Masuk Daftar
My Getplus

Lima Invasi Israel ke Lebanon

Walau PBB menempatkan pasukan penjaga perdamaian UNIFIL, Israel tak pernah segan melancarkan invasi-invasinya ke Lebanon.

Oleh: Randy Wirayudha | 08 Okt 2024
Patroli pasukan UNIFIL di garis demarkasi "Blue Line" dekat perbatasan Lebanon Selatan-Israel (unmissions.org)

PASUKAN Irlandia yang tergabung dalam United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL) teguh pada tugas dan misinya. Mereka menolak tuntutan Israel untuk meninggalkan pos perbatasan sering invasi darat Israel ke selatan Lebanon yang dilancarkan sejak 1 Oktober 2024.

Mengutip Irish Times, Jumat (4/10/2024), militer Israel meminta Irlandia menarik pasukannya dari pos perbatasan. Utamanya satu peleton dari Batalyon ke-124 Angkatan Darat (AD) Irlandia yang berjaga di pos penjaga perdamaian PBB 6-52, salah satu pos perbatasan di sepanjang Garis Demarkasi Blue Line di wilayah Bint Jbeil, Lebanon Selatan. Wilayah itu jadi salah satu area yang diinvasi Israel dalam operasi-operasi militernya terhadap Milisi Hezbollah sejak 1 Oktober 2024.

Situasi menjadi lebih runyam setelah militer Lebanon turut terlibat. Pada 3 Oktober, mereka adu-tembak dengan pasukan Israel pasca-salah satu pos AD Lebanon di Bint Jbeil jadi sasaran serangan.

Advertising
Advertising

Baca juga: Pasukan Perdamaian Indonesia di Gaza

Penempatan pasukan-pasukan UNIFIL di Lebanon Selatan (unmissions.org)

Menanggapi tuntutan Israel, Presiden Irlandia Michael Daniel Higgins meradang. Tuntutan militer Zionis itu dianggap bukan hanya mengancam UNIFIL tapi juga mengancam perdamaian yang begitu rapuh sejak dibentuknya UNIFIL pada 1978.

“Sungguh keterlaluan militer Israel mengancam pasukan penjaga perdamaian dan menuntut mereka untuk mengevakuasi desa-desa yang mereka jaga. Israel menuntut seluruh operasi UNIFIL di bawah mandat PBB ditinggalkan. Ini tidak hanya jadi penghinaan bagi institusi global dengan 193 anggotanya tapi juga penghinaan bagi pasukan yang mengambil risiko melindungi perdamaian yang rapuh,” tutur Presiden Higgins, dikutip RTÉ, Minggu (6/4/2024). 

Batalyon ke-124 AD Irlandia dengan 347 prajurit itu hanyalah satu dari dari 50 kontingen UNIFIL. Mengutip laman resmi UNIFIL, per 2 September UNIFIL berkekuatan 10.058 personel di bawah pimpinan Mayjen Aroldo Lázaro Sáenz dari Spanyol. Dari 50 kontingen, delapan di antaranya bertugas di sepanjang Garis Demarkasi Blue Line: Italia, Korea Selatan, Ghana, Malaysia, Irlandia, Spanyol, India, dan Indonesia.

Baca juga: Suka Duka Pasukan Perdamaian Indonesia di Gaza

Satgas Yonmek TNI Konga XXIII-R UNIFIL mengikuti HUT TNI ke-79 di shelter posnya (tni.mil.id)

Kontingen Indobatt atau Batalyon Indonesia jadi kontingen terbesar dengan 1.231 personel, Mereka bermarkas di Adchit al-Qusayr, Lebanon Selatan. Walau kondisinya siaga, Satgas Batalyon Mekanis TNI dari kontingen Indobatt tetap menyempatkan diri ikut memperingati HUT TNI ke-79 pada 5 Oktober 2024.

“Di tengah situasi konflik yang terjadi di Lebanon Selatan, Satgas Yonmek TNI Konga XXIII-R UNIFIL 2024 turut merayakan HUT ke-79 TNI. Meski dirayakan secara sederhana di dalam shelter, para prajurit Garuda tetap bersemangat menyaksikan kemeriahan perayaan yang dipusatkan di Silang Monas melalui livestreaming,” ungkap pernyataan Puspen TNI di laman resminya, Minggu (6/4/2024). 

Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI sebelumnya menyatakan takkan menarik kontingen Indonesia dari UNIFIL. Mereka tetap siaga jika ada perintah mengevakuasi 116 warga negara Indonesia (WNI) seiring kian sengitnya invasi Israel ke Lebanon. Pasalnya, tidak hanya Lebanon Selatan yang digempur pasukan darat Israel sejak 1 Oktober 2024, ibukota Beirut dan beberapa kota lainnya juga jadi sasaran serangan udara Israel sejak akhir September 2024. Invasi Israel ini jadi yang kelima dilancarkan sejak 1978. Berikut empat invasi lainnya:

Invasi 1978 

Serdadu Israel menyandera warga sipil Lebanon Selatan selama invasinya pada 1978 (idf.il)

Sebagai dampak Peristiwa Nakba atau “Bencana” pada 1948, sebagian dari penduduk Palestina yang terusir seiring berdirinya negara zionis Israel mengungsi ke Lebanon Selatan. Tak hanya warga sipil yang mencari suaka tapi juga milisi fedayeen. Di antara milisinya lalu membentuk Organisasi Pembebasan Palestina PLO pada 1964 yang berbasis di Lebanon Selatan hingga berujung pada Konflik Lebanon Selatan 1978.

Demi memburu milisi PLO pasca-pembajakan bus di Haifa pada 11 Maret 1978, militer Israel dibantu milisi Tentara Lebanon Selatan (SLA) dari kalangan Kristen Maronit melancarkan invasi pada 14 Maret 1978. Invasi bersandi “Operasi Litani” itu menyasar sejumlah area di selatan Sungai Litani.

“Operasinya dimulai dengan pemboman udara, artileri (darat), dan dari laut sebelum 25 ribu serdadu Israel memasuki selatan Lebanon,” ungkap Robert Fisk dalam Pity the Nation: The Abduction of Lebanon.

Baca juga: Kala Penduduk Gaza Terusir, Peristiwa Nakba Terulang Lagi?

Milisi PLO sendiri sudah keburu mundur ke arah utara sehingga pemboman dan invasi darat itu justru membuka daftar korban dari warga sipil Lebanon. Israel mengklaim mereka menewaskan 550 anggota PLO selama invasi 14-21 Maret 1978. Namun riset Prof. Augustus Richard Norton dan Jillian Schwedler dari Universitas Boston, “(In)security Zones in South Lebanon” yang terbit di Journal of Palestine Studies tahun 1993, membongkar fakta bahwa ada 1.100 nyawa sipil Palestina dan Lebanon yang melayang.

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) merespons dengan mengeluarkan Resolusi 425 dan Resolusi 426 yang menyerukan penarikan pasukan Israel dari Lebanon. Bersamaan dengan itu, ditentukanlah Garis Demarkasi “Blue Line” dan pembentukan UNIFIL untuk jadi garda perdamaian di wilayah rentan itu.  

Invasi 1982 

Bandara Beirut diduduki tentara Israel saat invasi 1982 (idf.il)

Keberadaan UNIFIL di Lebanon Selatan nyatanya tak selalu menjamin perdamaian. Baik pihak Israel maupun PLO masih acap saling serang yang bahkan turut memakan korban dari pihak UNIFIL. 

Konflik diperparah oleh keterlibatan militer Suriah yang ikut menyokong PLO di satu pihak, sementara di pihak lain Israel mencampuri internal pemerintahan Lebanon dengan mendukung kelompok Kristen Maronit yang pro-Israel berkuasa di pemerintahan Lebanon agar bisa mengusir PLO dari Lebanon Selatan. Memburuknya situasi Perang Sipil Lebanon (1975-1990) pasca-pembunuhan Presiden Bachir Gemayel pada 14 September 1982 oleh kelompok paramilter SSNP Suriah membuat Israel membulatkan tekad melancarkan invasi seiring Perang Lebanon (6 Juni-29 September 1982).

“Sedari Juli 1981 sampai invasi Israel pada Juni 1982, PLO memperkuat persenjataanya dengan 20 tank T-54 dan T-55 dan sekitar 40 roket Katyusha. Ditambah sembilan meriam anti-tank, misil-misil anti-pesawat SA7 Strella dan serratus mortar 20 mm dan 160 mm yang juga diposisikan di Lebanon Selatan,” tulis Richard A. Gabriel dalam Operation Peace for Galilee: The Israeli-PLO War in Lebanon.

Untuk meresponsnya, Israel menyiapkan kekuatan yang tak kalah besar dengan sekitar 78 ribu personil, 800 tank, 1.500 kendaraan tempur lapis baja, dan 634 pesawat. Belum lagi dukungan 30 ribu serdadu LF (Pasukan Kristen Lebanon) dan lima ribu milisi SLA serta 97 tanknya. Maka ketika Israel melancarkan “Operasi Perdamaian untuk Galilee” pada 6 Juni 1982, itu jadi invasi terbesar Israel ke Lebanon.

Baca juga: Ketika Israel Menghantam Kapal Amerika

Selain invasi darat di Lebanon Selatan, milisi-milisi lain turut melancarkan pengepungan Ibukota Beirut pada 14 Juni-21 Agustus 1982. Invasi yang berlangsung hingga 29 September 1982 itu meninggalkan sejumlah jejak pembantaian di beberapa kamp pengungsi Palestina, salah satunya Pembantaian Sabra dan Shatila (16-18 September 1982).

Pembantaian yang menewaskan hingga 3.500 pengungsi Palestina dan sipil Syiah Lebanon itu turut menuai kecaman dari PBB. Majelis Umum PBB pada 16 Desember 1982 menyatakan pembantaian itu sebagai tindakan genosida. Laporan komisi internasional pimpinan diplomat Irlandia Seán MacBride, “Israel in Lebanon: The Report of International Commission to enquire into reported violations of International Law by Israel during its invasion of the Lebanon” menyimpulkan: “pemerintah Israel melakukan tindakan agresi yang bertentangan dengan hukum internasional.”

Invasi Israel baru berakhir setelah ada Persetujuan 17 Mei (1983). Selain penarikan mundur militer Israel dari wilayah Lebanon, persetujuan ini menghasilkan diciptakannya “Zona Keamanan” di perbatasan Lebanon Selatan. Poin itu membuat PLO terusir dari Lebanon Selatan dan mencari suaka ke Tunisia. 

Invasi 1996 

Artileri Israel membombardir Lebanon Selatan dalam “Operasi Grapes of Wrath” (nli.org.il)

Meski PLO sudah tergusur dari Lebanon Selatan pasca-Invasi 1982, Israel punya lawan baru di Lebanon Selatan, yakni kelompok Syiah Hezbollah. Salah satu pendirinya kelompok yang lahir pada 1985 ini adalah Hassan Nasrallah. Tokoh ini jadi satu dari enam yang tewas dalam serangan udara Israel ke markas Hezbollah di Beirut pada 27 September 2024 lalu.

Invasi dimulai dari saling berbalas serangan roket antara militer Israel dan Hezbollah sejak 1993. Saling serang ini bereskalasi hingga 30 Maret 1996 ketika misil-misil Israel menewaskan sejumlah warga sipil di Yater, Bint Jbeil, Lebanon Selatan. Alhasil, militer Israel memutuskan melancarkan invasi lagi lewat “Operasi Grapes of Wrath” (11-27 April 1996). Tidak hanya mengirim pasukan darat, Angkatan Laut Israel juga memblokade pelabuhan Beirut, Sidon, dan Tyre.

“Selama 16 hari operasi pembalasan dalam operasi itu, Israel juga melancarkan 600 serangan udara dan 25 ribu serangan artileri ke Lebanon yang menewaskan 154 warga sipil dan 351 lainnya terluka. Bahkan beberapa serangannya ditargetkan tak jauh dari basis UNIFIL dekat Qana hingga satu dari sekian bunker UNIFIL terkena serangan artileri Israel yang melukai 4 personil UNIFIL (kontingen Fiji) dan menewaskan 100 warga sipil Lebanon,” ungkap Sergio Cantignani dalam Israel Counter-Insurgency and the Intifadas: Dilemmas of a Conventional Army.

DK PBB merespons dengan mengeluarkan Resolusi 1052 pada 18 April 1996 yang intinya menuntut gencatan senjata. Namun baru 10 hari pasca-resolusi itu dikeluarkan, kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hezbollah yang dimediasi Amerika Serikat baru tercapai.

Invasi 2006 

Shelter Pengungsi PBB di Qana pasca-diserang Israel pada 2006 (un.org)

Sebagai dampak dari terbunuhnya salah satu petinggi gerilyawan Brigade Al-Quds (Palestina) Mahmoud al-Majzoub alias Abu Hamza lewat bom mobil pada 26 Mei 2006 di Sidon, Lebanon, Hezbollah melancarkan serangan roket ke Israel Utara. Serangan itu menghasilkan serangkaian raid antara Israel dan Hezbollah di perbatasan yang lantas berujung pada invasi yang memicu Perang Israel-Hezbollah (12 Juli-14 Agustus 2006).

Invasi itu merusak sejumlah infrastruktur di berbagai kota Lebanon dan memaksa satu juta warga Lebanon jadi tunawisma. Invasi itu juga menewaskan sekira 1.300 warga sipil Lebanon dan 195 warga sipil Israel.

“Karena itu juga merupakan tindakan perang dari negara Lebanon yang berdaulat. Lebanon ikut menanggung konsekuensinya,” ujar Perdana Menteri (PM) Israel Ehud Olmert, dikutip , 12 Juli 2006.

Baca juga: Korea Utara di Antara Konflik Israel-Palestina

Israel ikut menyeret pemerintah Lebanon bertanggungjawab karena dianggap gagal memenuhi Resolusi DK PBB 1559 untuk melucuti persenjataan Hezbollah. PM Lebanon Fouad Siniora yang mengaku tak terlibat dengan aktivitas Hezbollah mencoba meminta bantuan Presiden Amerika George W. Bush untuk menekan Israel demi gencatan senjata.

Sementara itu, pemerintah Lebanon memerintahkan militernya untuk bersiaga. emerintah Lebanon juga melarang militernya untuk terlibat dalam baku tembak antara Israel-Hezbollah, kecuali jika pasukan darat Israel terus melancarkan manuvernya lebih dalam di wilayah Lebanon. 

Pada 11 Agustus 2006, DK PBB mengadopsi Resolusi 1701 yang kemudian baru diterima pihak Lebanon, Hezbollah, dan Israel pada 15 Agustus 2006. Resolusi ini menghasilkan gencatan senjata dan juga pertukaran tawanan.  

Baca juga: Sengkarut Tragedi Sekjen PBB di Tengah Misi Perdamaian

TAG

pasukan perdamaian lebanon israel hizbullah

ARTIKEL TERKAIT

Sabra, Superhero Israel Sarat Kontroversi Kala Malcolm X Melawat ke Jalur Gaza Ketika Israel Menghantam Kapal Amerika Kelakar Gus Dur dan Benny Moerdani Tentang Israel Benjamin Netanyahu Ditolak Berkunjung ke Indonesia Suka Duka Pasukan Perdamaian Indonesia di Gaza Pratu Misdi, Pasukan Perdamaian Indonesia yang Gugur di Gaza Pasukan Perdamaian Indonesia di Gaza Simson, Si Manusia Perkasa Bangsa Israel Mempertanyakan Solusi Dua Negara Israel-Palestina