Lobi Israel Menyandera Amerika?
Faktanya Lobi Israel punya pengaruh dahsyat. Barangsiapa yang berani menentang Israel, maka harus bersiap membayar harga yang mahal.
NASIB 1,5 juta warga sipil Palestina di Rafah, Jalur Gaza berada di titik nadir. Mesin-mesin perang Israel terus menggelar kampanye brutalnya sampai ke perbatasan Gaza-Mesir meski ada peringatan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden. Alhasil warga Palestina tak lagi punya tempat aman. Mereka kelimpungan mesti ke mana lagi berlindung.
Mengutip kantor berita Turki, Anadolu Ajansı, sudah lebih dari 35 ribu jiwa warga sipil Palestina jadi korban kampanye genosida Israel sejak Oktober 2023. Operasi militer Israel terus mendesak ratusan ribu warga Palestina mengungsi dari Gaza Utara hingga Rafah di ujung selatan Jalur Gaza yang berbatasan dengan Mesir.
Sejak 6 Mei 2024 pula pasukan pendudukan Israel, IDF, sudah melancarkan serangan udara membabi-buta dan melancarkan serangan darat terbatas ke wilayah timur Rafah. Mereka juga memblokade pos perlintasan perbatasan Rafah-Mesir hingga membuat pengiriman bantuan kemanusiaan mandek. Presiden Biden pun memberi peringatan kepada Israel untuk tidak menggelar invasi darat berskala besar ke Rafah.
“Warga sipil banyak terbunuh di Gaza sebagai konsekuensi mereka (Israel) menargetkan pusat-pusat populasi. Saya sudah menegaskan bahwa jika mereka masuk (invasi) ke Rafah, di mana mereka belum masuk, jika mereka menginvasi Rafah, saya tidak akan menyuplai persenjataan untuk digunakan terhadap Rafah, terhadap kota-kota (berpopulasi),” cetus Biden kepada CNN, 9 Mei 2024.
Namun Tel Aviv tetap bersikeras meski sudah diwanti-wanti Washington DC. Israel bahkan sudah menyebarkan selebaran-selebaran agar warga sipil mengungsi dari Rafah hingga membuat Deir Balah, kota yang sebelumnya juga jadi target pemboman Israel, penuh sesak dengan pengungsi dari Rafah dan juga wilayah-wilayah lain Gaza.
“Jika perlu kami akan berdiri sendirian. Saya sudah mengatakan bahwa kami akan terus berperang bahkan dengan jemari kami jika diperlukan,” ujar Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, dinukil BBC, 10 Mei 2024.
Amerika yang selalu jadi sekutu terdekat Israel diyakini Israel akan terus jadi “beking”-nya, tak peduli seberapa mengerikan kejahatan perang yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina. Peringatan apapun dari Biden jadi bak retorika belaka.
“Menjadi pertanyaan, mengapa Biden tidak bisa menggunakan pengaruh besar yang ia miliki di ujung jarinya sebagai Presiden Amerika Serikat untuk memaksa Israel menghentikan kampanye mengerikan ini? Jawabannya adalah (karena) lobi Israel,” kata Prof. John Josep Mearsheimer, pakar studi politik University of Chicago, dalam siniar bertajuk “Endgame: What’s Behind Biden’s Blank Check Support for Israel?” di Youtube Gita Wirjawan, 21 Maret 2024.
Dahsyatnya Lobi Israel
Jauh sebelum genosida Israel sejak Oktober 2023 ini, Mearsheimer bersama pakar studi politik Harvard Kennedy School, Stephen Martin Walt, sudah melakukan studi soal dahsyatnya Lobi Israel. Laporannya mereka bukukan pada 2007 dengan tajuk The Israel Lobby and U.S. Foreign Policy.
Menurut Mearsheimer dan Walt dalam bukunya, Lobi Israel merupakan himpunan kelompok-kelompok pro-Zionis di Amerika yang berusaha memengaruhi kebijakan Amerika sejak awal abad ke-20. Dua di antara yang paling berpengaruh adalah American Israel Public Affairs Committee (AIPAC), yang eksis sejak 1963, dan Christians United for Israel (CUFI), yang berdiri pada 1975.
Kelompok-kelompok itu, kata Mearsheimer, mulanya bersatu di bawah Lobi Israel tak ubahnya seperti lobi kelompok-kelompok (perusahaan) pertanian, baja, atau serikat-serikat pekerja. Tetapi yang menjadikan Lobi Israel akhirnya punya kekuatan dan pengaruh besar tak lain adalah efektifnya lobi-lobi mereka dalam menyetir kebijakan luar negeri Amerika.
“Lobi Israel adalah salah satu kelompok kepentingan paling powerful di Amerika dan besar pengaruhnya terhadap kebijakan Amerika di Timur Tengah. Dan Joe Biden berada dalam situasi di mana ia takkan mungkin mengubah perilaku Israel tanpa membayar harga yang besar dalam politik,” sambung Mearsheimer.
Saking kuatnya Lobi Israel, siapapun yang akan maju menjadi presiden Amerika mesti bisa menyesuaikan diri dengan kepentingan kelompok tersebut.
“Dan bagi seseorang yang akan maju lagi dalam pemilu November tahun ini (Pilpres Amerika 2024, red.), hal yang paling tidak diinginkan adalah berseberangan dengan Lobi Israel karena jika ia membidik, bersikap keras, dan menggunakan pengaruh besarnya secara paksa terhadap Israel, maka Lobi (Israel) akan menjatuhkannya dan mereka punya pengaruh besar untuk memastikan ia kalah di (pilpres) musim gugur nanti,” tambahnya.
Lobi Israel di Amerika mulai dijajaki pengacara Yahudi Louis Brandeis pada 1914. Mengungkit isu anti-semit terhadap kalangan Yahudi, Brandeis yang memimpin Federation of American Zionists dengan 176 ribu anggota berhasil menggalang dana hingga dua juta dolar sebagai kekuatan organisasinya.
“Untuk memobilisasi perekrutan dan penggalangan dana, Brandeis harus membangun argumen intelektual bagi Zionisme untuk mengklaim bahwa gerakan ini merupakan gerakan kesetiaan terhadap orang-orang Yahudi Amerika. Ini menjadi penting karena di masa itu kalangan Yahudi masih terbelah terkait kebijakan Zionisme,” tulis Jeffrey Rosen dalam Louis D. Brandeis: American Prophet.
Baca juga: Seputar Deklarasi Balfour
Bersamaan dengan disetujuinya pendirian pemerintahan Mandate of Palestine di bawah Kerajaan Inggris oleh Liga Bangsa-Bangsa, pada 21 September 1922 Lobi Israel sukses mendapatkan legitimasi melalui sebuah resolusi bersama di Kongres Amerika terkait persetujuan soal klaim “rumah nasional” Yahudi di Palestina. Lobi Israel ikut memainkan pengaruh advokasinya terhadap kebijakan Amerika dalam rencana pemisahan tanah Palestina via Resolusi 181 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 29 November 1947.
“Faktanya tidak hanya terdapat tekanan yang tak sebesar sebelumnya di PBB tapi juga di Gedung Putih. Saya tidak berpikir akan mendapatkan tekanan dan propaganda yang ditujukan kepada Gedung Putih seperti saat ini. Kegigihan beberapa pemimpin ekstrem Zionis yang digerakkan motif-motif politik dan terlibat dalam ancaman-ancaman politik, sangat mengganggu dan mengusik saya,” kenang Presiden Harry S. Truman, dikutip George Lenczowski dalam American Presidents and the Middle East.
Mulai 1960-an, Lobi Israel makin “menyandera” Amerika. Utamanya saat Israel membidik agenda “Israel Raya”. Agenda tersebut mengharuskan Israel melakukan genosida dan pembersihan etnis di tanah Palestina tanpa konsekuensi hukum internasional karena merasa posisinya imun di balik ketiak Amerika sebagai “polisi dunia”.
“Sangat penting untuk memahami bahwa apa yang dilakukan Israel sekarang adalah hasil dari Perang (Enam Hari) 1967 yang secara efektif menciptakan Israel Raya. Israel Raya meliputi perbatasan Israel pada 1967 ditambah Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Gaza. Oleh karenanya Israel ingin melakukan pembersihan (etnis) orang Palestina di Gaza dan Tepi Barat,” imbuh Mearsheimer.
Baca juga: Mandela dan Palestina
Oleh karenanya Israel merasa kebal terhadap resolusi-resolusi PBB via hak veto Amerika di samping merasa imun terhadap keputusan International Criminal Court (ICC). Lobi Israel berhasil mendorong para politisi Amerika untuk mengancam ICC yang menyeret Israel ke pengadilan di Den Haag atas tuduhan genosida yang digelar sejak Januari 2024 via perkara yang diajukan Afrika Selatan.
Melansir Times of Israel, 6 Mei 2024, sebanyak 12 senator Amerika menuliskan surat berisi ancaman terhadap ICC dan dan kepala penuntutnya, Karim Khan. Surat ancaman itu dikirim ke Den Haag, Belanda, setelah ICC mewacanakan untuk melakukan penangkapan terhadap para pejabat Israel, termasuk Netanyahu.
“Menargetkan Israel dan kami akan menargetkan Anda. Tindakan-tindakan semacam itu tidak dibenarkan dan tanpa basis hukum dan jika dijalankan, akan ada sanksi-sanksi berat terhadap Anda dan institusi Anda,” bunyi potongan surat itu.
Tersirat pula ancaman Amerika untuk menginvasi Den Haag. Amerika punya dasar hukum federal berupa The Hague Invasion Act atau Undang-Undang Invasi Den Haag yang ditandantangani Presiden George W. Bush pada 2002, di mana pejabat presiden Amerika berhak melakukan tindakan apapun yang diperlukan untuk membebaskan personel Amerika atau sekutu-sekutunya yang ditahan ICC di Den Haag.
Baca juga: Tepung Seharga Nyawa di Jalur Gaza
Sebelumnya, via sokongan dana terhadap para politisi di Kongres Amerika, Lobi Israel juga berhasil meloloskan sebuah UU yang bahkan mengancam kebebasan berekspresi di Amerika sendiri. Pada 1 Mei 2024 Parlemen Amerika meloloskan rancangan Antisemitism Awareness Act seiring kencangnya kritik dan protes anti-Israel dan anti-genosida yang digaungkan gelombang unjuk rasa mahasiswa di sejumlah kampus di Amerika.
Gelombang unjuk rasa mahasiswa itu memprotes genosida Israel dengan slogan-slogan: “Free Palestine” atau “From the river to the sea, Palestine will be free”. Menurut UU tersebut, slogan-slogan semacam itu adalah anti-semit dan merupakan ujaran kebencian terhadap Yahudi dan Israel. UU itu mengadopsi definisi anti-semit mengacu pada International Holocaust Remembrance Alliance (IHRA) yang didukung sejumlah kelompok dalam Lobi Israel, termasuk AIPAC.
“Kenapa Lobi (Israel) itu dibutuhkan? Untuk memastikan tidak ada perbedaan antara kepentingan-kepentingan Amerika dan kepentingan-kepentingan Israel. Ada banyak kasus di mana kepentingan-kepentingan Israel dan Amerika berbenturan dan Lobi (Israel) memastikan kepentingan Israel berhasil. Itulah yang terjadi saat ini, termasuk terhadap pemerintahan Biden. Anda bisa memastikan Lobi Israel akan memihak Israel terhadap (kepentingan) Amerika dan Amerika pada akhirnya tidak akan bisa banyak protes. Karena barang siapa yang sedang berkuasa akan mengerti betul bahwa jika ia menentang Lobi (Israel) maka ia akan membayar dengan harga yang mahal” ungkap Mearsheimer lagi.
Baca juga: Pangeran William, Putri Diana, dan Palestina
Tambahkan komentar
Belum ada komentar