Masuk Daftar
My Getplus

Srikandi yang Tak Diakui

Cinta mati pada Merah Putih lewat bulutangkis. Perjuangannya sempat tak diakui.

Oleh: Randy Wirayudha | 07 Mei 2019
Lie Ing Hoa alias Ivana Lie, srikandi bulutangkis Indonesia yang sempat lima tahun statusnya tak diakui WNI (Foto: pbdjarum.org)

BULUTANGKIS sudah jadi pilihan hidupnya sejak belia. Ivana Lie tidak salah memilihnya. Di dunia bulutangkis, dia meretas kelegendaannya.

Lahir di Bandung pada 7 Maret 1960 dari pasangan Lie Tjung Sin dan Kiun Yun Moi, Lie Ing Hoa yang kemudian dikenal dengan nama Ivana Lie, hidup dalam keluarga yang ekonominya memprihatinkan. Bersama delapan saudaranya Ivana sering hanya bisa makan nasi tanpa lauk.

Untuk bisa menghidupi anak-anaknya yang mayoritas masih kecil, ibunda Ivana yang single parent berkeliling menjual kue. “Saya ikutan jual. Saya jualan ke pasar, ke mana. Kalau musim layangan, kakak saya bikin layangan, saya ikutan (menjual, red.),” ujar Ivana kepada Historia.

Advertising
Advertising

Namun, Ivana kecil enjoy menjalaninya. Terlebih, di lingkungan tempat tinggalnya kala itu sedang “demam” bulutangkis setelah Rudy Hartono menjuarai All England 1968. Ivana dan teman-temannya pun memainkannya. “Di kampung-kampung ramai, (saya, red.) ikut-ikutan. Pakai sandallah, pakai piringlah, pakai papan, dan lain sebagainya,” ujarnya kepada Historia.

“Yang menyentuh adalah ketika Rudy Hartono dkk. juara All England atau Thomas Cup. Kalau pulang kan diarak seperti pahlawan dan itu yang membuat kita saat melihat di TV termotivasi kepengin seperti mereka,” ungkap Ivana kepada Historia.

Baca juga: Nona Manis Jagoan Bulutangkis

Bulutangkis pun makin sering dimainkan Ivana. Suatu hari, di sekolahnya ada pertandingan bulutangkis antar-SD se-Bandung. Ivana yang kala itu duduk di kelas 5 langsung mengikutinya. Tak dinyana, dia juara satu. “Terus saya diberikan reward, hadiah berupa keringanan biaya uang sekolah. Dari situ akhirnya muncul motivasi. Saya bilang, kalau saya jadi juara, saya bisa membantu orangtua saya,” sambung mantan staf ahli menteri Pemuda dan Olahraga itu.

Semangat Ivana pula yang membuat klub Mutiara Bandung memberinya dispensasi pembayaran. “Pelatihnya kan tahu saya selalu semangat, mungkin punya bakat dia lihat. Sejak itu baru saya latihan rutin,” kata Ivana.

Pesatnya perkembangan Ivana memancing perhatian Pelatnas PBSI hingga akhirnya terpilih masuk timnas pada 1976. Satu per satu titel tunggal putri bertaraf internasional pun dikoleksinya, mulai dari turnamen perorangan hingga beregu macam SEA Games (1979, 1983) atau Asian Games (1982).

Matanya berbinar-binar saat mengingat lagi prestasi-prestasi tinggi itu. “Yang paling menyenangkan adalah kalau kita menang di (pertandingan) multi-event seperti SEA Games atau Asian Games. Kita menang, naik podium, ada ‘Indonesia Raya’ berkumandang, bendera Merah Putih naik. Itu sangat berkesan dan paling menyenangkan,” kata Ivana.

Lima Tahun Stateless

Namun, seketika suasana hatinya berubah. Kata-kata mulai berat untuk dikeluarkan dari mulutnya. Apa lagi penyebabnya kalau bukan topik pembicaraan mengenai status kewarganegaraan dan pengakuan. “Saya lahir dari orangtua yang statusnya masih asing lah ya, bukan kewarganegaraan Indonesia. Memang datang dari Tiongkok, tapi saya lahir di sini,” ujar Ivana dengan nada suara sendu.

Di masa-masa perjuangannya membawa nama harum negeri, Ivana justru bukan pemain yang diakui kewarganegaraannya. Kendati dia lahir di Indonesia, kedua orangtuanya bukan termasuk etnis Tionghoa yang diakui berkewarganegaraan Indonesia “resmi” dengan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).

Baca juga: Di Balik Pernikahan Pasangan Emas Olimpiade

Kebijakan diskriminatif itu bermula dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1959 tentang larangan orang asing berdagang eceran di daerah tingkat kabupaten ke bawah selain ibukota provinsi dan wajib mengalihkan usaha mereka ke warga negara Indonesia (WNI). Dampaknya berujung pada eksodus besar-besaran etnis Tionghoa ke Tiongkok. Orangtua Ivana jadi sedikit yang tak ikut “pulang”. Akibatnya, pengurusan kewarganegaraan pun dipersulit. Kalaupun bisa tembus birokrasi, tetap harus merogoh kocek yang dalam.

“Mereka tidak mengurus ini karena keterbatasan dana dan karena sulit sekali. Karena orangtua asing, otomatis anak-anaknya walau lahir di Indonesia tetap asing. Begitu peraturannya. Kita hidup juga waktu itu susah, enggak bisa urus itu. Jadi saya masuk pelatnas pun tetap warga negara asing,” sambungnya.

Sekira lima tahun Ivana state-less alias tanpa kewarganegaraan. PBSI hanya membantu sebisanya dengan mengurus dokumen kewarganegaraan sementara laiknya surat jalan, yang menyatakan dia sebagai warga negara Indonesia (WNI). Surat jalan itu dipakai saat Ivana berlaga di luar negeri dan dicabut kembali oleh keimigrasian sepulangnya dari bertanding.

Sebelumnya pada 1976, perkara status ini pernah membuatnya batal tampil di India untuk sebuah turnamen yunior. Gara-garanya, Ivana tidak punya paspor. Meski dibantu KONI dan PBSI, Ivana butuh lima tahun untuk bisa diakui.

Ivana Lie berkisah bagaimana lima tahun statusnya stateless (Foto: Randy Wirayudha/Historia)

“Sedih ya… Merasa bahwa walaupun saya lahir di sini, saya berbudaya, berbahasa, semuanya, merasa sebagai bangsa Indonesia dan sudah membuktikan juga dengan saya bertanding membawa nama Indonesia, tapi sampai lima tahun keluar masuk begitu… Susah sekali mendapat kewarganegaraan itu. Sebenarnya lebih kepada, kita secara manusia perlu pengakuan ya. Dan yang membuat saya merasa sedih ya karena tidak ada pengakuan pada saat itu,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.

Pun begitu, sang srikandi akhirnya mendapat pengakuan juga. Menukil Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia oleh Sam Setyautama, status Ivana Lie tak lagi state-less sejak 29 November 1982 saat memperoleh status kewarganegaraan Indonesia lewat SBKRI.

Itupun setelah Ivana bisa bersua Presiden Soeharto saat tim Uber Cup 1981 diterima di Istana Negara. Dalam dialog dengan Presiden Soeharto, Ivana menyampaikan bahwa saat itu statusnya masih warga negara asing.

“’Enggak punya KTP, Pak’, saya bilang begitu.

Lho, kok enggak punya KTP?” tanya presiden sambil tertawa, sebagaimana ditirukan Ivana.

“Iya Pak, karena KTP-nya enggak bisa keluar karena saya enggak punya warga negara.”

“Nanti coba diini (diurus, red.),” kata presiden memerintahnya.

Baca juga: Wushu dan Telepon Merah RI Satu

Ivana menurutinya. “Karena saya ngomongnya sama presiden, kira-kira enam bulan kemudian saya terima (SBKRI) tahun 1982,” ujar Ivana. Delapan tahun sejak menerima SBKRI, Ivana gantung raket dan alih profesi jadi pelatih hingga berbisnis pakaian sport merek Elvana. Pada 2000-an, Ivana dipercaya Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng dan Roy Suryo jadi staf khususnya. Kini, Ivana aktif di PT Djarum.

TAG

Bulutangkis Tionghoa

ARTIKEL TERKAIT

Sebelum Ferry Juara Dunia Bulutangkis Njoo Han Siang, Pengusaha yang Tak Disukai Soeharto Kala Liem Swie King Bicara Mental Tak Mau Kalah Mencari Ruang Narasi Peran Etnik Tionghoa dalam Sejarah Bangsa Pajak Judi Masa Kompeni Mula Pedagang Kelontong Kala Penduduk Tionghoa di Batavia Dipimpin Wanita Kala Kepala dan Kuku Dipungut Pajak Tio Tek Hong, Perintis Rekaman di Hindia Belanda Gubernur Jenderal VOC Dijatuhi Hukuman Mati