TAK jauh dari makam Sisingamangaraja dan patung dada Ludwig Ingwer Nommensen di Balige, Toba, Sumatra Utara, ada sebuah sekolah. Namanya SMA HKBP Tarutung. Dulu, HKBP Tarutung bernama Christelijke MULO Dr. Nommensen.
Nama Nommensen diambil dari nama penginjil tersohor di Sumatra Utara, khususnya Tapanuli Utara, yakni Ludwig Ingwer Nommensen (1834-1918). Penginjil asal Jerman itu setelah menginjakkan kaki di Pulau Sumatra melalui Pelabuhan Sibolga, menyusuri Padang Sidempuan, Sipirok, dan akhirnya ke Tarutung. Tempat terakhir merupakan titik cerah dari perjalanan dakwahnya. Orang Batak di sana mulai banyak menganut ajaran Kristen setelah kedatangannya. Sejak saat itu hingga kini, Nommensen begitu dikenang di sana.
Pada 1927, sembilan tahun setelah kematian Nommensen, sebuah sekolah setingkat SMP, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), didirikan di Tarutung. Sekolah berbahasa pengantar bahasa Belanda itu begitu bergengsi di Tarutung. Sekolah tersebut salah satu sekolah Kristen di Tanah Batak dan Danau Toba yang didirikan zending (lembaga penyebaran agama Kristen di sana. Sekolah itulah yang kemudian dinamai Christelijke MULO Dr. Nommensen.
“Christelijke MULO Dr. Nommensen pada waktu itu merupakan semacam sekolah elit bagi masyarakat Kristen Batak,” kata Tahi Bonar Simatupang, yang biasa disapa TB Simatupang, dalam Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos.
Baca juga:
Bukan Belanda yang Kristenkan Sumatra Utara, Tetapi Jerman
Menurut Pendeta Dr. Jubil Raplan Hutauruk dalam Lahir, Berakar dan Bertumbuh di Dalam Kristus: Sejarah 150 Tahun HKBP 7 Oktober 1861-2011, MULO Dr. Nommensen, atau sering disebut MULO Tarutung, dianggap memberi pendidikan bermutu. Belakangan, lulusan sekolah itu terbukti dapat diandalkan.
Di sekolah itu pula Simatupang remaja belajar, setelah dia lulus dari sebuah HIS di Tapanuli juga. Sebagai murid di sekolah bergengsi, Simatupang tentu harus beradaptasi dengan kedisiplinan yang diterapkan.
“Bersekolah di MULO Tarutung berarti mengikuti disiplin yang cukup ketat, yang hampir menyerupai kehidupan dalam asrama militer yang dikombinasikan dengan kegiatan keagamaan,” kenang Simatupang.
Baca juga:
T.B. Simatupang, Jenderal Jenius yang Religius
Kedisiplinan hanyalah satu dari sekian banyak pendidikan moral yang diberikan di MULO Tarutung. Masih ada yang lain, seperti etiket berbusana.
“Murid sekolah Mulo Tarutung tidak biasa bercelana pendek,” tulis P. Pospos dalam Aku dan Toba: Tjatatan Dari Masa Kanak-kanak.
Selain bercelana panjang, para murid diharuskan memakai atasan kemeja dan kaki memakai sepatu. Aturan itu begitu ketat diterapkan kendati pakaian bukan barang murah kala itu.
Yang pasti, soal akademis berkualitas di MULO Tarutung tak main-main. Untuk naik kelas, bukan perkara mudah. Siswa mau tak mau harus belajar dengan keras untuk bisa naik kelas.
Kelebihan-kelebihan yang ditawarkan sekolah elite itulah yang membuat banyak orangtua ingin anaknya belajar di sana. Salah satunya Raja Herman Pandjaitan dan Dina Boru Napitupulu. Harapan Herman dan Dina tercapai, sebab anak laki-laki mereka, Donald Izacus (DI) Pandjaitan, berhasil diterima di MULO Tarutung setelah lulus dari HIS Noromonda.
Baca juga:
D.I. Pandjaitan, Balada Jenderal Pendeta
Kendati sekolah DI Pandjaitan di MULO Tarutung lancar hingga melewati pertengahan, di tahun terakhir bermasalah karena Perang Dunia II merembet ke Sumatra Utara. Tentara Jepang di Sumatra selaku penguasa tak suka sekolah tersebut karena berbau Belanda. Padahal, pandangan Jepang itu salah sebab MULO Tarutung didirikan justru oleh zending asal Jerman, sekutu Jepang dalam Perang Dunia II.
“Karena itu, Christelijke MULO Tarutung ditutup, padahal Donald Izac sudah duduk di kelas tiga,” ujar Marieke Pandjaitan br. Tambunan dalam D.I. Pandjaitan, Pahlawan Revolusi Gugur dalam Seragam Kebesaran.
Meski sekolahnya terganggu, DI Panjaitan sebagai murid MULO Tarutung tak ingin “menyerah” dengan memasrahkan diri pada nasib. Seperti TB Simatupang kakak kelasnya, dia kemudian menjadi tentara. Bila Simatupang masuk Akademi Militer Bandung dan menjadi perwira zeni KNIL, Donald Pandjaitan masuk tentara sukarela Jepang (Gyugun).
Baca juga:
D.I. Pandjaitan Berkhotbah di Jerman
Setelah Indonesia merdeka, keduanya berada di dalam barisan pendukung Republik Indonesia. Simatupang yang berada di organisasi pusat tentara bahkan sampai menjadi Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) dan menjadi orang nomor satu di militer RI setelah Jenderal Sudirman meninggal dunia. Sementara, DI Pandjaitan menjadi perwira logistik sejak zaman perjuangan akhirnya menjadi asisten logistik Men/Pangad Letjen A. Yani.
Sebagai “jebolan” MULO Tarutung yang ketat memberikan pendidikan spiritual, baik Simatupang maupun DI Panjaitan setelah jadi tentara tetap aktif di gereja. Bahkan Panjaitan yang dijuluki “Jenderal Pendeta” meninggal tragis dalam posisi berdoa saat pasukan G30S memberondongnya di depan keluarganya pada dini hari 1 Oktober 1965.
Simatupang dan Panjaitan hanyalah dua dari sekian banyak alumni MULO Tarutung yang berpengaruh di negeri ini. Menurut Dian Purba, dulu Tarutung di Tapanuli semacam Yogyakarta di Jawa, yakni kota pelajar. Eks MULO Tarutung yang berada di Lembah Silindung itu masih ada sampai sekarang meski telah berganti nama.*