Gema Kemerdekaan Palestina dari Seberang Lapangan
Club Deportivo Palestino dilahirkan imigran Palestina di Chile. Menyuarakan solidaritas dan kemerdekaan Palestina lewat sepakbola.
SEIRING kecaman para pemimpin dunia terhadap gempuran Israel ke wilayah Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat, simpati dan dukungan untuk warga sipil Israel turut mengalir dari arena sepakbola. Tidak hanya dari pesepakbola Muslim di Timur Tengah, namun juga dari para pemain Nasrani di sebuah klub di Chile.
Aksi duo pemain Leicester City, Hamza Choudhury dan Wesley Fofana, membentangkan bendera Palestina seraya merayakan raihan Piala FA pada 15 Mei 2021 menjadi viral. Aksi tersebut hanya sebagian kecil dari sikap yang diambil para bintang sepakbola terkait konflik Palestina-Israel yang masih berkecamuk.
Tiga hari setelah Choudhury dan Fofana, sepasang bintang Manchester United, Paul Pogba dan Amad Diallo, melakoni hal serupa usai laga Premier League kontra Fulham pada 18 Mei. Kendati berbeda bentuk, sikap serupa juga disuarakan Sadio Mané dan Mohamed Salah yang berseragam Liverpool lewat akun Twitter pribadi masing-masing. Salah bahkan meminta Perdana Menteri Inggris Boris Johnson untuk ikut menekan Israel agar menghentikan serangannya yang hingga Kamis (20/5/2021) menewaskan 230 warga Palestina, di mana 65 di antaranya anak-anak.
“Saya menyerukan kepada para pemimpin dunia termasuk perdana menteri dari negara yang telah menjadi rumah saya selama empat tahun terakhir untuk melakukan segala yang mereka mampu demi memastikan kekerasan dan pembunuhan terhadap orang-orang tak berdosa segera dihentikan. Cukup adalah cukup. @BorisJohnson,” kicau Salah di akunnya, @MoSalah, 12 Mei 2021.
Baca juga: Darah dan Air Mata Palestina
Sebelumnya, aksi solidaritas juga ditunjukkan sebuah klub sepakbola di Chile bernama Club Deportivo Palestino. Klub yang mentas di Primera División de Chile itu melakukannya dengan mengalungkan keffiyeh (kain penutup kepala khas Timur Tengah).
“Lebih dari sekadar tim, (mewakili) segenap bangsa. Mereka 13 ribu kilometer terpisah dari kami tetapi ikatan yang unik jadi pemersatu dan akan selalu ada. Kekuatan dan solidaritas kami untuk Palestina. Jayalah Palestina yang merdeka!” demikian penyataan klub di akun Twitter-nya, @CDPalestinoSADP, 14 Mei 2021.
Dilahirkan Imigran Palestina
Didirikannya CD Palestino tak lepas dari besarnya jumlah imigran Arab di Chile yang sudah eksis pada 1850-an. Mereka mengungsi pasca-tanah kelahiran mereka porak-poranda akibat Perang Krimea (1853-1856) yang melibatkan Kekaisaran Rusia melawan Kesultanan Utsmaniyah dibantu Kekaisaran Prancis, Kerajaan Inggris, dan Kerajaan Sardinia.
Selain dari Lebanon dan Suriah, para imigran Arab di Chile yang mayoritas pemeluk Kristen Ortodoks itu berasal bangsa Palestina yang hingga kini jadi komunitas Palestina terbesar di luar Timur Tengah dengan populasi lebih dari 500 ribu jiwa.
Baca juga: Sumbangsih Pertama Indonesia untuk Palestina
Mulanya, mereka mengungsi dengan mengarungi Samudera Atlantik dan mendarat di Buenos Aires, Argentina. Tetapi karena di Argentina sudah padat komunitas Yahudi, para pengungsi Arab memilih melintasi Pegunungan Andes menuju Chile dan banyak menetap di kota-kota penyangga Santiago. Mereka diterima dengan tangan terbuka oleh penduduk setempat walau keberatan dijuluki “Turks” (orang Turki) karena paspor Kesultanan Utsmaniyah mereka.
“Kebanyakan imigran dari Palestina memulai perjalanan mereka di pelabuhan Haifa. Dari sana mereka berperjalanan ke sebuah pelabuhan di Eropa dan setelah menunggu beberapa periode waktu, melanjutkan pelayaran ke Amerika. Sebelum dibangun jalur keretaapi Trans-Andean, mereka berangkat dari Argentina ke Chile dengan keledai,” tulis Hagai Rubinstein dalam “Constructing a Transnational Identity: the Three Phases of Palestinian Immigration to Chile, 1900-1950” yang termuat dalam Migrants, Refugees, and Asylum Seekers in Latin America.
Baca juga: Lima Atlet Muslim Turki Pengabdi Jerman
Pada dekade pertama abad ke-20, situasinya mulai berubah. Pemerintah Chile berusaha menyetop masuknya imigran gegara krisis ekonomi ditambah mulai munculnya xenofobia dan suara-suara bernada rasis dari orang setempat. Pandangan miring itu berasal dari pemberitaan media-media terhadap kaum imigran dari Arab dan Asia Timur (China dan Jepang) yang mereka anggap orang-orang kotor dan tak berpendidikan.
“Banyak penulis yang menyerang orang-orang Chile keturunan Arab. Nicolás Palacios dalam bukunya Raza Chilena mengecam imigrasi orang-orang Arab dan komplain bahwa ‘orang-orang Turki’ mencuri lapangan pekerjaan kelas menengah. Jurnalis Joaquín Edwards Bello menuding praktik-praktik tak etis bisnis-bisnis Arab dalam editorialnya di La Nación. El Mercurio yang juga menyatakan: ‘Entah mereka muslim atau Buddha, apa yang bisa dilihat dan tercium dari jauh adalah mereka lebih kotor dari anjing-anjing Konstantinopel’,” ungkap Brenda Elsey dalam Citizens and Sportsmen: Futbol and Politics in Twentieth-Century Chile.
Sadar eksistensi mereka mulai terpojok, para imigran Arab berupaya membaur lewat olahraga. Imigran Palestina sebagai kaum pendatang terbesar mendirikan perkumpulan olahraga Club Sportivo Palestina pada Maret 1916 di Ricoleta, kota kecil di utara Santiago. Klub itu mewadahi atletik, renang, tenis, tinju, senam, hingga sepakbola.
Khusus sepakbola, Club Sportivo didirikan para atlet muda perhimpunan itu pada 20 Agustus 1920 (beberapa versi menyebut 8 Agustus 1920) di Osorno. Mulanya klub itu dibentuk khusus untuk para imigran sebagaimana Audax Italiano dan Unión Española yang dibentuk oleh imigran Eropa untuk mengikuti pesta olahraga koloni dan pendatang di Osorno.
“Bintang tenis dan co-founder Club Palestino, Elías Deik Lamas, mengenang bahwa pendirian klub sebagai upaya mereka berpartisipasi di komunitas olahraga Chile. Ia mengenang bahwa Club Palestino dilahirkan oleh lingkaran teman-temannya yang mulai bermain sepakbola di usia sekolah meniru klub-klub imigran di Santiago. Kebanyakan anggotanya adalah remaja hingga kemudian mereka bergabung ke Santiago Football Association’s Youth League of Honor,” imbuh Elsey.
Baca juga: Sepakbola Palestina Merentang Masa
Namun, di gelanggang olahraga pun mereka acap mengalami diskriminasi rasial baik verbal maupun fisik. Setelah keluar dari asosiasi itu pada 1921 dan masuk lagi setahun berselang, mereka angkat kaki lagi pada 1923.
“Kami harus meninggalkan ekspedisi itu karena kami merasa tim-tim lawan kami sangat kasar dalam permainan. Padahal saat itu kami tak terkalahkan. Setelah keluar, Club Palestino tetap bermain secara informal dengan klub-klub imigran Arab lain dan juga mahasiswa Universitas Katolik. Di sisi lain, untuk menggantikan sepakbola (di kompetisi resmi) Club Palestino fokus pada tenis, mengingat olahraga itu tidak berbahaya dan lawannya lebih menghargai dan menghormati kami,” kenang Deik dikutip Elsey.
Dua Bintang Emas Palestino
Club Palestino sempat vakum setelah perhimpunannya berganti nama menjadi Palestino Sport Club karena mengintegrasikan cabang olahraga lain. Baru pada 20 Oktober 1938, sebagaimana disingkap Héctor ‘Tito’ Gatica dalam Alamanaque de Fútbol Chileno, klub sepakbolanya aktif kembali. Setelah memisahkan diri dari Palestino Sport Club, namanya diubah menjadi lebih berbau bahasa Spanyol: Club Deportivo Palestino.
“Tetapi mereka harus reses lagi selama hampir satu dekade (karena Perang Dunia II) dan setelah memulai lagi upayanya pada 1947, mereka baru resmi melakukan reorganisasi pada 19 Juni 1949 dengan tujuan masuk federasi demi bisa tampil di level nasional. Timnya bertambah kuat setelah merger dengan dua klub imigran Arab lain, Deportivo Árabe Avenida Perú dari Recoleta dan Deportivo Árabe dari Los Guindos,” terang Tito.
Baca juga: Qatar di Gelanggang Sepakbola
Saat liga profesional pertama dibentuk federasi pada 1952, CD Palestino diterima masuk dan mentas di Divisi Dua. CD Palestino dilatih Luis Tirado yang merangkap sebagai pelatih Timnas Chile.
Klub tak lagi didominasi pemain imigran setelah mulai menerima pemain beda etnis maupun agama. Walau demikian, warna merah-hijau-putih-hitam bendera Palestina tetap dijadikan identitas Palestino lewat logo dan jersey.
Baca juga: Skandal Memalukan Chile demi Piala Dunia
Dengan sumbangan dana sejumlah organisasi imigran Palestina dan Arab lain, klub bisa menyewa sebuah lahan di Enrique Olivares nomor 1141, Santiago untuk dijadikan lapangan. Toh meski dengan fasilitas seadannya, Palestino bisa langsung memetik gelar liga (Segunda División) di musim pertamanya, 1952-1953.
“Di musim pertamanya mereka memenangi titel divisi kedua. Setelah memperoleh poin sama dengan Rangers de Talca di klasemen, pada 26 Januari 1953 dimainkan laga final penentu juara di Stadion Braden Cooper di Rancagua. Mereka menang 4-2 lewat adu penalti setelah menghasilkan skor imbang 2-2 dalam 90 menit waktu normal,” sambung Tito.
Setelah promosi ke Primera División Palestino tak lama kemudian berhak menyematkan satu bintang emas sebagai penanda juara, yang dimenanginya pada musim 1955. Kala itu Palestino dilatih Guillermo Coll asal Argentina. Bintang emas kedua melekat di logo klub setelah tampil fantastis dengan rekor tak terkalahkan di musim 1978.
“Tetapi sebagaimana para direktur olahraga (klub imigran) Eropa, para pemimpin klub Arab juga melihat kekuatan politik sebagai cara esensial untuk memengaruhi kebijakan negara terhadap situasi Timur Tengah. Sebagai contoh, petinggi Palestino mengirim petisi, surat, dan undangan makan malam untuk pejabat pemerintahan agar mengakui kemerdekaan Palestina. Presiden klub Hafez Awad mengatakan: ‘Kami bisa hidup tanpa perempuan tapi kami takkan bisa hidup tanpa cinta pada negeri kami,’” tambah Elsey.
Baca juga: Gempa dan Piala Dunia Chile
Palestino tak pernah tutup mata pada situasi di Gaza dan Tepi Barat pasca-berdirinya Israel sejak 1948. Perlahan tapi pasti, rasa solidaritas itu tertanam kuat di benak para fans dan pemain, kendati hingga sekarang mayoritas pemainnya bukan keturunan Arab-Palestina.
“Sejak dulu sampai sekarang terus terjadi penyangkalan historis secara fundamental dari pihak Yahudi Israel tentang eksistensi bangsa Palestina. Padahal Club Palestino bahkan sudah lebih dulu eksis sebelum negara Israel lahir. Jadi isu identitas nasional menjadi sangat penting dengan mengusung nama dan warna (kebangsaan) Palestina,” ujar Eugenio Chahuán, sejarawan Universidad de Chile, disitat Revista Un Caño.
Rasa solidaritas terhadap bangsa Palestina di Gaza dan Tepi Barat yang terus dirongrong Israel ditanamkan para petinggi klub dengan slogan-slogan, spanduk, dan poster di ruang ganti, lorong stadion hingga tribun-tribunnya. Hal itu perlahan menumbuhkan simpati dan solidaritas para pemain non-keturunan Palestina terhadap perjuangan Palestina.
“Pemain yang datang ke klub mulanya tak pernah memandang dimensi politik. Tetapi ketika ia bermain untuk dua-tiga musim dan mulai beriteraksi lebih sering dengan fans, ia akan menyadari beban yang sebenarnya bahwa bermain dengan jersey ini punya makna yang dalam,” aku Felipe Núñez, kiper Palestino 2004-2014.
Kuatnya identitas kebangsaan dan sikap politik itu juga diperlihatkan pada 2002. Sebagai respon terhadap serangan Israel atas Palestina di tahun itu, manajemen klub mengumbar rasa solidaritasnya dengan menyematkan gambar peta Palestina di jersey kiper Leonardo Cauteruchi (1999-2002). Lalu saat Perang Gaza 2014 berkecamuk, manajemen klub melekatkan gambar peta Palestina sebelum berdirinya Israel (1948) sebagai pengganti angka 1 di setiap nomor punggung pemain.
Kedutaan Israel di Santiago dan Kementerian Luar Negeri Israel pun memprotes keras pemerintah dan otoritas olahraga Chile. Akibatnya, Palestino didenda 1.300 dolar oleh induk sepakbola Chile (FFCh) dan dilarang memakai jersey yang sempat tiga kali dipakai dalam pertandingan resmi liga itu. Kendati begitu, jersey tersebut tetap dijual dan mendapat sambutan antusias dari fans hingga meningkatkan 300 persen neraca keuangan klub dari musim sebelumnya.
“Bagi kami, Palestina yang merdeka akan selalu menjadi Palestina yang bersejarah,” tukas pernyataan klub di laman resminya.
Baca juga: Özil dan Perkara Peranakan Muslim Turki
Tambahkan komentar
Belum ada komentar