TIGA wakil dari golongan Tionghoa mendapat kesempatan berbicara dalam sidang Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia di gedung Tyuuoo Sang-In tanggal 11 Juli 1945, yang hendak menyusun Undang-Undang Dasar (UUD). Liem Koen Hian menyarankan semua orang Tionghoa menjadi warga negara Indonesia; Oei Tiang Tjoei minta diberi kebebasan memilih, sementara Oei Tjong Hauw menginginkan tetap menjadi orang asing. Ketiganya mewakili perbedaan orientasi yang sudah terbentuk sejak masa kolonial.
Namun, suara mereka bergantung pada pemikiran para tokoh bumiputera. Muncul istilah “Indonesia asli”, termuat dalam pasal 26 UUD 1945, yang disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945. Orang-orang bangsa lain, termasuk Tionghoa, bisa menjadi warga negara Indonesia melalui proses hukum yang akan diatur dalam UU.
Menurut Markus DL Dawa, mahasiswa Program Pasca Sarjana Sosiologi Agama Universitas Kristen Sastya Wacana di Salatiga, hingga kemerdekaan, “orang-orang Tionghoa bersama peranakan lainnya tak pernah beranjak masuk ke dalam imajinasi para pendiri bangsa, sebagai bagian integral bangsa Indonesia asli, meski negara itu sendiri baru eksis secara faktual-yuridis di muka bumi ini pada 17 Agustus 1945,” tulisnya dalam “Orang Indonesia dalam Negara Indonesia yang Dibayangkan”, dimuat Veritas, Oktober 2009.
Sukarno sendiri, yang dalam pidato 1 Juni 1945 memakai istilah “bukan Indonesia tulen” dan “peranakan yang menjadi bangsa Indonesia”, kelak mempertanyakan istilah itu. Dia melontarkannya dalam pidato di pembukaan kongres Baperki pada Maret 1963. “Saya sendiri menanya diri saya kadang-kadang. He Sukarno, apa kowe iki bener-bener asli? Ya, engkau itu dianggap asli Indonesia. Tetapi apakah saya betul-betul asli itu? Mboten sumerep. Saya tidak tahu, Saudara-Saudara,” ujarnya. Dia lalu menyarankan, “berjuanglah agar supaya hilang perkataan ini!”
Kewarganegaraan Ganda
Masalah kewarganegaraan Indonesia, terutama untuk keturunan asing, diperdebatkan dalam Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat. Tan Ling Djie, didukung Siauw Giok Thjan, mengusulkan sistem pasif berdasarkan prinsip jus soli. Dengan sistem ini, semua orang Tionghoa yang lahir di Indonesia adalah warga negara Indonesia. Sunario dari Partai Nasional Indonesia menganjurkan sistem aktif; mengajukan permohonan untuk menjadi warganegara Indonesia sekaligus menyatakan tak lagi menjadi warganegara Tiongkok.
Perdebatan berakhir dengan keluarnya UU No 3 tahun 1946 yang berdasarkan sistem pasif. Setiap keturunan asing diberi waktu hingga 1947 untuk menolak kewarganegaraan Indonesia. Yang tak menolak otomatis menjadi warganegara Indonesia.
Sunario kembali menjadi momok bagi orang Tionghoa. Ketika menjadi menteri luar negeri, Sunario mengeluarkan RUU kewarganegaraan baru. Setelah mendapat tentangan keras, kabinet akhirnya membatalkannya. Namun, setelah diubah, RUU itu diajukan ke parlemen, yang akhirnya juga ditarik kembali. Pada saat yang sama, dimulai perundingan antara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) tentang dwikewarganegaraan.
UU kewarganegaraan RRT menganut azas jus sanguinis; setiap anak seorang warga negara Tiongkok, di manapun lahir, adalah warga negara Tiongkok. Perundingan menghasilkan dokumen yang dinamakan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan, ditandatangani Chou En-lai dan Sunario saat Konferensi Asia-Afrika di Bandung, yang menganut sistem aktif.
Setelah mendapat masukan dari Siauw Giok Tjhan dari Baperki, kedua negara setuju mengubah isi perjanjian setelah melakukan pertukaran nota. Sistem pasif kembali diterapkan. Namun Kabinet Ali keburu jatuh. Ratifikasi pun tertunda.
“Perjanjian Dwi-kewarganegaraan diratifikasi DPR RI pada 17 Desember 1957 dan oleh Kongres RRT pada 30 Desember tahun yang sama, tetapi pelaksanaannya tertunda sampai 1962,” tulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik.
Pemerintah Indonesia kemudian menetapkannya dalam UU No 2/1958. Pada tahun yang sama, keluar UU No 62/1958 tentang Kewarganegaraan, yang bertahan hingga masa reformasi –hanya ada perubahan pasal 18 melalui UU No 3/1976.
Menurut Charles A Coppel dalam Tionghoa Indonesia dalam Krisis, sebelum 1960-an, pemerintah Indonesia tak pernah berkesempatan untuk merumuskan suatu kebijakan menyeluruh berkenaan dengan minoritas Tionghoa. Peraturan perundangan mengenai kewarganegaraan, misalnya, “bersifat sementara, dan tidak merupakan bagian dari suatu kebijakan mengenai masalah Tionghoa secara terkoordinasi.”
Kartu Kuning
Salah hal yang menjadi momok bagi warga Tionghoa adalah surat pembuktian kewarganegaraan. Surat pembuktian mengemuka ketika kabinet mengajukan RUU kewarganegaraan ke parlemen pada 15 Oktober 1954. Sekalipun masih diperdebatkan di parlemen, orang Tionghoa sudah mengalami tekanan birokrasi. Urusan Peranakan dan Bangsa Asing (UPBA), yang dibentuk awal 1954 dan merupakan bagian dari Kementerian Dalam Negeri, mengeluarkan peraturan yang mengharuskan WNI keturunan asing untuk memiliki dokumen yang dinamakan Surat Tanda Kewarganegaraan Indonesia (STKI) atau lebih dikenal sebagai “kartu kuning”.
Sekalipun Oetojo, kepala UPBA, kemudian menyatakan STKI bukan keharusan, banyak instansi menyalahgunakannya, “sebagai sarana untuk menambah penghasilan melalui proses pemerasan, korupsi, dan ongkos-ongkos administrasi lainnya,” tulis Siauw Tiong Djin. Setelah desakan kuat, menteri dalam negeri mengeluarkan dekrit yang menyatakan mulai 1 Maret 1956, STKI tak lagi dikeluarkan pemerintah.
Surat pembuktian muncul lagi dalam UU No 62/1958; bagi yang memerlukannya bisa diminta ke Pengadilan Negeri setempat. Inilah cikal-bakal apa yang kemudian dikenal sebagai Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), yang menjadi isu abu-abu selama Orde Baru.Selain sulit memperolehnya, untuk mengurusnya butuh waktu dan biaya. Praktik suap-menyuap umum terjadi. Beberapa pebulutangkis nasional terkena imbasnya.
SKBRI akhirnya dicabut pada 1996. Namun, momok SKBRI masih terdengar. Reformasi berbuah manis. Silang-sengkarut masalah kewarganegaraan, termasuk SKBRI, terselesaikan dengan pemberlakuan UU No 12/2006.