Islam di Asia-Afrika Mendukung Palestina
Meski tak diakui, PLO mewakili Palestina dalam Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) I di Bandung. Konferensi Islam global pertama ini mendukung kemerdekaan Palestina.
BERTEMPAT di Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Bandung, Presiden Sukarno membuka Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) I pada Sabtu, 6 Maret 1965. Setelah molor beberapa minggu dari yang direncanakan, konferensi penerus dari Konferensi Asia Afrika (KAA) yang diadakan satu dekade sebelumnya di tempat yang sama ini menjadi pernyataan sikap bersama kelompok-kelompok Islam di Asia dan Afrika dalam tata kehidupan global.
Meski labelnya konferensi negara-negara Islam di Asia dan Afrika, konferensi yang dipimpin Kyai Haji Idham Chalid ini dihadiri tak hanya oleh negara-negara Islam. Duta Masjarakat edisi 10 Februari 1965 memberitakan, ada 35 negara yang menghadiri konferensi tersebut. Selain negara-negara Islam dan negara-negara berpenduduk mayoritas Islam, beberapa negara yang penganut Islamnya minoritas pun hadir. Bahkan, Srilangka, Jepang, Uni Soviet, dan Republik Rakyat Cina (RRC) pun hadir dalam konferensi ini. Sementara, Afghanistan, Australia, dan Jerman Barat hadir di sana sebagai peninjau. Meski belum diakui oleh Perserikatan Bangsa-bangsa, Palestina juga punya perwakilan yang hadir dalam KIAA.
“Konferensi tersebut memutuskan bahwa meskipun Palestina belum memperoleh kemerdekaan dan kedaulatan penuh, tetapi PLO telah diakui sebagai wakil sah rakyat Palestina dalam perundingan dengan Israel,” catat As'ad Said Ali dalam Al-Qaeda: Tinjauan Sosial-Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya.
Sebagai penerus KAA, menurut Andri Nurjaman dalam Melihat Per juangan KH Idham Khalid di Bandung, KIAA melanjutkan apa yang diperjuangkan KAA. Bangsa-bangsa di Asia dan Afrika masih tetap banyak yang memperjuangkan apa yang dilakukan di era 1950-an, yakni memperjuangkan kemerdekaan. Bagi yang sudah mendapat kemerdekaan, mereka dihadapkan pada perjuangan baru, yakni mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih dengan bentuk melawan imperialisme gaya baru era Perang Dingin.
Perang Dingin sedang mencapai titik didihnya ketika KIAA dihelat. Nyaris tiada belahan dunia yang tak tersentuh perang antara Blok Barat dan Timur tersebut. Namun, dalam arus politik global itu, banyak negara khususnya yang baru atau belum lama merdeka memilih tidak masuk dalam pusaran dua blok. Perjuangan mereka umumnya sama, melawan dan mengenyahkan kolonialisme dan imperialisme, agenda utama yang dideklarasikan saat KAA 1955.
“Rakyat Asia Afrika masih tetap menghadapi imperialisme,” kata Sukarno dalam pidato pembukaannya.
Sukarno menyerukan persatuan dan solidaritas demi mewujudkan dunia baru yang diinginkan KIAA ini. Selain bahaya penggunaan senjata nuklir, isu bahaya imperialisme didengungkan dengan keras di sana. Indonesia sendiri sedang terlibat dalam Konfrontasi dengan Malaysia, yang eksistensinya ditolak Sukarno karena tak ubahnya negara boneka Inggris. Soal Kashmir, yang menjadi masalah bagi Pakistan dan India, juga dibahas di KIAA dan Indonesia lebih menyerahkan kedudukan Kashmir berdasar keinginan rakyat Kashmir.
Nasib Palestina –yang terletak di Timur Tengah– tentu menjadi perhatian dalam KIAA. Kemerdekaan Palestina yang terjajah oleh Israel dibicarakan dalam konferensi ini. Di luar Indonesia yang non-Arab, dukungan dari negara non-Arab untuk perjuangan bangsa Arab melawan imperialisme dan antek-anteknya datang dari Tiongkok atau RRC yang kala itu juga sedang dikucilkan Barat di pentas politik global. Kendati tak menyebut spesifik nama Palestina, Tiongkok secara resmi lantang menyuarakan dukungannya.
“Dalam pidatonya di konferensi tersebut, kepala delegasi Tiongkok menyatakan dukungannya terhadap ‘gerakan pembebasan nasional rakyat Arab.’ Dukungan Tiongkok terhadap rakyat Arab di Palestina, bagaimanapun, diungkapkan dengan istilah yang berbeda dari bentuk biasanya; ia berbicara tentang dukungan Tiongkok kepada mereka ‘dalam perjuangan mereka untuk kembali ke tanah air dan untuk pemulihan hak-hak hukum mereka,’” tulis Shai Har-El dalam China and the Palestinian Organizations 1964-1971.
Tak disebutnya nama Palestina secara spesifik oleh delegasi Tiongkok di KIAA jelas tak sama dengan perhatian nyata yang diberikan Tiongkok pada Palestina. Tiongkok mungkin satu-satunya negara non-Arab yang memberi dukungan dalam jumlah banyak pada perjuangan rakyat Palestina yang kala itu diwakili Palestine Liberation Organization (PLO). Salah satunya, pemerintah Tiongkok memberikan tempat untuk kantor perwakilan PLO di Peking berikut menanggung seluruh biaya operasionalnya.
“Kantor PLO di Peking diberi status diplomatik resmi oleh pemerintah Tiongkok. Departemen Urusan Asia Barat dan Afrika Utara Kementerian Luar Negeri Tiongkok adalah badan yang bertanggung jawab untuk kontak dengan kantor PLO seperti halnya dengan semua kedutaan besar Arab di Peking. Biaya kantor ditanggung oleh kantor perdana menteri. Dengan demikian, Tiongkok menjadi negara non-Arab pertama di dunia yang memberikan pengakuan resmi kepada PLO,” sambung Shai Har-El.
Namun, Tiongkok –yang kemudian menginspirasi banyak kelompok perlawanan di dunia, seperti kelompok Baader Meinhof dari Jerman, Fusuko Shigenobu dari Jepang, atau Renoto Curcio dari Italia yang juga mendukung kemerdekaan Palestina– pada akhirnya tetap harus berjalan sendiri dalam mendukung kemerdekaan Palestina. KIAA tak menghasilkan satu keputusan resmi mengikat yang bisa mengkatalisasi perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina alias KIAA hanya menghasilkan keputusan yang sifatnya himbauan. Mengenai nasib Palestina, butir ke-9 hasil KIAA menyatakan: Meningkatkan kerjasama dalam perjuangan menghadapi invasi Israel terhadap negara Palestina.
KIAA 1965 menjadi KIAA pertama sekaligus terakhir yang pernah diselenggarakan. Setelah itu, tak pernah ada lagi KIAA. Dunia kian terpecah dalam dua blok yang saling cakar. Beberapa bulan setelah penyelenggaraan KIAA, Indonesia sendiri menjadi “korban” Perang Dingin dengan terjadinya Peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang diikuti dengan penghancuran Partai Komunis Indonesia (PKI) sekaligus pelemahan pengaruh Sukarno. Praktis setelah itu Indonesia berada di orbit Barat selaku pendonor.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar