Masuk Daftar
My Getplus

Bukan Belanda yang Kristenkan Sumatra Utara, Tetapi Jerman

Bukan Belanda, zending asal Jerman yang paling berjasa dalam Kristenisasi di Sumatra Utara.

Oleh: Petrik Matanasi | 23 Des 2024
Ludwig Nommensen, pelopor penginjil di Tanah Batak. (Wikimedia Commons).

SABTU memang tak ada perkuliahan di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Tarutung, Sumatra Utara. Tapi hari itu, 14 Desember 2024, kampus IAKN tetap ramai. Mahasiswa-mahasiswa yang datang untuk belajar atau sekadar kumpul teman tetap banyak. Mereka terlihat begitu riang di kampus yang terletak di arah menuju Siborong-borong dekat Danau Toba yang berhawa sejuk itu.

“Ini Jerman. Pendidikan di sini bukan pendidikan Hindia Belanda,” terang Dian Purba, pengajar sejarah geraja di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Tarutung, ketika berbincang soal sejarah pendidikan dan agama Kristen di Tarutung dengan Historia.id.

Pengaruh Jerman, menurut pengajar yang suka riset dan menulis itu, dalam dunia pendidikan memang jauh lebih besar dibanding pengaruh Belanda di sana. Hal itu tak bisa dilepaskan dari penyebaran agama Kristen di Tapanuli.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Penginjil Kristen dan Wabah di Tanah Batak

Selama ini agama Kristen kerap dikaitkan dengan Belanda yang dicap sebagai penjajah oleh kebanyakan orang Indonesia. Memang kebanyakan orang Belanda di Hindia Belanda dulu merupakan penganut Kristen Protestan. Namun, sejatinya tidak banyak orang Belanda peduli pada penyebaran agama Kristen, bahkan sejak era Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Meski dalam beberapa kasus ada pejabat VOC yang memaksakan Kristen kepada tawanan yang sebelumnya Katolik, seperti yang terjadi pada orang Banda, agama asli dan agama “impor” yang sudah lama berkembang cenderung dibiarkan oleh penguasa Belanda. Mereka lebih fokus berdagang.

“Secara umum, tujuan VOC bukanlah menyebarkan agama, melainkan berdagang dan mencari keuntungan ekonomi sebanyak-banyaknya. Karena itu, dalam sejarahnya, pemerintah kolonial Belanda tidak sepenuhnya mendukung kegiatan-kegiatan misi Kristen, bahkan wilayah-wilayah tertentu yang dianggap sensitif, dilarang untuk operasi kegiatan misi,” tulis Mujiburrahman dalam Mengindonesiakan Islam Representasi dan Ideologi.

Baca juga: 

Masuknya Kristen di Indonesia

Setelah bubarnya VOC, di antara pejabat pemerintah kolonial Hindia Belanda ada yang mendukung penyebaran agama Kristen. Dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jan Aritonang menyebut, “Menurut penjelasan resmi pemerintah hal itu lebih merupakan sikap dan minat pribadi dari pejabat yang bersangkutan.”

Sikap pemerintah kolonial itu membuat sebagian orang dari zending (lembaga penyebaran agama Kristen) menilai bahwa pemerintah kolonial lebih mendukung Islam ketimbang Kristen. Maka, penyebaran agama Kristen tak melulu dilakukan oleh orang-orang Belanda.

Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) alias Serikat Misionaris Rhein merupakan salah satu zending paling berjasa dalam penyebaran Kristen di Indonesia. Zending ini adalah gabungan dari organisasi misionaris kecil di Elberfeld, Bremen, dan Köln yang bersatu pada 23 September 1828. RMG lalu merambah Nusantara pula, di mana zending itu menjadi lebih besar dari di daerah dakwah awalnya.

Kendati Sumatra Utara menjadi salah satu daerah awal misi RMG di Nusantara, bukan berarti daerah-daerah lain tak disentuhnya. “Selain itu misi RMG diusahakan di Kalimantan, yaitu GKE dan di Nias, hasilnya, yaitu BNKP dan gereja-gereja di samping BNKP,” tulis Wendy Sepmady Hutahaean dalam Sejarah Gereja Indonesia.

Baca juga: 

Aksi Nommensen di Tanah Batak

Di Sumatra Utara, di mana RMG mulai beroperasi pada 1861, Ludwig Ingwer Nommensen (1834-1918) menjadi ujung tombak penginjilan itu. Dipilihnya Sumatra Utara menjadi daerah awal misi RMG tak bisa dilepaskan dari perkembangan pesat Islam yang merisaukan RMG. Kala itu ada persaingan antara Islam dan Kristen.

“Zending [RMG] belajar dari kasus kegagalan penginjilan mereka di Tapanuli Selatan, di mana zending kalah bersaing dengan Islam, dan hal ini dapat terulang kembali di Simalungun. Zending yang begitu risau terhadap kemajuan Islam di Simalungun sangat kuatir kalau penduduk Simalungun beralih memeluk agama itu. Jadi ketakutan zending terhadap pesatnya penyebaran Islam itu memotivasi Nommensen sebagai pimpinan zending di Tanah Batak untuk melakukan langkah antisipatif. Nommensen memilih supaya zending secepatnya masuk ke Simalungun. Nommensen dengan agak ‘terburu-buru’ lewat telegramnya ke kantor pusat RMG di Barmen meminta zending secepatnya mengirimkan pekabar Injil ke Simalungun, sebelum suku bangsa Timur ini keseluruhannya berhasil diislamkan,” tulis Juandaha Dasuha dan Martin Sinaga, dikutip Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia.

Di Tanah Batak, RMG mengutus Nommensen untuk mengkabaran Injil di sana. Orang Batak di Tapanuli Utara pun menganut Kristen setelah itu. Masuknya mereka ke Kristen tak lepas dari peran nyata Nommensen-RMG dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakat, dengan mendirikan balai kesehatan. Wabah cacar air  sedang mengganas kala Nommensen menjalankan misi. Ke balai kesehatan RMG-lah para penduduk mencari penyembuhan penyakit mereka.

Baca juga: 

D.I. Pandjaitan Berkhotbah di Jerman

Ajaran Kristen lalu berkembang ke arah utara dan timur Tapanuli. Maka setelah gereja-gereja Batak bermunculan, berdiri persekutuan gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).

Perkabaran Injil di Sumatra Utara sendiri sejatinya dimulai lebih dulu di Pulau Nias. Lewat Ernst Ludwig Denninger (1815-1875), pelan-pelan banyak orang Nias menjadi Kristen. Gereja-gereja lalu dibangun di pulau yang dikenal dengan aksi lompat batunya itu. Lalu, muncul persekutuan geraja bernama Banua Niha Keriso Protestan (BNKP).

Persebaran agama Kristen di Sumatra Utara dan Nias perlahan menggeser agama lama yang dianggap agama asli suku yang ada di Sumatra Utara. Orang Batak pun tak beribadat dalam agama Parmalim lagi, sebagaimana Orang Nias akhirnya tak semuanya tahu siapa Lowolangi.

Menyebarnya Kristen di Tapanuli dan Nias membuat kota Tarutung menjadi kota penting dalam sejarah Kristen di Tapanuli. Di sanalah zending mendirikan banyak sekolah. Sekolah-sekolah itu menggunakan sistem pendidikan yang digunakan Jerman. Pemerintah kolonial tak campur tangan, apalagi sampai repot-repot mendirikan sekolah serupa. Pemerintah hanya memberi subsidi pada sekolah-sekolah yang ada di sana.

Di zaman Hindia Belanda, berdiri sekolah setara SMP berbahasa Belanda, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di sana, yang dikenal sebagai MULO Tarutung. MULO ini meluluskan Tahi Bonar Simatupang yang kelak jadi salah satu petinggi militer Indonesia, Roos Talumbanua yang kelak gubernur Sumatra Utara, dan Donald Izacus Pandjaitan yang kemudian menjadi Pahlawan Revolusi.

Hingga kini, Tarutung masih menjadi kota pelajar bagi orang Nias. Banyak mahasiswa asal Nias ingin sekali menjadi pendeta dengan belajar ke sana.*

TAG

kristen batak sumatra utara

ARTIKEL TERKAIT

ADARI Klaim Bung Karno Nabi Diangkat Jadi Nabi, Bung Karno Tak Sudi Jalan Radius Prawiro Sebagai Pengikut Jesus Sejarah Gereja dan Seni Kristiani Sambil Berhaji Menimba Ilmu Mengelola Jamaah Haji dari Masa ke Masa Tentang Dua Kelenteng yang Bersejarah Paus Yohanes Paulus II Terpukau Pancasila Pertemuan Presiden Sukarno dan Paus Yohanes XXIII di Vatikan Secuplik Jejak Paus Paulus VI di Jakarta