Melihat Kolonialisme Bekerja lewat Teropong Sastra
Selain melalui sumber-sumber sejarah, kolonialisme bisa ditengok melalui karya sastra. Ada potret nyata hingga pembingkaian dari penulisnya.
Bagaimana kolonialisme bekerja tak hanya bisa dilihat dari tulisan-tulisan sejarah. Ada karya sastra yang berangkat dari kisah sejarah, yang dapat menyuguhkan potret-potret masa penjajahan yang tak tertangkap oleh narasi sejarah. Karya-karya itu dibuat penulis sezaman maupun penulis pasca-kemerdekaan.
Peneliti imagologi dan penerjemah Widjajanti Dharmowijono dalam Dialog Sejarah "Wajah Kolonialisme dalam Sastra" di saluran Youtube dan Facebook Historia, Jumat, 19 Maret 2021, menyebut bahwa ada ratusan karya sastra yang disebut sebagai sastra Indis-Belanda yang merepresentasikan kondisi tanah jajahan pasa masanya.
Widjajanti, yang akrab disapa Inge, menyelesaikan disertasinya di Universiteit van Amsterdam dengan judul Van Koelies, Klontongs en Kapiteins, Het Beeld van de Chinezen in Indisch-Nederlands Literair Proza 1880-1950 yang kemudian diterjemahkan menjadi Bukan Takdir, Kisah Pencitraan Orang Tionghoa di Nusantara. Disertasi Inge menyoroti bagaimana orang Tionghoa dicitrakan dalam karya-karya sastra yang dibuat oleh penulis-penulis Belanda dan satu penulis Hungaria.
Karya-karya yang diteliti Inge antara lain Perkebunan Tembakau di Deli (1898) karya De-lillah, Orang Indo dan Cina di Kebun Kopi (1901) karya Boeka, Tambang Timah (1912) dan Karier Seorang Kelontong (1894) karya Jacob Dermout, Pembantaian Orang Cina di Batavia tahun 1740 (1947) karya Simon Franke, Perdagangan Opium (1886) karya M.T.H. Perelaer, Perang Memusnahkan Kongsi Pendulang Emas di Kalbar (1881) karya W. van Rees, Perkebunan Karet (1932) karya M. Szekely-Lulofs dan Indrukken van Een “Totok” (1897) karya Justus van Maurik.
Baca juga: 150 Tahun Max Havelaar
Dari karya-karya De-lillah misalnya, Inge mendapati potret kejamnya para pekebun Eropa di perkebunan tembakau. De-lillah juga banyak bercerita mengenai nyai-nyai yang tinggal di perkebunan tembakau, dari nyai Cina, nyai Jawa, hingga nyai Sunda. De-lillah sendiri merupakan istri dari seorang pekerja perkebunan.
“Dia menulis apa yang dilihat dan apa yang dialami pada waktu itu. Jadi kita bisa banyak percaya bahwa apa yang ditulisnya itu memang betul-betul kejadian,” sebut Inge.
De-lillah menggambarkan, misalnya, jika ada kuli yang kurang giat bekerja, kuli itu akan dipukuli sampai mati kemudian dikubur di tengah hutan. Kematian kuli Cina dianggap biasa dan tidak ada nilainya. Orang-orang Eropa bisa dengan mudah mencari gantinya dengan mendatangkan orang Cina dari Tiongkok.
Diskriminasi berdasarkan ras memang dipakai orang Eropa untuk mengontrol para kuli. Orang Eropa, jelas Inge, sebenarnya takut dengan para kuli, terutama kuli Cina, karena pada saat-saat tertentu mereka bisa mengamuk dan membunuh si tuan.
“Dan itu beberapa kali terjadi dalam novel-novel si De-lillah ini,” ungkap Inge.
Kontrol orang-orang Eropa terhadap para kuli juga ditampilkan dalam bentuk-bentuk kepatuhan kuli terhadap tuan mereka. Misalnya, jika kuli melewati rumah tuannya, ia harus turun dari kuda atau keretanya serta melepas topinya sebagai tanda hormat.
Baca juga: Pameran Mengudar Bacaan Liar
Pada karya-karya sastra sezaman tersebut, gambaran mengenai kolonialisme sedikit-banyak telah direpresentasikan oleh penulis yang juga hidup sezaman. Meski fiksi, karya-karya sastra tersebut mengisi celah-celah kosong dalam narasi sejarah.
Karya sastra berlatar belakang kolonialisme bukan hanya ditulis oleh orang Belanda. Pramoedya Ananta Toer banyak mengangkat tokoh-tokoh masa Hindia Belanda. Pada angkatan sebelumnya, ada Balai Pustaka dan antitesisnya “Bacaan Liar” yang juga merepresentasikan kolonialisme.
Sementara karya orang Belanda yang sudah cukup populer ialah Max Havelaar karya Multatuli. Max Havelaar bahkan sering disebut sebagai novel yang membunuh kolonialisme.
Sastra dan Sejarah
Karya satra tentu tak bisa disejajarkan dengan karya sejarah. Wartawan dan penulis Joss Wibisono menyebut bahwa perbedaan penting antara sejarah dan fiksi sejarah adalah nuansa. Jika sejarah lebih fokus pada kronologi kejadian, fiksi sejarah memberikan “rasa” pada kejadian.
“Jadi rasanya seperti apa, suasananya seperti apa itu yang penting, bukan urut-urutan. Kalau sejarah itu kan urut-urutan, kita harus tahu urut-urutannya seperti apa,” jelas Joss.
Joss adalah penulis yang banyak mengambil tema kolonialisme dalam karya fiksinya. Pada 2017, Joss menerbitkan dua buku: kumpulan cerpen Rumah Tusuk Sate di Amsterdam Selatan dan novel Nai Kai. Joss menyebut bahwa tokoh Nai Kai benar-benar nyata dalam sejarah. Nai Kai merupakan seorang budak dari Flores yang kemudian dijual ke Bali, lalu dibeli seorang yang bekerja untuk VOC dan dibawa ke Batavia. Dari Batavia, Nai Kai dibawa lagi ke Leiden, Belanda. Nai Kai lalu bekerja sebagai satpam di Ministerie van Oorlog (Kementerian Perang) di Delf.
Berbeda dengan kisah aslinya, Joss mengubah alur perjalanan Nai Kai. Nai Kai yang seharusnya dibawa ke Belanda, dalam cerita Joss dibeli oleh musikus di Istana Gubernur Jenderal. Nai Kai belajar menyanyi hingga kemudian menjadi penyanyi di Belanda.
Baca juga: Banten dalam Karya Sastra Eropa Klasik
“Saya ubahnya gitu. Tapi suasana perbudakan itu yang ingin saya gambarkan, kan. Apa itu sebenarnya budak? Seperti apa? Jadi itu semua ingin saya gambarkan. Suasananya itu. Yang penting adalah suasana dan perasaannya bagaimana dia sebagai budak gitu lho,” terang Joss.
Dalam menulis fiksi sejarah, Joss tidak menampilkan tokoh-tokohnya secara hitam-putih. Meski Nai Kai adalah korban kolonialisme dan perbudakan, ia juga ditolong oleh orang Belanda yang membuatnya bisa menjadi penyanyi.
Senada dengan Joss, penulis Iksaka Banu juga melakukan hal yang sama. Dalam kumpulan cerpennya Semua untuk Hindia (2014), ia tak menampilkan orang Belanda dan orang Indonesia secara hitam-putih. Meski demikian, ia juga tidak menghapus kenyataan kejam kolonialisme.
Banu menyebut ada beberapa pendekatan dalam menulis fiksi sejarah. Ada yang berangkat dari kisah sejarah asli kemudian didramatisasi, ada pula yang menambahkan tokoh-tokoh fiktif dalam latar dan kejadian yang benar-benar pernah terjadi.
“Melalui tokoh-tokoh fiktif itulah cerita besarnya dipotret, digelontorkan, ditambah lagi cerita dari tokoh-tokoh fiktif saya itu. Sehingga ketika kedua hal itu disulam, itu menjadi satu cerita yang saya harap bisa menceritakan kedua hal, ada unsur ceritanya, fiksinya, tetapi ada unsur sejarahnya,” ungkap Banu.
Membingkai Kolonialisme
Joss Wibisono punya kritik sendiri terhadap karya-karya sastra sejarah yang ditulis orang Belanda. Ia menyebut, misalnya, sastrawan besar Belanda Hella Haasse (1918-2011). Menurutnya, karya-karya Haasse melulu berpusat pada orang Belanda sebagai subjek utama. Orang Indonesia hanya menjadi figuran.
Berbeda dari Haasse, Louis Couperus (1863-1923) lebih memiliki keberpihakan pada orang Indonesia. Dalam De Stille Kracht (1900), Couperus menggambarkan bahwa orang Indonesia tidak mau terus-menerus menjadi bagian dari Belanda. Meski telah meninggal pada 1923, jelas Joss, Couperus telah meramalkan bahwa orang Indonesia memiliki hasrat untuk merdeka. Dan kemerdekaan itu kemudian benar terjadi pada 1945.
“(Sementara) Hella Haasse itu mengalami zaman Indonesia merdeka tetapi dia tidak menulis hasrat kemerdekaan Indonesia itu di dalam novelnya. Aneh kan?” jelas Joss.
Mengenai bingkai yang dibuat dalam karya-karya sastra itu, Iksaka Banu berpendapat bahwa sebenarnya ada transformasi sudut pandang. Paulus Adrianus Daum (P.A. Daum), misalnya. Dalam Dari Gula ke Tembakau (1885), Daum menggambarkan orang Belanda sebagai tokoh utama, sementara orang Indonesia hanya “tempelan”.
“Tapi ketika dia mulai menulis Goena-goena, lalu juga Nummer Elf (Nomer Sebelas), lalu juga Aboe Bakar, nah itu kita sudah melihat ada pergeseran,” sebut Banu.
Baca juga: Kisah Nyai dalam Sastra
Pergeseran yang dimaksud Banu adalah, Daum mulai melihat bahwa orang-orang Indonesia juga merupakan manusia yang memiliki perasaan. Para nyai, misalnya, mulai digambarkan tidak selalu jahat, suka mencuri, suka mengirim guna-guna, atau suka memberi racun ke dalam minuman untuk merebut harta tuannya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Ferdinand Wiggers dalam Tjerita Njai Isah (1904). Sang Nyai ditampilkan sebagai sosok yang setia dan tidak berambisi pada harta. Ketika tuannya bangkrut, ia justru berjualan pisang goreng dan beras tumbuk.
“Penulis-penulis ini seolah-olah ingin memutar tuduhan itu dan puncaknya itu kita bisa lihat di Nyi Paina ya, itu (karya) si Kommer. Nah itu yang kita anggap sangat radikal, bahwa si nyai-nya bisa melawan. Jadi dia dipaksa kawin kemudian dia sengaja memeluk orang cacar dan si tuannya itu dipeluk supaya dia ketularan juga dan mati. Dan cerita ini kemudian menginspirasi Pram untuk dimasukkan ke dalam Bumi Manusia, kan,” terang Banu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar