Masuk Daftar
My Getplus

Ketika Israel Menghantam Kapal Amerika

Israel mengaku tak sengaja membunuh aktivis Amerika di Palestina. Alasan klasik sejak militer zionis menewaskan puluhan pelaut Amerika 57 tahun silam.

Oleh: Randy Wirayudha | 13 Sep 2024
Kapal riset/intai USS Liberty bernomor lambung GTR-5 (usslittlerock.org/gtr5.com)

PEMBUNUHAN Ayşenur Ezgi Eygi, warga negara Amerika Serikat (AS) berdarah Türkiye, di Palestina oleh tentara zionis Israel tak ditanggapi serius oleh pemerintah AS. Sesumbar yang pernah diucapkan Presiden Joe Biden perihal konsekuensi balasan jika ada yang menyakiti orang Amerika pun jadi omong kosong belaka.

Mengutip laman resmi Gedung Putih, 2 Februari 2024 lewat, Presiden Biden menyatakan hal itu dalam pernyataan resminya dalam masa serangan balasan AS terhadap titik-titik milisi di Irak dan Suriah yang disokong Iran. Serangan itu merupakan respons usai tiga serdadu Amerika tewas di Yordania oleh sebuah drone yang diluncurkan milisi-milisi bersenjata yang didukung Iran.

“Amerika Serikat tidak menginginkan konflik di Timur Tengah atau di manapun di dunia. Tapi biarlah semua pihak yang ingin menyakiti kami untuk mengetahui: Jika Anda menyakiti orang Amerika, kami akan merespons,” tegas Biden.

Advertising
Advertising

Namun hal itu tak berlaku jika yang menyakiti atau membunuh warga sipil maupun personel Amerika adalah Israel. Kasus pembunuhan Ayşenur Ezgi Eygi pekan lalu jadi buktinya.

Baca juga: Lobi Israel Menyandera Amerika?

Ayşenur Ezgi Eygi yang merupakan aktivis International Solidarity Movement dengan dwi-kewarganegaraan, Amerika- Türkiye, tewas dengan luka tembak di kepala oleh  penembak runduk Tentara Pendudukan Israel (IOF) di Nablus, Tepi Barat, Palestina pada 6 September 2024. Saat itu ia tengah ikut aksi protes terkait ekspansi ilegal para pemukim Israel.

Jangankan membalas, segera melakukan penyelidikan pun tidak dilakukan Amerika. Pemerintahan Biden justru menerima saja hasil laporan penyelidikan awal pihak Israel yang menyatakan, bahwa tewasnya Ayşenur Ezgi Eygi adalah ketidaksengajaan. Menteri Luar Negeri Amerika Antony Blinken sekadar menyatakan insiden “ketidaksengajaan” itu patut disesalkan.

“Tidak ada seorang pun yang mestinya ditembak dan dibunuh hanya karena ikut aksi protes. Tidak ada seorang pun yang harusnya bertaruh nyawa untuk mengekspresikan pendapatnya. Pasukan Israel harus melakukan perubahan fundamental atas cara mereka beroperasi di Tepi Barat. Sekarang sudah dua warga Amerika tewas di tangan Israel dan itu sangat disesalkan,” cetus Blinken, dikutip Reuters, Rabu (11/9/2024).

Ayşenur Ezgi Eygi (kiri) & Rachel Aliene Corrie yang dibunuh Israel pada 2003 (palsolidarity.org/rachelcorriefoundation.org)

Ayşenur Ezgi Eygi bukan yang pertama. Sejurus pembantaian Israel terhadap warga Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat sejak Oktober 2023, tercatat sudah tiga orang berpaspor Amerika yang dibunuh tentara Israel. Selain Ayşenur Ezgi Eygi, ada Mohammad Khdour dan Tawfic Abdel Jabbar yang juga dibunuh Israel di Tepi Barat, medio Januari 2024.

Dua tahun silam (11 Mei 2022), Shireen Abu Akleh, jurnalis Amerika berdarah Palestina, juga ditembak mati oleh Israel di Jenin, Tepi Barat. Lalu jauh sebelumnya, ada Rachel Corrie, aktivis Amerika lainnya, yang tewas dilindas bulldozer zeni militer Israel ketika memprotes penghancuran permukiman warga Palestina di Rafah, Jalur Gaza pada 16 Maret 2003.

“Apa yang terjadi pada Ayşenur pada Jumat pagi (6 September) sangat mengusik emosi. Bagi kami, perih rasanya bahwa kejadian itu mengingatkan pada momen 16 Maret 2003 ketika kami mendengar kabar tentang Rachel. Sungguh suatu hari yang mengerikan dan menyakitkan bagi kami. Oleh karenanya kami pun ikut bersedih untuk keluarga (Ayşenur) yang mengalaminya saat ini,” tutur Cindy Corrie, ibunda mendiang Rachel Corrie, dilansir Democracy Now!, 9 September 2024.

Lima puluh tujuh tahun lampau, Israel juga pernah mengaku tak sengaja menghantam sebuah kapal Angkatan Laut (AL) Amerika di perairan Semenanjung Sinai yang menewaskan puluhan dan melukai ratusan personelnya.

Baca juga: Tangan Zionis Berlumuran Darah Jurnalis

Serangan Israel Berujung Kompensasi 

Sebagai bekas kapal kargo era Perang Dunia II, USS Liberty yang sejak awal 1960-an diubah jadi kapal riset/intai sekadar dilengkapi persenjataan ringan seperti sepucuk meriam kaliber 50 (76 mm), delapan Meriam Oerlikon 20 mm, dan empat senapan mesin M2 Browning. Tetapi setidaknya kapal berbobot 7.725 ton itu bisa berlayar hingga kecepatan darurat 21 knot untuk menghindari hal-hal yang tak diingiinkan.

Kendati demikian, nakhoda USS Liberty Letkol (laut) William McGonagle tetap merasa khawatir ketika awal Juni 1967 mendapat tugas dari Armada ke-6 AL Amerika ke Timur Tengah. McGonagle beserta sekira 350 kru, personel Marinir dan staf NSA (agen keamanan Amerika) berlayar ke timur Laut Mediterania, tepatnya perairan internasional dekat pantai utara Semenanjung Sinai, Mesir, untuk misi pengumpulan informasi seiring memanasnya konflik antara Israel dan negara-negara Arab.

Namun kekhawatiran Letkol McGonagle ketika tiba di Mediterania pada 5 Juni tak ditanggapi serius atasannya di markas Armada ke-6, Laksdya William I. Martin. Padahal konflik itu kemudian bereskalasi menjadi perang terbuka yang kelak dikenang sebagai Perang Enam Hari/Perang Arab-Israel Ketiga (5-10 Juni 1967). McGonagle ingin meminta setidaknya pengawal satu kapal perusak AL tapi ditolak dengan alasan Amerika berstatus negara netral dan USS Liberty berada di perairan internasional.

“(Kapal) Liberty jelas punya penanda kapal Amerika di perairan internasional, bukan pihak partisipan dalam konflik dan tidak beralasan menjadi subjek serangan dari pihak manapun. Permintaan (pengawalan) ditolak,” bunyi pesan balasan Laksdya Martin kepada Letkol McGonagle pada 6 Juni, dikutip James N. Ennes Jr. dalam Assault on the Liberty: The True Story of the Israeli Attack on an American Intelligence Ship.

Baca juga: Kala Kapal Perang Amerika Dimangsa Rudal Irak

Pada 7 Juni, USS Liberty mendapat peringatan dari Pentagon (Kemenhan Amerika) agar menjaga jarak minimal 100 mil laut (190 km) dari lepas pantai Israel, Suriah, ataupun pantai Sinai. Seandainya terjadi hal buruk, USS Liberty dijanjikan perlindungan dari jet-jet tempur Armada ke-6 yang bisa datang dalam waktu 10 menit.

Namun  semua itu tak menjadi jaminan. Pasalnya pada 8 Juni sekira pukul 2 siang waktu Sinai, USS Liberty disatroni dua pesawat Dassault Mirage III Angkatan Udara (AU) Israel. Dua jet tempur itu mengangkasa atas perintah kepala staf AU Israel Jenderal Yitzhak Rabin setelah sebelumnya markas komando Israel mendapat laporan bahwa basis Arish ditembaki sebuah kapal perusak tak dikenal.

Letnan Kolonel (Laut) William Loren McGonagle di kabin USS Liberty (US Navy)

Kapten Iftach Spector yang memimpin sepasang jet Mirage III itu langsung mendekat dari ketinggian 7.000 kaki (2,1 km) untuk mengindentifikasi kapal. Tetapi dalam laporannya kemudian, Spector mengaku tak mendapati penanda atau bendera apapun di kapal (USS Liberty) itu.

“Letkol McGonagle juga mendeteksi pesawat itu yang terbang ke sisi kanan kapal dan bermanuver paralel searah dengan Liberty. Tetapi sang nakhoda tak mendeteksi satu pesawat lainnya yang mendekat dari sisi kiri kapal,” tulis William D. Gerhard dalam Attack on the USS Liberty.

Tetiba saja kemudian dua Mirage III itu melepaskan roket dan tembakan meriam DEFA 552 kaliber 30 mm-nya. Kru USS Liberty yang sedang dalam status stand down pasca-latihan serangan kimia, segera diperintahkan Letkol McGonagle kembali siaga di pos masing-masing.

Baca juga: Korea Utara di Antara Konflik Israel-Palestina

Tapi perintah itu datang terlambat karena serangan-serangan udara itu kadung menewaskan delapan kru dan melukai 75 lainnya. Letkol McGonagle sendiri terluka paha dan lengan kanannya. Adapun kondisi kapal mengalami kerusakan tiang antena dan tiang bendera, serta tong-tong bahan bakar yang mengalami kebakaran.

Meski begitu, McGonagle tetap berusaha memimpin krunya sekaligus mengirimkan pesan ke Armada ke-6: “Kami mendapat serangan dari pesawat jet tak dikenal, meminta bantuan secepatnya.” 

Ketika dua Mirage III tadi mulai kehabisan amunisi, datang lagi dua jet pembom-tempur Dassault Super Mystères sebagai “pemain pengganti”. Kapten Yossi Zuk yang memimpin Super Mystères itu dalam laporannya juga mengaku tak melihat ada penanda yang dikenal di USS Liberty. Maka sepasang bom napalm dari jet pembom-tempur itu kian membuat USS Liberty terlalap api.

Jet tempur Dassault Mirage III (atas) & MTB-MTB Israel (Wikipedia)

Sementara itu, pesan darurat dari McGonagle akhirnya diterima kapal induk USS Saratoga. Armada ke-6 Amerika lantas memerintahkan delapan pesawat berangkat dari kapal induk lain, USS America, yang kebetulan pesawat-pesawatnya sedang menjalani latihan strategis.

Di saat yang sama, Jenderal Rabin memerintahkan tiga kapal torpedonya (MTB) pimpinan Letkol (laut) Moshe Oren ikut mendekat ke USS Liberty sekira pukul 2.40 siang. Laporan bahwa kapal itu terlihat punya nomor lambung dengan aksara latin, GTR-5, sehingga diduga itu kapal Amerika sempat datang, tapi Rabin khawatir itu kapal perang Mesir. Maklum, kapal-kapal Mesir buatan Soviet acap menyamarkan diri dengan penanda laiknya kapal-kapal Barat.

“Tak lama setelah serangan udara, tiga kapal cepat (MTB) datang mendekat dari sisi timur laut. Kapal (Liberty) saat itu masih berusaha melaju ke arah barat dengan kecepatan kira-kira hanya 5 knot,” kenang McGonagle dalam arsip penyelidikan AL Amerika.

Baca juga: Pertempuran Amerika dan Iran di Lautan

McGonagle memerintahkan seorang krunya ke pos senapan mesin di sisi kanan kapal dan bersiap melepaskan tembakan. Seiring itu ia juga sadar tiang benderanya telah tumbang dan memerintahkan kru lainnya mengibarkan lagi bendera Amerika.

“Semuanya! Bersiap untuk serangan torpedo,” seru McGonagle via sirkuit komunikasi kapal.

Sementara, salah satu MTB Israel mencoba lebih mendekat dan berusaha berkomunikasi dengan radio maupun sinyal morse tapi tidak ada respons. Letkol Oren sebetulnya sempat ragu untuk menyerang karena mendapati keyakinan bahwa kapal itu bukanlah kapal perusak yang punya kemampuan menembaki basis Arish dengan meriam.

USS Liberty berusaha bermanuver menghindari serangan Israel (US Navy)

Maka yang terjadi selanjutnya adalah kesalahpahaman. McGonagle juga sedikit terlambat menyadari adanya bendera Israel di MTB itu. Sementara krunya sudah lebih dulu melepaskan tembakan. Alhasil ketiga MTB itu membalas tembakan meriam dan melepaskan torpedonya. Beruntung empat torpedo yang dilepaskan meleset.

Serangan Israel baru berhenti sekira pukul 15.30 ketika salah satu rakit penyelamat dengan marking “US Navy” terlontar dari kapal dan dipungut kru MTB T-203.

“Terkonfirmasi kapal Amerika,” kata Letkol Oren dalam pesan singkatnya kepada para kru MTB-nya.

Baca juga: Israel Nyaris Tenggelamkan Kapal Angkatan Laut AS

Tak lama kemudian, delapan pesawat dari USS America tiba di lokasi hampir bersamaan dengan datangnya dua helikopter angkut berat AU Israel SA 321 Super Frelon untuk membantu penanganan medis. Total, 34 kru USS Liberty tewas dan 171 lainnya terluka, termasuk Letkol McGonagle.

Baik Israel maupun Amerika masing-masing melakukan penyelidikan. Israel menyatakan serangan itu merupakan kekeliruan dan dilakukan tanpa kesengajaan. Adapun Menteri Luar Negeri Amerika Dean Rusk enggan percaya mentah-mentah pernyataan Israel.

“Saya tak pernah puas dengan penjelasan pihak Israel. Serangan untuk melumpuhkan dan menenggelamkan Liberty dianggap tidak disengaja oleh komandan lokal yang mengalami trigger-happy. Melalui jalur-jalur diplomatik, kami menolak menerima penjelasan mereka. Saya tidak percaya. Serangan itu keterlaluan,” ungkap Rusk dalam otobiografinya, As I Saw It.

Terlepas dari itu, selain meminta maaf, pemerintah Israel juga menawarkan kompensasi pada Mei 1968. Masing-masing sebesar 3,32 juta dolar (29,1 juta dolar, kurs 2023) untuk keluarga ke-34 pelaut Amerika yang tewas, 3,57 juta dolar (29,6 juta dolar, kurs 2023) kepada para penyintas yang terluka, dan 6 juta dolar (22,2 juta dolar, kurs 2023) kepada pemerintah Amerika atas kerusakan USS Liberty. 

Kerusakan USS Liberty pasca-serangan Israel (US Navy)

TAG

israel palestina amerika-serikat amerika serikat

ARTIKEL TERKAIT

Lima Invasi Israel ke Lebanon Kisah Penemu Terkenal yang Menjadi Korban Rasisme Sabra, Superhero Israel Sarat Kontroversi Empati Muhammad Ali untuk Palestina Kala Malcolm X Melawat ke Jalur Gaza Kelakar Gus Dur dan Benny Moerdani Tentang Israel Benjamin Netanyahu Ditolak Berkunjung ke Indonesia Pukulan KO Berujung Kerusuhan di Hari Kemerdekaan Epilog Tragis Sang Pengusung Bendera Palestina di Olimpiade Suka Duka Pasukan Perdamaian Indonesia di Gaza