Di Balik Pidato Bung Karno di PBB
UNESCO menetapkan pidato Bung Karno, “To Build the World Anew” sebagai Memori Dunia. Apa yang bisa kita petik?
KENDATI pandangannya tetap seksama menengok lembar demi lembar pidato di hadapannya, suara Presiden Sukarno kian lama kian menebal saat berpidato di sesi ke-15 Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, 30 September 1960. Terlebih saat menyuarakan kebutuhan mendesak agar dunia mau ambil perhatian terhadap arus nasionalisme, kemanusiaan, dan perdamaian.
“Kemanusiaan di seluruh dunia mendambakan perdamaian dan itu ada di dalam kekuatan kita sekalian. Jangan dihalangi karena akan menyebabkan organisasi (PBB) ini diskreditkan dan ditinggalkan. Tugas kita bukanlah mempertahankan dunia yang seperti ini tapi untuk build the world anew (membangun dunia kembali),” ujar Bung Karno dalam pidatonya di forum tersebut sebagaimana terekam video yang diunggah laman multimedia PBB.
Ia lantas berhenti sejenak, mengambil nafas. Satu lembaran pidato yang baru selesai ia baca lantas diopernya ke ajudannya, Letkol (CPM) Mohamad Sabur, yang berdiri di sampingnya.
Baca juga: Pidato Sukarno Menuju Memori Dunia
“Masa depan, itupun kalau ada masa depan, akan mencatat keberhasilan kita dalam tugas ini. Janganlah negara-negara yang sudah mapan meremehkan kekuatan nasionalisme. Jika kalian ragu, tengoklah sekeliling ruangan ini dan bandingkan dengan (konferensi) San Francisco 15 tahun lalu,” sambungnya.
Pidato yang menggugah bertajuk “To Build the World Anew” itu kini diakui UNESCO atau badan PBB untuk Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan sebagai salah satu Memory of the World (MoW) atau Memori Dunia. Pidato itu sudah diusulkan Indonesia sejak 2018 dan resmi ditetapkan pada sidang dewan eksekutif UNESCO pada 10-24 Mei 2023, bersamaan dengan penetapan arsip Gerakan Non-Blok (GNB) di Beograd, Yugoslavia tahun 1961, dan Hikayat Aceh yang diajukan sejak 2017.
“Kita mesti bersyukur ya bahwa pidato ini akhirnya diterima atau diakui sebagai Memory of the World. Memang ada beberapa usulan dari Indonsia, misalnya arsip GNB yang pertama itu juga beberapa kali pengusulan. Itu masalahnya karena diusulkan bersama negara-negara yang arsipnya diikutserta bisa dilengkapi,” kata sejarawan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Asvi Warman Adam kepada Historia via telefon.
Inspirasi dan Imajinasi yang Belum Terpenuhi
Pidato Bung Karno itu diakui sebagai “ingatan dunia” karena menyinggung banyak isu dunia yang saat itu banyak ketimpangan dan masih relevan saat ini. Mulai dari soal diskriminasi, perlucutan senjata nuklir, keamanan internasional, kolonialisme dan imperialisme kontra nasionalisme, hingga persoalan kemanusiaan di negara-negara yang tergolong tertinggal di Asia dan Afrika.
Semua itu, kata Bung Karno dalam lanjutan pidatonya, saling terkait satu sama lain. Isu kolonialisme terkait dengan persoalan perlucutan senjata nuklir. Perlucutan senjata nuklir berkaitan pula dengan progres perdamaian di negara-negara yang belum berkembang. Tetapi rangkaian itu seperti ada mata rantai yang terputus lantaran tidak adanya perwakilan Republik Rakyat China (RRC) sebagai salah satu negara terbesar di kolong langit.
“Tidak semua negara Asia terwakili di ruangan ini. Menolak keterwakilan sebuah negara kuat. Saya bicara tentang China. Saya bicara tentang apa yang sering kita sebut China komunis, China yang sesungguhnya. Setiap tahun kami mendukung masuknya China ke PBB dan kami akan terus memberi dukungan,” ujar Bung Karno.
Baca juga: Sukarno Tantang PBB
Bukan karena motif dan kepentingan tertentu, lanjut Bung Karno, namun karena political realism bahwa China merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar, ekonomi yang kuat, serta kekayaan kebudayaan sejak era kuno. Oleh karenanya tidak akan ideal membicarakan dan menyelesaikan isu-isu dunia di atas tanpa China yang sedianya bisa memberi pengaruh besar.
“Itu salah satu dampaknya ya. Ketika pidato ini diusulkan, dipertanyakan apa dampaknya terhadap dunia? Jelas karena pertama Bung Karno mengkritik tatanan dunia yang baru masih ada penjajahan, antara lain Irian Barat masih diduduki Belanda. Dampaknya tahun 1963 akhirnya Irian Barat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Dampak yang lain adalah soal Tiongkok itu. Ya walau dampaknya masih lama pada tahun 1971 Tiongkok baru masuk anggota PBB tapi kan itu dampak dari kritiknya, hingga langsung menjadi anggota dewan keamanan,” lanjut Asvi.
Perdamaian dunia memang jadi satu goal yang dituju semua negara. Tetapi tujuan mulia itu mustahil jika dunia masih didominasi kekuatan-kekuatan lama, baik itu negara-negara maju di Blok Barat ataupun Blok Timur, yang tentu punya pandangan dan visi berbeda dalam mencapai perdamaian dunia.
Peneliti sejarah Wildan Sena Utama menguraikan, kekuatan-kekuatan lama itu seperti tidak mengindahkan terjadinya perubahan geopolitik seiring lahirnya negara-negara baru pasca-Perang Dunia II. Pasalnya, dengan terjadinya perubahan geopolitik itu maka dibutuhkan pula tata kelola dunia yang baru.
Apa yang dikemukakan Bung Karno di SU PBB itu merupakan gagasannya yang konsisten dia suarakan. Lima tahun sebelum pidatonya di sidang PBB itu, Bung Karno sudah memulainya dengan menggalang solidaritas negara-negara baru di Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung. Di sidang PBB itu, ia kembali jadi corong suara negara-negara dunia ketiga di Asia dan Afrika. Kala itu PBB baru menyambut 16 anggota baru, 15 di antaranya berasal dari Afrika.
“Pidatonya (di PBB 1960) punya koneksi dengan pidatonya di Konferensi Asia-Afrika (KAA, 1955) dan setahun kemudian ketika dia tur ke Eropa dan Amerika Serikat. Jadi konteks besarnya terjadi perubahan geopolitik dunia, bagaimana negara-negara Asia dan Afrika ingin dekolonisasi sehingga dunia yang baru lebih berpihak kepada mereka yang mengakui kedaulatan mereka. Jadi pidato tahun 1960 itu tidak muncul di ruang hampa tapi bagaimana Sukarno menyerap realitas geopolitik dunia dan dia ingin merekonseptualisasikannya sesuai dengan realitas yang ada,” kata Wildan saat dihubungi Historia dalam kesempatan berbeda.
Baca juga: Tekad Sukarno di Konferensi Asia-Afrika
Maka, tambah Wildan yang sedang studi doktoral di University of Bristol itu, kedaulatan negara-negara Asia dan Afrika yang baru lahir penting untuk tidak diganggu neokolonialisme dan hegemoni kekuatan-kekuatan lama demi terciptanya perdamaian dunia. Negara-negara baru di Asia dan Afrika juga berhak mendapatkan kedamaian dan mewujudkannya dengan terlibat dalam politik dunia sebagai New Emerging Forces (NEFO).
“Kalau kita lihat secara berlanjut kan konsisten. Tahun 1961 di (GNB I) di Belgrade juga masih membicarakan tentang itu. Karena sulit merealisasikannya akhirnya dia mengkonseptualisasikan NEFO sebagai bagian dari konsep dunia baru. Bibit-bibit NEFO sudah ada dari 1961 karena menurut dia, clash yang terjadi di Perang Dingin bukan antara Blok Timur dan Blok Barat tapi antara kekuatan-kekuatan lama dan kekuatan-kekuatan baru, meski dia baru menyebutnya sebagai NEFO belakangan pada 1963,” lanjut penulis buku Konferensi Asia-Afrika 1955: Asal Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Antiimperialisme tersebut.
Terkait tata kelola dunia baru dengan nilai-nilai yang baru pula, Bung Karno menawarkan Pancasila kepada dunia via pidatonya sidang PBB itu meski ada penyesuaian.
“Kami punya lima pilar, Pancasila. Pertama, kepercayaan kepada Tuhan. Kedua, nasionalisme. Ketiga, internasionalisme. Keempat, demokrasi. Kelima, keadilan sosial. Very simple (sangat sederhana),” seru Bung Karno yang disambut aplaus para delegasi yang hadir.
Penyesuaian itu, menurut Asvi, sangat diperlukan agar bisa menekankan pesan nasionalisme dalam konteks antikolonialisme dan internasionalisme dalam konteks coexistence di dunia internasional. Selain itu, agar lebih mudah dicerna para pemimpin dunia yang hadir di sidang itu.
“Saya memperkirakan Bung Karno memakai istilah ‘nasionalisme’ untuk kepentingan pidato di PBB dan juga di Amerika setelahnya, di mana dia mengulang hal yang sama. Jadi aspek nasionalisme sangat penting untuk mendukung kemerdekaan (negara-negara terjajah, red.) dan internasionalisme disebut sebagai sila yang nomor tiga. Masuk akal untuk kepentingan penyampaian di PBB. (Makna) silanya tidak berubah tapi dalam penyampaian kepada hadirin lebih mudah ditangkap dan mendapatkan pesannya,” sambung Asvi.
Meski perdamaian di dunia belum sepenuhnya terjadi hingga kini, pidato yang menggugah itu bukan masih tetap relevan saat ini. Terlebih jika melihat situasi geopolitik sekarang. “Arab Spring” yang bergejolak sejak 2010, contohnya, efeknya masih terasa sampai saat ini.
“Itu yang menurut saya kenapa konteks pidato Bung Karno dengan dunia hari ini masih relevan. Bahwa imajinasi akan dunia baru itu seperti unfulfilled promise karena imajinasi akan dunia baru itu masih jadi janji yang belum terpenuhi,” tutur Wildan lagi.
Selain nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam gagasan Bung Karno, pidato Bung Karno itu memberi nilai tersendiri bagi bangsa Indonesia. Itu merupakan bukti kepedulian dan kemauan Indonesia untuk aktif berkontribusi dalam gerakan kemerdekaan, solidaritas antarbangsa, serta perdamaian. Bukan hanya tingkat regional tapi ranah global.
“Ada perasaan, semangat, bahwa kita itu pernah didengar di dunia. Kita harus meresapi itu, seperti juga ketika Sukarno menawarkan Pancasila yang dalam sidang itu mendapat aplaus. Itu kan artinya didengarkan dan dianggap menggugah pikiran mereka. Nah ini yang perlu dipompakan kepada para diplomat kita, bahwa kita punya kebanggaan itu dan tidak usah minder berdiplomasi. Bung Karno tidak malu-malu menawarkan Pancasila dan itu bisa ditawarkan lagi sebagai ideologi dunia,” tandas Asvi.
Baca juga: Berkaca pada Pemikiran Geopolitik Bung Besar
Tambahkan komentar
Belum ada komentar