PERIODE keemasan Islam di Asia Barat, utamanya Baghdad, memang perlahan runtuh di abad ke-14. Namun, komunitas cendekiawan sains maupun agama masih bertahan di kawasan Hejaz, khususnya di Makkah dan Madinah. Ke dua kota suci itu pula kalangan Islam terpelajar di Nusantara berhaji sekaligus menimba ilmu. Sebab, sedari abad ke-15 hingga ke-20, menjalankan rukun Islam yang kelima itu bukanlah hal mudah apalagi murah bagi para muslim Nusantara. Tak ayal banyak yang memanfaatkan momen berhaji untuk sekaligus belajar dengan para cendekiawan dan ulama di Makkah dan Madinah.
“Karena biaya ekonominya sangat tinggi maka banyak muslim Jawi atau muslim di komunitas Asia Tenggara, termasuk Indonesia, selatan Thailand, selatan Filipina, dan juga Brunei saat ini, mereka setelah atau sebelum haji belajar secara keilmuan,” ujar akademisi Universitas Islam Internasional Indonesia, Zacky Hairul Umam, di gelar wicara “JASMERAH” Pusat Jasa Informasi Perpustakaan dan Pengelolaan Naskah Nusantara-Perpustakaan Nasional RI (Pujasintara Perpusnas RI) bertajuk “Perjalanan ke Tanah Suci: Jamaah Haji Indonesia dalam Arus Sejarah” di Perpusnas, Rabu (30/10/2024).
Bukan hanya ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu “sekuler” semisal sastra, politik, dan astronomi juga mereka pelajari. Lazimnya, mereka yang berhaji dan kemudian tinggal dan belajar di Hejaz berasal dari kalangan bangsawan atau setidaknya tokoh-tokoh yang disponsori para bangsawan, pejabat, dan keluarga kerajaan/kesultanan di Nusantara.
“Jadi kita membayangkan sebelum Belanda memperkenalkan STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen/sekolah medis) dan lain-lain, komunitas beragama di Indonesia, khususnya muslim, akses ilmu dan literasinya melalui keilmuan dengan aksara Arab,” imbuh penulis buku Renungan Pemikir Muslim Dunia: Filsafat, Sastra, Politik tersebut.
Baca juga: Mengelola Jamaah Haji dari Masa ke Masa
Maka, lanjut Zacky, kedatangan para kalangan terpelajar di antara calon jamaah haji Nusantara seolah mengubah citra buruk sebelumnya yang dianggap sebagai farukha (anak itik) atau bagar (hewan ternak) oleh pribumi Hejaz, yang hingga awal abad ke-20 masih jadi wilayah Kesultanan Utsmani.
“Maka di sisi lain, kita punya gambaran yang sangat positif. Jadi ada kontras, di mana ada citra yang kurang baik tapi di sisi lain kita jadi punya komunitas ulama, sarjana muslim yang intelektual. Mereka setelah berhaji juga tinggal di Makkah dan bahkan menjadi al-ustadz atau profesor. Jadi bukan hanya pendakwah agama,” tambah Zacky.
Setelah mereka kembali, transfer ilmu pengetahuan menyebar di tanah mereka masing-masing. Mereka terinspirasi mendirikan “Makkah-Makkah” kecil sebagai kawah candradimuka ilmu pengetahuan. Salah satunya, Sultan Mahmud Syah I (1446-1459) asal Kesultanan Malaka.
“Sultan Mahmud Syah ingin mengubah Malaka sebagai Makkah itu sendiri. Karena Makkah dianggap sebagai pusat keislaman saat itu sehingga Malaka ingin membuat pusat sendiri. Memang Makkah yang sesungguhnya hanya ada satu tapi ‘Makkah-Makkah Kecil’ di masa itu tumbuh di Asia Tenggara bahkan sampai ke Balkan,” urainya.
Baca juga: Armada Portugis Membuka Gerbang Dominasi Asia
Selain Malaka, ada Kesultanan Aceh yang hingga kini dijuluki “Serambi Makkah”. Aceh menjadi pusat keislaman terbesar di Asia Tenggara setelah kemunduran Malaka.
“Sesungguhnya negeri Aceh Darussalam ini serambi Makkah Allah yang Maha Mulia,” sebut Syekh Nuruddin al-Raniri dalam Bustan al-Salatin (1636).
Kemajuan Kesultanan Aceh sebagai salah satu pusat keislaman di Asia Tenggara terjadi seiring pelabuhan-pelabuhan di Aceh jadi jalur pelayaran penting Selat Malaka. Selain jadi rute perdagangan, Aceh jadi rute “transit” penting bagi para calon jamaah haji di Nusantara dan Semenanjung Melayu.
“Jadi kita bisa membayangkan orang-orang yang mau haji dari Maluku, dari Banten, Gowa, pasti melewati Aceh. Di Aceh bisa belajar pada tokoh-tokoh seperti Syekh al-Raniri, baru kemudian menuju Gujarat (India) baru ke Jazirah Arab. Jadi melalui tempat-tempat itu mereka sudah belajar dulu juga untuk sekian waktu. Belajar lagi ke Gujarat hingga Makkah. Di sinilah pembentukan komunitas muslim yang jadi think tank-nya umat muslim saat itu,” jelas Zacky.
Baca juga: Perjalanan KH Abdul Chalim Nandur Cinta Tanah Air
Maka kemudian bermunculanlah tokoh-tokoh dari Nusantara jebolan pusat keislaman di Hejaz beserta karya-karyanya mereka yang berpengaruh dalam dunia keislaman. Selain Syekh Al-Raniri, ada Syekh Hamzal al-Fansuri, Syekh Yusuf al-Makassari, Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, hingga Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Nama-nama seperti KH Ahmad Dahlan sang pendiri Muhammadiyah dan KH Hasyim Asy’ari pendiri Nadhlatul Ulama (NU) pun sempat berguru ke Syekh al-Minangkabawi di Makkah. Kedua tokoh itu juga tercatat pernah berguru di Madrasah al-Shaulatiyah yang berdiri di Makkah sejak 1292 atas donasi muslimah India, Shaulat al-Nisa.
“Jadi yang terjadi di sini bukan hanya untuk haji tapi juga untuk membentuk komunitas ilmu pengetahuan dan di sinilah kemudian keterkaitan erat antara ritual haji tiap tahun dengan transmisi ilmu pengetahuan di antara para intelektual yang sudah kita lihat,” tukasnya.
Namun, zaman berubah. Tren berhaji sembari menimba ilmu di kalangan terpelajar perlahan memudar. Meski tak berkausalitas tapi berkorelasi bahwa tren itu menurun sejurus perubahan politik di Jazirah Arab dan perkembangan teknologi transportasi mulai abad ke-20.
Baca juga: Empat Versi Al-Qur'an Milik Teuku Umar
Pasca-Perang Dunia I (1914-1918), situasi politik di Kesultanan Utsmani perlahan bergolak dengan puncaknya berdirinya Republik Türkiye yang sekuler pada 1924. Wilayah Hejaz secara geopolitik pun sudah beralih ke tangan keluarga Ibnu Saud sejak 1923 hingga menjadi Kerajaan Arab Saudi pada 1932, di mana pemerintahnya mulai membatasi sumber-sumber keilmuan yang memengaruhi keharmonisan mazhab-mazhab yang ada.
“Pada 1926 sampai pernah dibuat surat yang ditandatangani Syekh Hasyim Asy’ari (pendiri NU) yang mewakili kegelisahan masyarakat dan ulama-ulama di Jawa setelah mendapat laporan-laporan jamaah haji waktu itu, bahwa sudah banyak kitab yang selama ini menjadi rujukan dan penting dikaji seperti kitab-kitab Imam al-Ghazali, itu dilarang oleh rezim yang baru berkuasa di sana,” timpal peneliti Pusat Pengkajian dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (PPIM UIN Jakarta) Dadi Darmadi.
“Pun juga surat-surat serupa yang berisi keberatan dari India, Persia, juga ada. Mereka menuntut dihormatinya kebebasan bermazhab dan belajar kitab-kitab hingga standarisasi keamanan dan pembiayaan ibadah haji,” lanjutnya.
Faktor lainnya, perubahan transportasi. Jalur laut yang digunakan untuk perjalanan haji digantikan jalur udara. Hal itu membuat perjalanan ke tanah suci dan ibadah haji menjadi jauh lebih singkat sehingga perlahan aspek-aspek intelektualnya memudar menjadi aspek spiritual murni berupa ibadah haji belaka.
“Kalau dulu bisa berminggu-minggu sekarang tinggal 40 hari ibadah haji semata. Kalau ONH Plus bisa 10 hari mungkin. Membuat haji sebagai melting pot, sebagai transmitter keilmuan, bahkan juga gerakan tarekat hampir-hampir menghilang. Yang ada adalah ini pemberangkatan rombongan besar. Sudah seperti event organizer yang besar saja,” tandas Dadi.
Baca juga: Di Balik Tabir Pahlawan Nasional Abdul Kahar Mudzakkir