Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno
PBB yang kolot dengan hak veto DK PBB-nya sejak lama dikecam Bung Karno. Palestina jadi “korbannya” setelah upayanya jadi anggota PBB dimentahkan veto Amerika.
DALAM suasana yang khidmat di ruang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), New York pada 18 April 2024, Duta Besar (Dubes) Malta untuk PBB yang memimpin sidang, Vanessa Frazier, dengan cermat membacakan pernyataan menjelang pengambilan suara terkait resolusi pengajuan Palestina sebagai anggota penuh PBB. Resolusi itu diajukan Aljazair di saat Israel masih melancarkan aksi-aksi brutalnya terhadap warga sipil di Jalur Gaza dan Tepi Barat, Palestina sejak Oktober 2023.
“Bagi mereka yang mendukung draf resolusi di dalam dokumen S224/312, silakan mengangkat tangan,” ujar Dubes Frazier kepada 15 perwakilan anggota DK PBB dalam potongan video yang dilansir The Guardian, 18 April 2024.
Secara kompak dan serempak, 12 perwakilan mengangkat tangan. Ke-12 perwakilan itu yakni Malta, Aljazair, Ekuador, Guyana, Jepang, Mozambik, Sierra Leone, Slovenia yang merupakan anggota tidak tetap DK PBB, serta Rusia, China, dan Prancis yang merupakan tiga dari lima anggota tetap DK PBB pemilik hak veto selain Inggris dan Amerika Serikat (AS).
“Dan mereka yang menolak?” tanya Dubes Frazier.
Baca juga: Mandela dan Palestina
Dengan tanpa malu-malu dalam “kesendirian”, wakil Dubes AS untuk PBB, Robert A. Wood, mengangkat tangannya. Artinya, AS memveto resolusi itu. Sementara, dua anggota lain –Inggris dan Swiss– memutuskan abstain.
Hak veto yang dimanfaatkan AS atas desakan Israel itu lagi-lagi jadi hal yang problematik. Sebelumnya, AS beberapakali menggunakan haknya untuk memveto resolusi-resolusi gencatan senjata di Palestina terkait kebrutalan genosida Israel yang sudah memakan korban lebih dari 30 ribu jiwa sejak tujuh bulan silam.
Palestina sendiri sudah mendeklarasikan kemerdekaannya pada 15 November 1988 dan hingga kini kedaulatannya sudah diakui 139 negara anggota PBB. Sejak 2011 pula Palestina mengajukan diri menjadi anggota tetap PBB namun sampai sekarang masih sekadar berstatus negara pemantau permanen non-anggota PBB.
“Amerika secara konsisten mendukung solusi dua negara. Voting (penolakan) ini tidak mencerminkan penentangan terhadap kenegaraan Palestina, melainkan justru sebuah pengakuan yang hanya akan terjadi melalui negosiasi langsung di antara kedua belah pihak,” Wood berdalih.
Akibat veto AS, dunia geram dan ramai-ramai mengecam veto Amerika itu hingga membuat Majelis Umum PBB kembali menggelar sidangnya pada Selasa (23/4/2024). Pengecualian hanya datang dari negara yang aktif mendukung genosida Israel di Jalur Gaza seperti Prancis, AS, Jerman, dan Inggris.
“Proposal memalukan itu telah ditolak. Terorisme tidak akan dihargai,” celetuk Menteri Luar Negeri Israel Israel Katz yang enggan berkaca soal terorisme Israel di Gaza, dikutip The New York Times, 18 April 2024.
Hak veto selalu jadi “penyakit” di dalam tubuh PBB. Terlebih, hak ini paling sering digunakan AS jika sudah menyinggung soal resolusi yang dianggap merugikan Israel dalam beragam konflik Israel-Palestina.
“Apapun resolusinya (PBB), akan di-veto Amerika Serikat. Mereka kan pegang hak veto,” ujar Hikmahanto Juwana, guru besar hukum internasional Universitas Indonesia kepada Historia pada Mei 2018.
Bung Karno Mendesak Perombakan PBB
Bukan hanya para tokoh dan pemimpin dunia, Sekjen PBB António Guterres juga geregetan dengan tingkah Israel dan utamanya Amerika yang punya power berupa hak veto. Menurutnya, menjadi penting solusi dua negara diterapkan dengan gencatan senjata dan memasukkan Palestina sebagai anggota penuh PBB.
“Kegagalan untuk membuat kemajuan terkait solusi dua negara hanya akan meningkatkan ketidakpastian dan risiko terhadap ratusan juta masyarakat di seantero kawasan (Timur Tengah) yang akan terus hidup di bawah ancaman kekerasan yang konstan,” tutur Guterres, dikutip Reuters, 19 April 2024.
Meski begitu, problematika hak veto bukan hal baru. Di forum Konferensi Asia-Afrika di Bandung (1955), Presiden Sukarno sudah mengkritik PBB soal privilese yang hanya dimiliki lima negara itu. Kritiknya paling monumental terjadi di sidang Majelis Umum PBB, New York pada 30 September 1960.
Baca juga: Sukarno dan Palestina
Lewat pidato berbahasa Inggris yang dijudulinya “To Build the World Anew”, Sukarno mengkritik berbagai aspek PBB. Lewat pidato yang sejak Mei 2023 ditetapkan UNESCO sebagai salah satu Memory of the World (MoW) itu pula dia melayangkan perlunya reorganisasi, reformasi, hingga perombakan di dalam tubuh PBB, terutama terkait hak veto yang hanya dimiliki segelintir pihak atau negara anggota.
“Ada kemungkinan, bahwa badan ini harus mempertimbangkan, apakah anggota-anggotanya harus menyerahkan sesuatu bagian dari kedaulatan mereka kepada badan internasional ini. Tetapi jika keputusan yang semacam itu diambil, keputusan itu harus diambil secara bebas, dan dengan suara bulat, dan sederajat. Harus diputuskan sederajat oleh semua bangsa, yang kuno dan yang baru, bangsa yang baru muncul dan yang sudah lama ada, yang sudah maju dan yang belum maju,” seru Bung Karno, dikutip Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, 1942-1998.
“Nasib umat manusia tidak dapat lagi ditentukan oleh beberapa bangsa besar dan kuat. Juga kami, bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa yang sedang bertunas, bangsa-bangsa yang lebih kecil, kami pun berhak bersuara dan suara itu pasti akan berkumandang di sepanjang zaman,” lanjutnya.
Bung Karno berkaca dari “keonaran” yang dibuat empat dari lima negara pemegang hak veto itu di kawasan Asia dan Afrika. Mulai dari konflik-konflik Palestina sejak 1948, Perang Korea (1950-1953), Revolusi Aljazair (1954-1962), hingga Perang Vietnam (1955-1975). Bukannya menggunakan kekuatan sebagai negara maju untuk perdamaian, baik AS, Uni Soviet, Prancis, dan Inggris malah membuat bangsa-bangsa Asia-Afrika tak mengenal keadaan damai pasca-Perang Dunia II.
“Tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa seharusnya ialah memecahkan masalah-masalah. Untuk menggunakannya sebagai forum perdebatan belaka, atau sebagai saluran propaganda, atau sebagai sambungan dari politik dalam negeri, berarti memutar-balikkan cita-cita mulia yang seharusnya meresap di dalam badan ini,” tambah Sukarno.
Baca juga: Di Balik Pidato Bung Karno di PBB
Struktur dan hak tak setara anggota-anggota PBB, ujarnya, berhulu dari spirit itu. Itu jelas dikritiknya.
“Organisasi dan keanggotaan Dewan Keamanan –badan yang terpenting itu– mencerminkan peta ekonomi, militer dan kekuatan dari dunia tahun 1945, ketika organisasi ini dilahirkan dari inspirasi dan angan-angan yang besar. Demikian pula halnya dengan sebagian besar daripada lembaga-lembaga lainnya. Mereka itu tidak mencerminkan bangkitnya negara-negara sosialis ataupun berkembangnya dengan cepat kemerdekaan Asia dan Afrika,” imbuhnya.
Maka, Sukarno mendesak modernisasi, efisiensi, hingga perombakan PBB, dimulai dari pimpinan sekretariat jenderalnya. Piagam PBB pun menurutnya mesti diubah agar tidak ada lagi istilah blok-blokan dalam tubuh PBB demi bisa membangun dunia kembali.
“Bangunlah dunia ini kembali! Bangunlah dunia ini kokoh dan kuat dan sehat! Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan. Bangunlah dunia yang sesuai dengan impian dan cita-cita umat manusia. Putuskan sekarang hubungan dengan masa lampau, karena fajar sedang menyingsing. Putuskan sekarang hubungan dengan masa lampai sehingga kita bisa mempertanggungjawabkan diri terhadap masa depan,” ujar Bung Karno mengakhiri pidatonya.
Namun, saran-sarannya itu tak diindahkan PBB. Sukarno justru mendapati realita pemegang veto PBB mendukung “proyek” Malaysia yang ditentangnya. Sukarno pun membawa Indonesia keluar dari keanggotaan PBB pada Januari 1965.
“Berhubungan dengan usaha Malaysia untuk menjadi anggota (dewan keamanan) PBB, Presiden Soekarno dalam pidatonya mengulangi apa yang pernah dikatakan pada 1860, yaitu bahwa PBB sekarang adalah pencerminan keadaan dunia pada tahun 1945, sewaktu belum banyak negara baru di Asia dan hanya ada sedikit negara baru di Afrika, dan rakyat-rakyat Amerika Latin belum lagi bangkit, tetapi PBB tetap saja tidak berubah,” tulis Marwati dan Nugroho.
Hal yang sama ditegaskan Sukarno saat diwawancara jurnalis Amerika Beryl Bernay, medio 1965. Sukarno membantah bahwa Indonesia bertindak impulsif saat memutuskan untuk keluar dari PBB.
“Impulsif, Nona Beryl? Bagaimana Anda bisa bicara impulsif? Soal perdamaian dunia sudah pada tahun 1960 ketika saya menyampaikan pidato kepada (majelis umum) PBB di New York. Dalam pidato itu sudah saya elaborasikan semua tentang keperluan mendesak untuk merombak Piagam PBB dan dewan keamanannya karena PBB hari ini tidak menggambarkan konstelasi dunia yang ada sekarang. Anda pasti paham bahwa DK PBB tidak memuaskan bagi kami dan segenap organisasi PBB juga tidak memuaskan bagi kami. Kami tidak akan pernah kembali jadi anggota sebelum reorganisasi PBB,” terang Sukarno.
Baca juga: Sukarno Tantang PBB
Pendudukan, penjajahan, serta penindasan Israel terhadap bangsa Palestina pun disinggung Sukarno. Takkan pernah ada dalam “kamusnya” Indonesia mau mengakui dan menjalin hubungan dengan Israel sebelum Palestina merdeka dan berdaulat.
Sejak berdirinya negara zionis Israel pada 1948, Sukarno teguh pada pendirian akan dukungannya kepada Palestina. Dalam pidato pembukannya di KAA yang juga dihadiri tokoh pejuang kemerdekaan Palestina, Yasser Arafat, Sukarno menamakan penjajahan Israel dengan sokongan Inggris dan Amerika sebagai neolonialisme dan neoimperialisme (nekolim) di tanah Palestina.
Israel menjadi lema yang “haram” dimasukkan dalam “kamus” Sukarno sampai timnas sepakbola Indonesia dilarangnya bertanding melawan timnas Israel untuk Kualifikasi Piala Dunia 1958. Pun dalam Asian Games IV pada 1962 di Jakarta, Sukarno melarang keikutsertaan Israel walau konsekuensinya Indonesia diskors Komite Olimpiade Internasiona (IOC). Alih-alih menyesal, Sukarno memilih Indonesia keluar dari keanggotaan IOC dan bikin “olimpiade” tandingan, Ganefo (Games of the New Emerging Forces).
“Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel,” ujar Sukarno dalam pidatonya medio 1962, dikutip Masyrofah dalam Politik Luar Negeri Indonesia Era Reformasi: Upaya Penyelesaian Konflik Israel-Palestina.
Namun, hingga kini Palestina masih menemui jalan terjal untuk jadi negara merdeka dan berdaulat. Cita-cita Palestina dijadikan negara anggota penuh PBB diveto Amerika, perjuangan mereka belum berakhir.
“Faktanya resolusi (keanggotaan penuh Palestina) tidak diterima bukan berarti mematahkan usaha kami dan tidak akan mematahkan determinasi kami. Kami tidak akan berhenti berjuang, negara Palestina yang berdaulat tidak dapat dielakkan. Mungkin mereka melihatnya masih jauh tapi kami melihatnya sudah dekat dan kami meyakini itu,” tandas utusan permanen Palestina untuk PBB, Riyad Mansour, dilansir laman resmi PBB, 18 April 2024.
Baca juga: Enampuluh Tahun KAA Membahas Palestina
Tambahkan komentar
Belum ada komentar