Di Balik Kabut Deklarasi Kemerdekaan Palestina
Hari ini 35 tahun lampau Yasser Arafat mendeklarasikan kemerdekaan Palestina di negeri orang. Hingga kini Palestina masih dirongrong penjajahan Israel.
FISIK Kenan berbeda dari anak-anak Gaza, Palestina, lainnya. Kulit bocah 10 tahun itu putih pucat, rambutnya pirang keemasan. Kesamaannya dengan anak-anak Gaza yang lain, masih ada harapan dalam benak mereka kandati mereka amat terdampak gempuran membabi-buta Israel yang menghancurkan negerinya.
“Satu-satunya mimpi saya sekarang adalah agar perang ini berakhir dan agar dunia mengirimkan kami roti,” kata Kenan dalam posting-an Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Dana Amal Anak-Anak UNICEF di akun X-nya, @UNICEF, Rabu (15/11/2023).
Pernyataan Kenan mungkin juga mewakili anak-anak Palestina lain, baik di Jalur Gaza maupun di Tepi Barat, tepat di hari kemerdekaan negara itu, 15 November. Serangan tak pandang bulu Israel terhadap negerinya agar segera dihentikan dan bahwa mereka membutuhkan banyak bantuan kemanusiaan.
Baca juga: Kala Penduduk Gaza Terusir, Peristiwa Nakba Terulang Lagi?
Per hari ini saja bertepatan HUT ke-35 negara Palestina, sebagaimana dilansir Anadolu Ajansı, Rabu (15/11/2023), sudah 11.320 jiwa melayang, di mana 4.650 di antaranya anak-anak. Sebanyak 29.200 lainnya terluka di Jalur Gaza. Makin hari korban di Tepi Barat ikut bereskalasi.
“#WestBank (Tepi Barat, red.) 173 warga Palestina, termasuk 46 anak-anak tewas oleh pasukan pertahanan Israel +8, termasuk 1 anak (tewas) oleh pemukim Israel. UNRWA juga menerima laporan lain bahwa pasukan Israel menduduki sekolah UNRWA di #Gaza untuk operasi militer,” cuit badan PBB untuk pengungsi Palestina UNRWA di akun X-nya, @UNRWA, Rabu (15/11/2023).
Kala negara-negara lain seperti Indonesia dengan Visi Indonesia Emas saat HUT RI ke-100 pada 2045 nanti atau Timor Leste yang –baru merdeka pada 2002– sudah punya visi pembangunan empat pilar kerangka institusional menuju 2030, Palestina masih berkutat dengan kehancuran. Bangunan-bangunan permukiman, masjid-masjid dan gereja-gereja di Gaza, serta sekolah –termasuk bangunan Universitas Al-Azhar– rata dengan tanah. Itu belum termasuk 25 rumahsakit dan 52 pusat kesehatan lain yang hancur total. Hanya tersisa Rumah Sakit Al-Shifa, Rumah Sakit Al-Quds, dan Rumah Sakit Indonesia yang –tak luput dari teror pemboman Israel–semampunya beroperasi dengan berbagai keterbatasan.
Pemerintah Palestina tentu punya visi membangun negerinya sejak memproklamirkan kemerdekaan 35 tahun lalu. Namun, sampai kini masih terhambat rongongan penjajahan zionis Israel, baik di Gaza maupun Tepi Barat.
Proklamasi dari Pengasingan
Sejak 1947, ketika Inggris menyerahkan wilayah Palestina ke PBB dan diikut dengan berdirinya negara Israel pada 1948, wilayah negeri itu tak pernah dalam keadaan damai. Resolusi 181 Majelis Umum PBB yang mempartisi Palestina antara wilayah Arab Palestina dan Israel pada 29 November 1947 terus dikangkangi zionis Israel.
Toleransi warga Palestina pun mencapai batasnya pada Desember 1987, seiring 20 tahun kontrol Israel terhadap segenap wilayah Palestina. Menurut Seth Anziska dalam artikelnya yang termaktub dalam buku Routledge Companion to the Israeli-Palestinian Conflict, “The Palestinians and Arab-Israeli Diplomacy, 1967-1991”, aksi-aksi protes pun meletus di Jalur Gaza pascainsiden di kamp pengungsi Jabalia. Dengan cepat aksi meluas ke Tepi Barat.
“Massa demonstran mengibarkan bendera Palestina, membakar ban, melempar batu dan bom Molotov ke mobil-mobil orang Israel dan pasukan Israel yang merespons dengan kekerasan. Intifada Pertama (8 Desember 1987-13 September 1993) pun meletus,” tulis Anziska.
Bentrokan pecah di mana-mana. Di tahun pertama Intifada saja tercatat 142 warga sipil Palestina tewas, 77 di antaranya dieksekusi dan 17 lainnya dipukuli pasukan Israel sampai meregang nyawa.
“Kita akan ajari mereka bahwa ada sebuah harga untuk menolak hukum dan peraturan Israel,” seru Menteri Pertahanan Israel Yitzhak Rabin, dikutip Stephen J. Sosebee dalam “The Passing of Yitzhak Rabin, Whose ‘Iron Fist’ Fueled the Intifada” di jurnal The Washingtong Report on Middle East Affairs, Volume IX, edisi ke-5 tahun 1990.
Tak hanya di Gaza dan Tepi Barat, pasukan-pasukan khusus Israel menyusup ke beberapa negara lain untuk menargetkan sejumlah aktivis dan petinggi Palestine Liberation Organization (PLO). Salah satu targetnya Abu Jihad alias Khalil Ibrahim al-Wazir. Ia merupakan salah satu pendiri PLO yang dibunuh pasukan komando Israel di kota Tunis, Tunisia pada 16 April 1988.
“PLO yang sejak awal berada di pengasingan sempat terkejut dengan perlawanan itu, meski mereka hanya bisa menyaksikannya dari jarak yang jauh. Intifada itu sepenuhnya digerakkan dari dalam wilayah (Palestina), gerakan yang meletus tanpa direncanakan. Melihat kesempatan untuk mengkapitalisasi popularitas dan pengaruh politiknya, PLO mulai menegaskan peran kepemimpinan,” sambung Anziska.
Pasca-kematian Al-Wazir, nama Yasser Arafat makin populer. Berkat usulannya, ia mendapatkan suara terbanyak dalam Kongres Nasional Palestina yang dihelat di pengasingan, Alger, Aljazair, 12-15 November 1988. Usulannya yakni PLO akan menerima Resolusi 242 dan 338 PBB terkait konflik Palestina-Israel.
Baca juga: Gaza dalam Lintasan Sejarah
Pada saat bersamaan dengan kongres itu, sambung Anziska, para petinggi PLO dan Palestinian National Council (PNC) menyerahkan penyusunan manifesto dan teks deklarasi kepada sastrawan dan penyair Mahmoud Darwish. Teks bertolak dari Resolusi 181 PBB pada 29 November 1947 silam. Begitu rampung dibuat, Arafat lantas menyiarkan Deklarasi Kemerdekaan Palestina di hari terakhir kongres, 15 November 1988.
“…Dengan ini mendeklarasikan keyakinannya terhadap penyelesaian perselisihan kawasan dan internasional dengan cara-cara damai berdasarkan piagam dan resolusi-resolusi PBB…dengan menyebut nama Allah dan atas nama bangsa Arab Palestina dengan ini memproklamirkan berdirinya negara Palestina di wilayah Palestina kami dengan ibukotanya Yerusalem (Al-Quds Ash-Sharif),” begitu bunyi penggalan deklarasinya dalam bahasa Arab yang kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris oleh Edward Said.
Menurut Baruch Kimmerling dalam The Palestinian People: A History, ketika Arafat mendeklarasikan negara Palestina pada 15 November 1988, PLO mengklaim hanya 22 persen wilayah Palestina yang sebelumnya dipegang Inggris sebelum 1947, yakni Jalur Gaza dan Tepi Barat. Deklarasi itu juga mengesampingkan klaim kelompok politik Palestina lain yang hanya ingin mengakui wilayah Palestina secara keseluruhan, sekaligus secara implisit mengakui Israel.
“Ini juga menjadi pengakuan resmi pertama pihak Palestina terhadap legitimasi dari eksistensi negara Yahudi (Israel, red.) dan penegasan pertama secara eksplisit PLO terhadap dukungannya akan solusi two-state (dua negara),” tulis sejarawan Columbia University, Rashid Khalidi dalam The Iron Cage: The Story of the Palestinian Struggle for Statehood.
Baca juga: Oslo dan Perdamaian Israel-Palestina
Kendati begitu, bukan berarti Israel dan Amerika Serikat mengakui berdirinya negara Palestina. Pun juga mengubah posisi PLO dalam isu-isu mendasar dalam konflik dan upaya negosiasi damai. Baru tiga tahun berselang, lanjut Khalidi, PLO bisa melakukan kontak dengan Amerika untuk upaya negosiasi.
Terlepas dari itu, dewan pusat PLO memilih Arafat sebagai presiden pertama negara Palestina meskipun Otoritas Nasional Palestina, PNA, baru bisa dibentuk pada 1993 pasca-Perjanjian Oslo I. Ibukota Palestina Yerusalem tetap diakui meski secara de facto pusat pemerintahan PNA berlokasi di Ramallah, Tepi Barat.
Berangsur-angsur negara Palestina mendapat pengakuan dari sejumlah negara. Hingga 2012, sudah 139 negara anggota PBB yang mengakui Palestina, termasuk Indonesia. Kedutaan Besar Palestina di Jakarta sudah dibuka sejak 1990, sementara Kedutaan RI untuk Palestina dibuka di Amman, Yordania.
Hanya saja, Palestina sampai kini masih belum diakui sebagai anggota resmi PBB. Statusnya baru sekadar negara pemantau non-anggota. Pun hingga kini Palestina tetap belum berdaulat secara penuh karena masih dirongrong zionis Israel.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar