DUNIA internasional hanya jadi saksi yang tak berdaya untuk menghentikan agresi Israel yang cenderung genosida di Jalur Gaza, Palestina. Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tak mempan, usulan embargo minyak pun ditolak Arab Saudi.
Hingga hari ke-45 agresi Israel, sebagaimana dikutip Anadolu Ajansı, Senin (20/11/2023), korban sipil yang tewas di Jalur Gaza sudah mencapai 13 ribu jiwa. Sebanyak 5.500 di antaranya anak-anak, sementara 30 ribu lainnya terluka dan 6.000 lainnya masih dinyatakan hilang.
Terbaru, setelah Rumah Sakit (RS) Al-Shifa di kota Gaza diduduki, giliran RS Indonesia di Gaza Utara jadi sasaran pemboman dan serangan darat tentara Zionis hingga menewaskan 12 orang. Meski sudah berhenti beroperasi sejak Kamis (16/11/2023), RS Indonesia masih terdapat 150 pasien, 100 staf medis, dan ribuan pengungsi yang permukimannya hancur oleh pemboman Israel.
“Ribuan nyawa pasien, personil medis, dan pengungsi berada dalam risiko kematian sebagai hasil pemboman langsung dan terus-menerus terhadap Rumah Sakit Indonesia,” ungkap Kementerian Kesehatan Gaza, dikutip TRT World, Senin (20/11/2023).
Baca juga: Al-Shifa, dari Barak Inggris hingga Rumah Sakit Terbesar di Gaza
Pemerintah Indonesia sendiri sudah berupaya memberikan tekanan lewat Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB pertengahan Oktober lalu dan Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pada 11 November 2023. Namun Resolusi PBB di-veto Amerika Serikat, sedangkan usulan untuk embargo minyak terhadap Israel untuk memberi tekanan lebih keras di KTT OKI ditolak Maroko, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Arab Saudi.
Pada KTT OKI itu, putra mahkota Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) yang memimpin delegasi Saudi mengecam keras bencana kemanusiaan yang terjadi di Palestina. Namun ia tetap menolak embargo minyak kepada Israel dan negara-negara pendukung Israel yang diusulkan Iran. Penolakan itu disambut positif Amerika.
“Tingkat kerjasama antara Amerika dan negara-negara Teluk produsen minyak, termasuk Riyadh (Arab Saudi, red.) sangat kuat beberapa tahun terakhir ini. Sejak menjadi komoditas perdagangan, minyak selalu dijadikan senjata dari waktu ke waktu tapi saya rasa (embargo) itu tidak akan terjadi saat ini,” kata penasihat energi Kepresidenan Amerika Amos Hochstein kepada Financial Times, Minggu (19/11/2023).
Beberapa pengamat mengungkapkan jika embargo itu diterapkan, negara-negara Arab itu akan menciptakan isu baru dengan Amerika. Maklum, belakangan beberapa di antara negara Arab itu sempat menjajaki normalisasi hubungan dengan Israel sebelum konflik di Gaza terjadi, di antaranya UEA, Bahrain, Sudan, dan Maroko atas dukungan Amerika pada 2020.
Pun juga Saudi meski belakangan upaya normalisasinya dengan Israel ditunda gegara agresi Israel di Gaza dan Tepi Barat. Dinamika itu tampak berlainan 180 derajat dibanding masa lalu, saat pemerintahan Raja Faisal bin Abdulaziz (1964-1975). Saudi begitu lantang dengan sikap anti-Israel dan menyuarakan kemerdekaan Palestina.
Baca juga: Keffiyeh Simbol Perjuangan dan Solidaritas Palestina
Embargo Minyak sebagai "Senjata"
Sejak terjun ke politik internasional sebagai menteri luar negeri Saudi, Pangeran Faisal yang baru berusia 25 tahun sudah kencang menyuarakan dukungannya terhadap Palestina pada Konferensi London, 7 Februari-17 Maret 1939. Ia tampil memimpin delegasi Saudi mewakili ayahnya, Raja Abdulaziz, untuk ikut bicara soal rencana masa depan pemerintahan tanah Palestina yang saat itu masih dipegang Inggris.
“Faisal berangkat ke London sebagai pemimpin delegasi Arab Saudi dan ia membawa serta surat dari (Raja Abdulaziz) bin Saud kepada Perdana Menteri (PM) Inggris, Neville Chamberlain. Dalam suratnya raja mengingatkan Inggris tentang dukungan Arab kepada Inggris selama perang dan menyatakan dengan tegas tentang spirit persahabatan dan kebijakan mereka terkait isu Palestina,” tulis Mohammed Almana dalam Arabia Unified: A Portrait of Ibn Saud.
Konferensi London itu digelar salah satunya sebagai tanggapan penolakan negara-negara Arab atas Deklarasi Balfour (1917) soal rencana Inggris mendirikan negeri Yahudi dan Komisi Peel (1936), serta Komisi Woodhead (1938) yang merancang kerangka partisi atau pemisahan tanah Palestina. Mengutip Michel Fred Abcarius dalam Palestine: Through the Fog of Propaganda, Pangeran Faisal datang untuk turut menyuarakan posisi negara-negara Arab hasil rapat Delegasi Arab di Kairo pada 17 Januari 1939, yakni: kemerdekaan Palestina, menolak negara Yahudi di Palestina, penggantian pemerintahan Mandatory Palestine lewat perjanjian, dan penghentian imigrasi Yahudi dari Eropa ke tanah Palestina.
Baca juga: Gaza dalam Lintasan Sejarah
Namun, konferensi itu tak bisa dihelat secara penuh lantaran terjadi gejolak di Eropa akibat Jerman menganeksasi Austria dan Sudetenland (wilayah Cekoslovakia). Kendati begitu, Pangeran Faisal kembali vokal menyuarakan isu Palestina dan penentangannya terhadap kelompol Zionis lepas Perang Dunia II, terutama di forum PBB yang tengah menggodok Resolusi 181 tentang partisi Palestina.
“Sepanjang sejarah negara-negara Arab menjadi pelindung bagi bangsa Yahudi saat mereka dipersekusi di seluruh dunia, terutama di Eropa. Tetapi hari ini bangsa Arab ingin mengusir agresi dari sebuah kelompok politik minoritas yang disebut dengan ‘Zionis’. Kelompok yang tidak merepresentasikan bangsa Yahudi. Kelompok yang lebih politis ketimbang relijius, kelompok yang melakukan cara-cara dan metode yang tidak berbeda dari Nazi,” seru Pangeran Faisal di majelis umum PBB, 22 September 1947, dikutip Daniela Huber dalam The International Dimension of the Israel-Palestinian Conflict: A Post Eurocentric Approach.
Usai prahara politik internal di Saudi dan Faisal naik takhta pada 2 November 1964 menggantikan kakaknya, Saud bin Abdulaziz, Faisal kian menggencarkan dukungannya terhadap Palestina dan kesucian Masjid Al-Aqsa sebagai kibat pertama umat muslim sedunia. Raja Faisal pun tercatat jadi satu dari sedikit pemimpin dunia Arab yang pertamakali berkunjung ke Yerusalem dan mendirikan shalat di Masjid Al-Aqsa medio Februari 1966.
“Sebagai penjaga kota suci Makkah dan Madinah, pemerintah Saudi tak bisa memalingkan perhatiannya terhadap Masjid Al-Aqsa di Yerusalem. (Raja) Faisal faktanya pernah salat di Masjid Al-Aqsa seiring pemerintah Saudi berkontribusi terhadap restorasi masjid Kubah Batu (Dome of Rock),” tulis William B. Quandt dalam Saudi Arabia in the 1980s: Foreign Policy, Security, and Oil.
Baca juga: Aksi-Aksi Zionis Israel Menodai Masjid Al-Aqsa
Tetapi setahun berselang, Perang Enam Hari (5-10 Juni 1967) pecah antara Israel melawan negara-negara Arab: Mesir, Suriah, Yordania, Irak, dan Lebanon. Raja Faisal turut bereaksi dengan memobilisasi 20 ribu prajurit Saudi untuk ditempatkan di Yordania.
Kendati dikeroyok, Israel yang dibekingi Amerika sanggup mencuri kemenangan dengan mencaplok Dataran Tinggi Golan dari Suriah, Tepi Barat dan Yerusalem dari Yordania, serta Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir.
“Setelah 1967, situs-situs suci Islam dikuasai Israel seiring aneksasi Yerusalem Timur. Faisal sangat bersikeras pada desakannya bahwa Yerusalem harus bebas dari dominasi pihak Israel dan ia menyerukan mimpinya untuk bisa shalat lagi di masjid (Al-Aqsa) sebelum ia mati,” imbuh Quandt.
Sejak saat itu pula Raja Faisal tak bisa melihat dunia dengan cara yang sama. Jatuhnya Palestina, utamanya Yerusalem di mana Masjid Al-Aqsa berada, ke tangan Zionis menjadi pukulan yang menyakitkan bagi Raja Faisal.
“Saya diceritakan oleh kerabat, bahwa setelah 1967 dan kejatuhan Yerusalem ke tangan Israel, itu menjadi titik balik kehidupannya (Raja Faisal). Ia tak pernah tersenyum lagi. Ia menjadi sosok pendiam, tenggelam dalam renungannya, dan ia lebih sering jadi pendengar semata ketimbang banyak bicara lagi,” kenang Pangeran Amr bin Mohammed al-Faisal, cucu Raja Faisal, kepada Public Broadcasting Service pada September 2003.
Baca juga: Prahara Yerusalem Diusik Amerika
Namun Raja Faisal tetap bisa meluapkan kemarahannya kala terjadi pembakaran terhadap Masjid Al-Aqsa oleh Denis Michael Rohan, seorang Yahudi asal Australia, pada 21 Agustus 1969. Ketika pecah Perang Arab-Israel Keempat atau lebih dikenal sebagai Perang Yom Kippur (6-25 Oktober 1973) pecah antara Israel kontra Mesir dan Suriah, Raja Faisal tak hanya kembali memobilisasi 20 ribu prajuritnya tapi juga memberlakukan embargo minyak yang didukung negara-negara Arab lain.
“Pencapaian pihak Arab pada Perang 1973, meskipun terbatas, sikap Faisal yang memimpin embargo minyak, dan tajamnya peningkatan harga minyak dunia telah menciptakan tingkat persatuan dan saling percaya di antara negara-negara Arab yang jarang terjadi sebelumnya,” ungkap Willard A. Beling dalam King Faisal and the Modernisation of Saudi Arabia.
Raja Faisal menarik pasokan minyak dari negerinya di pasar dunia dan diikuti para koleganya sesama anggota Organisasi Eksportir Minyak Arab (OAPEC) yang berujung pada Krisis Minyak 1973. Sikapnya itu menjadi “senjata” yang menohok Israel dan juga negara-negara Barat yang membekinginya, seperti Amerika, Kanada, Belanda, Inggris, dan Jepang.
Negara-negara Barat itu pun kelabakan. Sampai akhir Maret 1974, harga minyak dunia meroket tiga kali lipat dari USD3 per barel menjadi USD12 per barel. Krisis Minyak 1973 itu berakar dari kemarahan Raja Faisal setelah mendengar kabar Presiden Amerika Richard Nixon memberi bantuan senjata untuk Israel senilai USD 2,2 juta.
Baca juga: Soeharto Ingin Bangun Pabrik Senjata Buatan Amerika
Saking pusingnya Presiden Nixon, ia mengutus menteri luar negeri Henry Kissinger untuk menghadap Raja Faisal pada 7 November 1973 di Riyadh, Saudi. Misinya membujuk Raja Faisal mencabut embargo minyaknya.
“Amerika selalu pasang badan terhadap agresi, seperti yang dilakukan pada Perang Dunia II dan 1956 saat Perang Suez. Jika Amerika melakukan hal serupa pasca-1967, kita takkan menyaksikan kemerosotan ini. Sebelum negara Yahudi berdiri, tidak ada hal yang menyakiti hubungan baik bangsa Arab dengan Yahudi. Israel melakukan cara-cara seperti komunis…mereka mendirikan basis komunis di Timur Tengah dan sekarang di seluruh dunia,” kata Raja Faisal ketus pada Kissinger, dikutip Robert Lacey dalam The Kingdom.
Baru pada Maret 1974, lanjut Lacey, Raja Faisal mau melunak pada Amerika. Itupun atas “mediasi” Presiden Mesir Anwar Sadat, di mana Saudi menerima negosiasi atas dasar penjualan senjata Amerika kepada Saudi dan kepastian amannya investasi miliaran dolar di bank-bank negara-negara Barat. Sebagai timbal-baliknya, Amerika dan Uni Soviet menekan Israel untuk gencatan senjata.
Baca juga: Che Guevara dan Perlawanan di Gaza
Tetapi dua tahun berselang Saudi dirundung duka. Raja Faisal ditembak mati oleh keponakannya yang belum lama kembali dari Amerika, Pangeran Faisal bin Musaid al-Saud. Kala itu, 25 Maret 1975, Pangeran Musaid turut hadir dalam sebuah rapat dengan delegasi Kuwait di istananya di Riyadh. Seiring Musaid mencium tangan Raja Faisal, ia mengeluarkan revolver dari balik pakaiannya dan menekan pemicunya tiga kali untuk menembak Raja Faisal di bagian dagu dan telinga.
Raja Faisal dilarikan ke rumah sakit namun nyawanya tak terselamatkan. Sedangkan Musaid yang ditahan aparat, diajukan ke persidangan. Ia lalu dieksekusi mati pada 18 Juni 1975 sesuai hukum syariah.
Publik kemudian disuguhi sejumlah rumor motif pembunuhan Raja Faisal oleh Musaid. Beberapa di antaranya adalah bahwa ia ingin balas dendam atas kematian saudaranya, atau balas dendam terhadap turun takhtanya Raja Saud, atau Musaid merupakan agen CIA (intelijen Amerika) atau agen Mossad (intelijen Israel) lantaran kekasih Musaid, Christine Surma, ditengarai sebagai aset Mossad.
“Hingga hari kematiannya, ia tak bisa mewujudkan mimpinya untuk kembali shalat di Masjid Al-Aqsa. Penerusnya (Raja Khalid bin Abdulaziz) tetap melanjutkan fokusnya mendukung (kemerdekaan) Palestina dan kebebasan Yerusalem, meski beberapa upayanya tak segencar dahulu, terutama soal pemikiran Faisal tentang konspirasi Zionis-komunis,” tandas Quandt.
Baca juga: Korea Utara di Antara Konflik Israel-Palestina