Dari Helsinki ke Helsinki
Sebuah ibukota di Skandinavia jadi jembatan politik Amerika-Rusia. Dipilih karena kenetralannya sejak Perang Dingin.
RUANG konferensi pers Istana Kepresidenan Finlandia yang tenang mendadak ricuh Senin (16/7/2018) lalu. Pihak keamanan terpaksa menyeret seorang kontributor Majalah The Nation bernama Sam Husseini. Dia dianggap berpotensi mengganggu jalannya sesi keterangan pers antara Presiden Donald Trump (Amerika Serikat) dan Vladimir Putin (Rusia).
Terlepas dari riak kecil itu, sesi tanya jawab berlangsung mulus. Baik Trump maupun Putin menyampaikan hasil dari obrolan tertutup mereka selama dua jam siang sebelumnya di Gothic Hall, Istana Kepresidenan Finlandia. Pertemuan bertajuk “Helsinki 2018 Meeting: 2018 Russia-United States Summit” itu menjadi babak baru hubungan Gedung Putih dengan Kremlin yang tegang pasca-invasi Rusia ke Krimea.
Meski disebutkan Putin dan Trump saling sepakat soal keamanan internasional, tak ada detail lebih lanjut terkait itu. Tak satu pun kesepakatan penting dibuat keduanya dalam pertemuan itu. “Pertemuan itu tidak ada artinya,” ujar seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Amerika yang tak disebutkan namanya, dikutip CNN, Selasa (19/7/2018).
Satu-satunya fakta menarik tentang pertemuan itu hanyalah venue pertemuan: Helsinki. Ibukota Finlandia itu sudah empat kali jadi “mediator” Amerika Serikat (AS) dan Rusia (terhitung hingga 2018), bahkan saat Rusia masih tergabung dalam Uni Soviet dan berseteru dengan Amerika Serikat di Perang Dingin.
Alasan mengapa Helsinki menjadi tempat pertemuan, Finlandia merupakan negara netral sejak Perang Dingin. Hingga kini, negeri Eropa Utara itu enggan jadi anggota NATO meski tetap bersahabat baik dengan AS dalam kerangka hubungan Uni Eropa-Amerika. Finlandia juga bersahabat dengan Rusia sebagai tetangganya.
Helsinki 1975: Ford-Brezhnev
Pertemuan pertama petinggi AS dan Uni Soviet di Helsinki terjadi pada 30 Juli 1975, antara Presiden Gerald Ford dan Sekjen Partai Komunis Soviet Leonid Brezhnev. Pertemuan tertutup jelang Konferensi Keamanan dan Kerjasama Eropa, 1 Agustus 1975, itu diadakan untuk meredakan ketegangan Perang Dingin dan membahas persenjataan strategis.
Berdasarkan catatan memo bertajuk “Brezhnev Memcons” yang diarsipkan Ford Library Museum, pertemuan berlangsung dua kali. Pertama, pukul 09.35-12.00 di kediaman duta besar Amerika untuk Finlandia, dengan subyek hubungan AS-Soviet, Timur Tengah, dan krisis nuklir. Pertemuan kedua, di Kedutaan Soviet di Helsinki pada 2 Agustus 1975, mendiskusikan perdagangan gandum, minyak, hingga SALT (Strategic Arms Limitation Talks).
Sayang, sebagaimana Trump dan Putin, pertemuan itu hampir tak menghasilkan apapun, terlebih soal pembatasan senjata nuklir yang kala itu menjadi ancaman bersama. Kesepakatan konkret hanya terjadi bersama 33 negara Eropa lain dalam Helsinki Accords yang menghasilkan 10 butir kesepakatan dengan inti 35 negara sepakat menghormati kedaulatan negara, perbatasan, HAM, hukum internasional, dan saling menjaga perdamaian di Eropa.
“Tak bisa dikatakan bahwa pertemuan itu menghasilkan sesuatu,” kata Menlu AS Henry Kissinger kepada The New York Times, 31 Juli 1975.
Helsinki 1990: Bush-Gorbachev
Menjelang keruntuhan Uni Soviet, Presiden AS George Bush dan Soviet Mikhail Gorbachev sempat bersua di Istana Kepresidenan Finlandia di Helsinki pada 8 September 1990. Pertemuan yang dijembatani Presiden Finlandia Mauno Koivisto itu awalnya untuk membicarakan agenda ekonomi Gorbachev dalam rangka reformasi Soviet dan harapan AS akan dukungan Soviet terhadap upayanya menangkal invasi Irak ke Kuwait (pada 2 Agustus 1990, Irak menginvasi Kuwait).
“Jika negara-negara di dunia bersama-sama mengisolasi Irak dan menangkal agresi Saddam, kita pasti bisa memelihara ketertiban dunia lagi yang lebih damai, stabil, dan aman dari yang kita lihat sekarang,” cetus Presiden Bush sebagaimana dilansir The Washington Post, 9 September 1990.
Keduanya sepakat menandatangani Strategic Arms Reduction Treaty meski traktat itu baru berjalan penuh pada 1994.
Dalam pertemuan itu, Gorbachev menghadiahkan selembar gambar kartun berdimensi 11x14 inci. “Menggambarkan Bush dan Gorbachev sebagai petinju dengan wasit berkepala bola dunia. Wasit mengangkat kedua tangan petinju sebagai pemenang untuk menggambarkan kedua presiden menang, tiada yang kalah (dalam Perang Dingin),” tulis laporan suratkabar Baltimore Sun, 10 September 1990.
Helsinki 1997: Clinton-Yeltsin
Ekspansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara NATO ke Eropa Timur jadi poin utama pembicaraan Presiden Bill Clinton dan Boris Yeltsin yang bertemu di Istana Kepresidenan Finlandia, 21 Maret 1997. Rusia yang belum lama berdiri selepas keruntuhan Uni Soviet sempat mengkhawatirkan NATO yang berencana mengajak gabung negara eks-satelit Soviet.
Dalam arsip pidato Clinton yang dimuat laman American Presidency Project tanggal 21 Maret 1997, pertemuan AS-Rusia kedua di Istana Kepresidenan Finlandia dan ketiga di Helsinki itu menghasilkan pemahaman bahwa akan ada negosiasi lanjutan antara Sekjen NATO dan Rusia. AS menjelaskan ekspansi NATO bukan bertujuan untuk mengancam Rusia pasca-Perang Dingin.
Clinton dan Yeltsin juga sepakat untuk mengurangi persenjataan nuklir mereka. “Kami sepakat bahwa hubungan Amerika dan Rusia, serta manfaat kerjasama antara NATO dan Rusia terlalu penting untuk diganggu….bahwa kerjasama NATO dan Rusia malah akan mendemonstrasikan Rusia dan NATO yang baru sebagai mitra, bukan musuh demi masa depan Eropa yang lebih cerah…kami juga sama-sama menandatangani Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty, serta memperpanjang Non-Proliferation Treaty dan terakhir menyepakati Anti-Ballistic Missile Treaty,” terang Clinton.
Baca juga:
Bukber di Gedung Putih
Enam Pelaut Amerika di Perang Pasifik yang Menjadi Presiden
Asal Usul Istilah Perang Dingin
Presiden Jago Tinju, Gulat Hingga Jiu-Jitsu
Tambahkan komentar
Belum ada komentar