergok membuang sampah di kali.
Di sisi lain, wabah penyakit yang menewaskan ribuan orang di Batavia sedikit demi sedikit menyadarkan penduduknya untuk peduli terhadap kebersihan dan kesehatan lingkungan. Memasuki abad ke-20, pemerintah kota Batavia menggencarkan pembangunan toilet umum yang kemudian dikenal dengan nama kakus (dari bahasa Belanda, kakhuis yang berarti rumah tahi). Mengutip Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage Volume 2, pada 1917, di daerah kota lama maupun baru dibangun beberapa kamar mandi dan WC umum dengan rincian 10 kamar mandi dan 7 buah tempat tinja (septic tanks) yang dibangun berdampingan lengkap dengan selokan pembuangan. Gencarnya pembangunan tempat pemandian dan toilet umum ini membuat sejumlah penduduk meniru membuat kakus untuk keperluan pribadi.
Seiring berjalannya waktu guci-guci buatan Cina yang digunakan orang-orang Belanda untuk buang air kecil maupun air besar berganti menjadi kakus atau toilet di rumah-rumah maupun ruang publik. Dengan demikian menghilang pula sebutan “bunga pukul sembilan”.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar