Oslo dan Perdamaian Israel-Palestina
Kisah negosiasi alot utusan Israel dan Palestina lewat jalur belakang tanpa campur tangan Amerika. Disajikan dramatis dan humanis.
LANGIT cerah menaungi halaman Gedung Putih di Washington DC, Amerika Serikat, 13 September 1993. Dalam sebuah footage itu, tampak Presiden Amerika Bill Clinton tersenyum haru melihat dua pemimpin negeri yang bermusuhan, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin dan Ketua Palestine Liberation Organization (PLO) Yasser Arafat, berjabat tangan erat dalam suasana hangat.
Rabin maupun Arafat sepakat berdamai dan menghakhiri 50 tahun konflik lewat peresmian Persetujuan Oslo. Footage yang disiarkan ke seluruh dunia itu jadi kabar gembira buat warga dunia. Namun hanya sedikit yang tahu bagaimana kesepakatan damai Israel-Palestina itu bisa terjadi setelah bertahun-tahun negosiasinya selalu membentur “tembok”.
Footage itu merupakan bagian dari film bertajuk Oslo garapan sutradara Bartlett Sher. Film drama tersebut menggambarkan detail negosiasi-negosiasi alot delegasi kedua belah pihak sebelum sama-sama menyepakati Declaration of Principles (DOP) dari Persetujuan Oslo I yang berisi 17 pasal kesepakatan.
Baca juga: Prahara Yerusalem Diusik Amerika
Kisahnya berangkat dari insiatif sejoli suami-istri Mona Juul (diperankan Ruth Wilson) dan Terje Rød-Larsen (Andrew Scott) pada suatu hari di bulan Desember 1992. Mona yang merupakan diplomat Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Norwegia mencoba mendekati Menteri Keuangan PLO Ahmed Qurei (Salim Daw) yang tengah berada di London, Inggris.
Qurei alias Abu Alaa frustrasi karena tak bisa terlibat dalam konferensi internasional di London yang membahas konflik Palestina-Israel. Di Yerusalem, Terje yang merupakan direktur Institut Riset Fafo mencoba meyakinkan Wakil Menlu Israel Yossi Beilin (Itzik Cohen) untuk mau memulai pembicaraan langsung dengan pihak PLO.
“Selama ini pembicaraan (konflik) menggunakan model negosiasi totalisme kuno. Semua isu yang tak disetujui di atas meja perundingan menjadi bencana. Prosesnya terlalu formal, kaku, dan tidak menghasilkan. Biarlah Amerika menjalankannya tapi Anda harus mau memulai proses kedua yang dibangun bukan dari pernyataan kedua pemerintahan tapi diskusi intim antara dua wakil masyarakat di tempat yang terisolasi, di mana Anda dan PLO bisa bertemu tanpa perantara,” kata Terje pada Beilin.
Baca juga: Vice yang Menyibak Tabir Kebohongan Amerika
Beilin setuju karena selama ini pembicaraan tentang konflik yang diperantarakan negara lain tak pernah membuahkan hasil konkret. Terlebih Israel makin mendapat tekanan dari Uni Eropa setelah mengeluarkan kebijakan resmi melarang pejabatnya bertemu perwakilan PLO.
Kesetujuan Beilin memulai negosiasi lewat jalan belakang itu mendorong Terje dan Mona merancang skenario pertemuan klandestin kedua belah pihak berseteru. Izinnya didapat dari persetujuan lisan Menteri Dalam Negeri Norwegia Jan Egeland (Tobias Zilliacus) dan Menlu Norwegia Johan Jørgen Holst (Karel Dobrý). Mona lalu mengundang Qurei dan pejabat penghubung PLO Hassan Asfour (Waleed Zuaiter). Sedangkan Terje mengundang dua profesor Universitas Haifa, Yair Hirschfeld (Dov Glickman) dan Ron Pundak (Rotem Keinan).
Baca juga: Nestapa Sabaya
Mereka dijemput secara diam-diam dan dibawa ke Istana Borregaard di pedalaman Sarpsborg, Norwegia pada Januari 1993. Walau awalnya canggung, pembicaraan perlahan berlangsung hangat. Tetapi pembicaraan rahasia itu bukan resmi. Profesor Yair dan Pundak bukan utusan resmi, melainkan sekadar kenalan dekat Beilin dan Menlu Israel Shimon Peres (Sasson Gabai).
Mona dan Terje bekerja keras. Keduanya menyambut bantuan Menlu Holst agar pihak Israel mau mengirimkan delegasi resminya.
Pada Maret 1993, Israel mengirim Direktur Jenderal Kemenlu Israel Uri Savir (Jeff Wilbusch) sebagai wakilnya. Sosoknya lebih kaku ketimbang dua profesor sebelumnya. Ketika bernegosiasi, terjadi lagi adu argumen hingga nyaris adu jotos.
Mona dan Terje berusaha keras menahan emosi. Mereka punya prinsip sekadar jadi fasilitator sehingga tidak ikut campur negosiasi kedua pihak. Kesabaran suami-istri itu makin diuji ketika Israel mengirim penasihat hukum Kemenlu Israel Joel Singer (Igal Naor) pada Juni 1993. Di tangan Singerlah semua kesepakatan negosiasi itu bisa dianggap sah oleh pemerintah Israel.
Baik Singer maupun Qurei berdebat keras mengenai pendudukan Israel di Gaza, Jericho (Tepi Barat), serta Yerusalem. Bagaimana jalannya negosiasi PLO-Israel itu serta intrik-intrik politik di dalamnya? Saksikan kelanjutannya di aplikasi daring Mola TV.
Musuh Abadi yang Humanis
Dinamika negosiasi Israel-PLO berikut intrik-intrik di dalamnya yang dihadirkan Oslo sangat dinamis. Sutradara Sher tak melulu menghadirkan suasana perdebatan kaku yang membosankan, tapi juga menyisipkannya dengan dark humor sehingga ceritanya bisa lebih humanis. Suasananya makin terasa dengan iringan music scoring variatif garapan duet komposer Zoe Keating dan Jeff Russo.
“Pada dasarnya ada banyak humor yang timbul dari lingkungan yang penuh tekanan. Humor selalu ada dalam interaksi manusia sesungguhnya. Dari humor Anda bisa membangun hubungan dengan orang lain – Anda bisa pindah dari titik oposisi ke titik tawa. Saya tak yakin bisa melihatnya lagi pada para politisi saat ini, di mana mereka sebenarnya bisa menjadi manusia sesungguhnya dan menertawakan hal yang sama,” kata Sher kepada Variety, 27 Mei 2021.
Baca juga: Captains of Zaatari Meretas Mimpi dari Kamp Pengungsi
Greget Oslo bertambah dengan sisipan footage-footage konflik Palestina-Israel kala Intifada Pertama (1987-1993) berlangsung. Momen itu dijahit dengan adegan alur maju-mundur yang menggambarkan Mona saat menjadi diplomat utusan Kemenlu Norwegia di Palestina pada musim gugur 1990. Hatinya terenyuh melihat pemuda-pemuda Israel dan Palestina yang terpaksa saling bunuh.
“Suatu hari Terje dan saya berkeliling Gaza sebagai bagian dari tugas saya selama ditempatkan di sana. Kami sempat salah belok ke sebuah jalan sempit. Terdapat dua bocah saling berhadapan. Satu berseragam, satu mengenakan jeans. Tetapi kedua wajah mereka menampakkan rasa takut yang sama. Menampakkan keputusasaan yang sama untuk tidak berada di tempat itu dan tidak melakukan kekerasan satu sama lain,” ujar Mona, perempuan kelahiran 10 April 1959, saat menerangkan motifnya mau jadi perantara pembicaraan rahasia itu.
Alhasil, Oslo masuk nominasi Primetime Emmy Award 2021 dalam dua kategori: kategori film televisi terbaik dan original score. Percampuran adegan-adegan dramatis dan kejenakaan itu bertambah apik dengan sudut-sudut pengambilan gambar yang variatif, mulai dari high-angle shot, long-shot, hingga shoulder-level shot.
Baca juga: A Private War, Perang Batin si Wartawati Perang
Namun sebuah kebetulan yang sejatinya tak diinginkan Sher terjadi saat Oslo dirilis pada akhir Mei 2021. Kala itu konflik Israel-Palestina kembali memanas. Sher mengakui apa yang ia gambarkan dalam Oslo tak serta-merta jadi solusi. Ia hanya berharap substansi Oslo bisa jadi cerminan ke depan untuk menciptakan perdamaian di Palestina dengan dialog, bukan kekerasan.
“Pandangan saya dengan film ini adalah terdapat dua hal untuk mencapai perdamaian. Pertama, duduk bersama untuk berdialog dan mencari solusi permasalan. Kedua, para pemimpin sejati yang mau melangkah dan mengambil upaya berani demi perdamaian. Saya berharap film ini membantu publik memahami sejarah dan situasi saat ini dengan lebih baik. Perjanjian Oslo memang bukan solusi dari problem yang kompleks tapi itu adalah awal dari transisi yang sayangnya tak pernah terwujud,” tandas Sher.
Peran Norwegia
Konflik Palestina-Israel yang sudah terjadi lebih dari setengah abad sampai kini tak kunjung berkesudahan. Kala Oslo dirilis, misalnya, situasi di Palestina sangat memprihatinkan. Jasad rakyat Palestina kembali bertumbangan sebagaimana yang pernah disaksikan Mona Juul, sang tokoh utama.
“Sosiolog Terje Rød-Larsen dan istrinya, Mona Juul, seorang diplomat, mengunjungi Gaza yang jadi rumah bagi jutaan Palestina. Rød-Larsen sedang menyiapkan survei tentang kondisi kehidupan populasi di sana. Saat dikawal ke sekitar kamp pengungsi Palestina oleh petugas PBB, keduanya terjebak baku-tembak. Rød-Larsen dan Juul ketakutan saat desingan peluru dan lemparan batu melewati kepala mereka. Mereka melihat wajah kedua pihak yang penuh rasa takut dan cemas,” tulis Ian Leslie dalam Conflicted: Why Arguments Are Tearing Us Apart and How They Can Bring Together.
Baca juga: The Whistleblower yang Membuka Borok PBB
Dua tahun setelahnya, mereka memprakarsai negosiasi klandestin antara Israel dan PLO. Dalam Oslo, tak digambarkan latar belakang mengapa PLO di bawah Arafat dan Israel percaya dan berkenan dimediasi Mona dan Terje sebagai kepanjangan tangan pemerintah Norwegia.
Mengutip “Proactive Peace Diplomacy: Jan Egeland” karya Hilde Henrikse Waage, sejarawan Universitas Oslo, yang termaktub dalam buku Ways Out of War, Norwegia merupakan salah satu negara sahabat terdekat Israel sejak 1948. Sementara sejak 1979, Norwegia dipercaya Arafat sebagai mitra penting PLO yang terpaksa mengungsi ke Tunis, Tunisia.
“PLO butuh sebuah negara yang bersahabat bagi PLO dan musuh mereka, Israel. Norwegia dianggap sebagai satu dari sedikit negara yang bisa dipercaya, salah satunya karena Norwegia punya hubungan dekat dengan PBB. Ketika proses perdamaian di Washington butuh dorongan dan jalur alternatif, Norwegia membuka pintu. Terlebih Norwegia sendiri sudah berusaha memediasi negosiasi rahasia sejak 1979 walau gagal karena Israel terus menolak,” tulis Waage.
Baca juga: Darah dan Air Mata Palestina
Hal itu berubah sejak kunjungan Egeland ke Israel pada pertengahan 1992. Fakta ini merupakan hal penting untuk “mempertanyakan” Oslo yang mengecilkan peran Egeland. Padahal selain Terje dan Mona yang “bergerilya” menemui perwakilan Israel dan PLO di tempat-tempat terpisah, Egelandlah yang meyakinkan pihak Israel agar mau mengirim wakilnya ke Norwegia.
“Egeland mengadakan kunjngan resmi ke Israel pada 1992, untuk mengungkapkan apakah pihak Israel dan Palestina serius menginginkan adanya jalur belakang rahasia di Norwegia. Bicara atas nama Menlu (Thorvald) Stoltenberg, Egeland mengkonfirmasi bahwa Oslo bersedia jadi tuan rumah pertemuan rahasia,” imbuhnya.
Setelah terkonfirmasi, Egeland mempercayakan pengaturan akomodasi kedua belah pihak pada Terje dan Mona. Terje dipercaya untuk hadir di setiap rapat, sementara Mona jadi penghubung antara negosiasi pada Januari 1993 itu dengan Kemenlu Norwegia.
“Jan Egeland dan menlu (Stoltenberg, kemudian digantikan Holst) jadi perwakilan akan persetujuan dan dukungan pemerintah Norwegia. Egeland juga berpartisipasi secara langsung di beberapa tahap negosiasi,” lanjut Waage.
Egeland juga berperan meredam kebocoran negosiasi rahasia itu baik saat mulai bocor di Agence France-Presse (AFP) maupun media massa Norwegia. Tujuannya agar pertemuan itu tetap rahasia dari pihak manapun, termasuk Amerika.
Hasilnya, Israel dan Palestina segera menyetujui Declarations of Principles. Selama prosesnya, Norwegia mengambil peran baru, tak lagi sebagai fasilitator tapi sebagai mediator aktif. Norwegia terobsesi berkontribusi atas negosiasi melelahkan hingga tercapai kompromi-kompromi politik demi mencapai tujuan bersama: sebuah persetujuan.
Baca juga: Helsinki Jembatan Politik Amerika-Rusia
Persetujuan itu bisa tercapai karena prosesnya dilakukan langsung dua pihak yang bertikai, bukan melalui Amerika atau Uni Eropa sebagai mediator yang cenderung mengendalikan Palestina atau Israel. Di pihak PLO, Arafat bisa menunjuk perwakilan sesuai keinginannya. Begitupun pihak Menlu Israel Shimon Peres. Tak ada campur tangan pihak ketiga.
“Bertahun-tahun keterlibatan penciptaan perdamaian melalui jalur mimpi ini jadi nyata. Di satu sisi cukup menyedihkan karena baru kali ini hal besar itu terjadi dan di sisi lain hal ini luar biasa sukses, tak hanya untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah tapi juga sebenarnya bisa kita tiru di tempat lain,” kata Egeland dikutip Waage.
Deskripsi Film:
Judul: Oslo | Sutradara: Bartlett Sher | Pemain: Ruth Wilson, Andrew Scott, Salim Daw, Itzik Cohen, Dov Glickman, Jeff Wilbusch, Igal Naor | Produser: Gary Michael Walters, Svetlana Metkina, Michael Litvak, Mark Taylor | Produksi: HBO Films, Marc Platt Productions, SRO Productions, Bold Films, DreamWorks Pictures| Distributor: HBO |Genre: Drama | Durasi: 118 menit | Rilis: 29 Mei 2021, Mola TV
Tambahkan komentar
Belum ada komentar