No Other Land Potret Nyata Pembersihan Etnis Sistematis di Palestina
Dokumenter tentang derita warga Palestina yang lolos dari “lubang jarum”. Cerminan perlawanan terhadap penindasan dan pembersihan etnis yang tak berujung.
RAUNGAN sirine memecah keheningan Desa Masafer Yatta, Tepi Barat, Palestina pada suatu malam tahun 2019. Basel Adra dan ibunya terpaku sekaligus cemas di depan rumah melihat serdadu-serdadu Tentara Pendudukan Israel (IOF) di kejauhan.
“Apakah mereka akan menyatroni rumah kita?” tanya Adra.
“Apakah itu tentara (IOF) datang dari sana?” timpal sang ibu.
Makin lama keadaan makin mencekam. Dari arah belakang terdengar suara seorang pemuda memperingati Adra. “Basel, kemarilah! Cepatlah kemari!” pintanya.
Adegan itu hanya satu potongan dari sekian derita yang dialami penduduk Palestina di dusun-dusun wilayah administrasi Desa Masafer Yatta di sisi selatan Bukit Hebron, sekitar 14 kilometer dari kota Hebron. Adegan nyata itu dialami keluarga Adra dan para penduduk lain yang senantiasa dilanda ketakutan karena desa mereka berada di bawah pendudukan penuh militer Israel sejak 1981.
Gambaran itu turut jadi premis yang membangun aneka konflik di film dokumenter No Other Land garap duet sineas muda Basel Adra dan Yuval Abraham. Abraham adalah jurnalis Israel yang menjalin persahabatan dengan Adra dan bersimpati atas segala dampak sistem apartheid yang dialami Basel dan keluarganya.
Baca juga: Mo dan Potret Pengungsi Palestina yang Merindukan Negerinya
Seperti halnya kedamaian para penduduk Palestina yang hampir saban waktu diusik IOF hingga pemukim ilegal Israel, persahabatan Adra dan Abraham pun acap diuji beraneka kondisi menantang. Keduanya, plus kameramen Rachel Szor, kerap diuber serdadu IOF ketika ketahuan memfilmkan penggusuran dan penghancuran permukiman penduduk Palestina. Bahkan, dua kali kediaman Adra disatroni dan digeledah serdadu IOF untuk menyita beberapa footage-nya. Namun itu tak membuat Adra dan Abraham patah arang untuk terus mendokumentasikan berbagai penindasan, ketidakadilan, dan ketimpangan yang terjadi antara permukiman Palestina dan Israel.
Jeritan dan air mata penduduk Palestina yang rumahnya digusur buldozer-buldozer Israel jadi pemandangan memilukan tapi bukan kejadian langka yang mereka filmkan. Terkadang Adra dan Abraham juga terbentur pada situasi yang membuat frustrasi.
“Tentu akan menyenangkan jika suatu hari kondisi dan situasinya stabil (dan damai). Jika begitu kau bisa datang mengunjungiku sehingga tidak selalu aku yang mengunjungimu,” celetuk Abraham ketika tengah terduduk berdua di tengah malam.
“Mungkin saja,” sela Adra sembari mengepulkan asap rokok dari mulutnya. “Apa yang akan kau lakukan jika berada dalam posisiku?” lanjutnya dengan nada pesimis.
Harapan untuk hidup tenang dan damai di tanahnya sendiri memang ibarat pungguk merindukan bulan meski tak mustahil bagi penduduk Palestina. Terlebih mereka melawan bukan dengan senjata, melainkan lebih vokal dalam protes maupun gugatan di ranah hukum.
Film No Other Land memang mengambil lokasi di Masafer Yatta tapi hal serupa juga banyak dialami penduduk Palestina lain yang desa-desanya dicaplok sebagai area militer tertutup oleh Israel sehingga IOF mengklaim berhak menggusur atau bahkan menghancurkan dusun-dusun manapun di wilayah Desa Masafer Yatta sebagai hukuman kolektif dari rezim pendudukan zionis.
Baca juga: Commander Arian dan Kemerdekaan Perempuan
Di Bawah Zona Militer Israel
Film dokumenter adalah film kuat secara cerita dan membuka mata publik dengan begitu gamblang karena digarap hampir apa adanya. Begitu gagasan yang disepakati selebriti muda Selena Gomez dan aktor kawakan Samuel L. Jackson jelang membacakan nominasi dan pemenang kategori film dokumenter panjang terbaik di panggung penghargaan Academy Award ke-97 di Dolby Theatre, Hollywood, Amerika Serikat, Minggu (2/2/2025) malam.
Usai menampilkan beberapa cuplikan nominasinya, Selena menyerahkan amplop yang tertutup rapat pada Jackson. Sang aktor gaek membacanya dengan seksama: “Dan Piala Oscar jatuh kepada...(film) No Other Land.”
Dari sebuah sudut aula, Adra dan Abraham pun bangkit dari tempat duduk dengan wajah semringah. Namun tak banyak dari para undangan yang –umumnya aktor atau sineas yang selama ini berada di barisan Israel, bahkan beberapa di antaranya sempat berseragam IOF– bersedia memberi aplaus sebagai bentuk penghargaan. Sisanya bertepuk tangan setengah hati.
“Dua bulan lalu saya resmi menjadi ayah dan saya berharap putri saya tidak akan hidup dengan kondisi yang sama seperti saya sekarang. Kami menyerukan kepada dunia untuk mengambil tindakan serius demi menghentikan penindasan dan pembersihan etnis penduduk Palestina,” ujar Adra dikutip Al Jazeera, Senin (3/2/2025).
Baca juga: Empat Selebriti Hollywood yang Berseragam Pasukan Israel
Sedianya premier film No Other Land sudah tayang pada 16 Februari 2024 di Festival Berlinale ke-74. Sejak saat itu film yang sensitif bagi pembela zionis Israel sekadar itu bisa berkeliling di sejumlah festival film lain di luar Amerika Serikat. Tidak ada satu pun pihak bioskop di Amerika Serikat yang sedulur selawase berkenan memutar No Other Land.
Namun 33 penghargaan dari 35 festival sudah cukup menjadi gambaran betapa pentingnya No Other Land jadi “jendela” untuk menengok situasi sesungguhnya di tanah Palestina yang diduduki Israel. Salah satunya yang berbuah Piala Oscar sudah cukup berbicara bahwa film ini beruntung lolos dari “lubang jarum” dan diterima di beberapa festival meski kemudian hanya bisa ditonton di beberapa layanan daring seperti Apple TV, Prime Video, DocPlay, Sky Store, Google Play, Microsoft Store, dan Rakuten.
Film-film bertema Palestina lain sulit menembus panggung internasional. Salah satunya film dokumenter pendek I’m Bisan from Gaza and I’m Still Alive (2023) karya jurnalis Palestina Bisan Owda. Kendati memenangkan Peabody Award 2024 dan News and Documentary Emmy Awards 2024, ia hanya bisa disaksikan di kanal Youtube AJ+. Lalu, film dokumenter Gaza: How to Survive a War Zone garapan sutradara Jamie Roberts dan Yousef Hammash yang sudah sempat dirilis BBC pada 17 Februari 2025 tapi kemudian ditarik lagi dari peredarannya di layanan daring iPlayer.
Sinematografi No Other Land digarap apa adanya. Terkadang di-shooting oleh Rachel, terkadang pula yang dihadirkan adalah rekaman Adra atau Abraham sendiri. Terselip pula rekaman lawas 20 tahun lalu milik keluarga Adra dan para tetangganya yang memperlihatkan wilayah mereka yang masih diberkahi ketenteraman. Meski begitu, laman Rotten Tomatoes memberinya rating 100 persen dari semua 90 ulasan kritikus yang positif.
“Film ini begitu dekat dengan subyek-subyeknya dan para kesaksian mereka terkait kegigihan masyarakat Masafer Yatta. Butuh keberanian dan keyakinan untuk membangun kembali setiap tindakan perusakan, seperti yang dialami Farisa, seorang ibu yang dengan sabar merawat putranya yang lumpuh, Harun Abu Aram, akibat lehernya pernah ditembak tentara pendudukan Israel ketika mereka hendak menyita pembangkit listrik rumahnya,” tulis kritikus Lovia Gyarkye di kolom The Hollywood Reporter, 20 Februari 2024.
IOF bisa begitu semena-mena di Masafer Yatta lantaran sudah dalam pendudukan Israel sejak Perang Arab Israel Ketiga (5-10 Juni 1967). Desa itu dan sekitarnya dikategorikan sebagai Area C, di mana IOF sepenunya mengendalikan setiap kehidupan sipil dan militer.
“Lalu menurut sebuah dokumen rahasia tentang isi pembicaraan sebuah rapat dari tahun 1981, mantan Perdana Menteri (PM) Ariel Sharon menginstruksikan militer Israel membuat zona-zona latihan di Masafer Yatta, sebagai sebuah mekanisme untuk mengusir penduduk Palestina di sana,” tulis Jessica Buxbaum dan Katherine Wilkens dalam artikel “Neo-Kahanism: The Grong Influence of a Violent, Jewish Supremacist Ideology” di buku Suppressing Dissent: Shrinking Civic Space, Transnational Repression and Palestine-Israel.
Implementasinya kemudian adalah penetapan Masafer Yatta sebagai zona militer tertutup, “Firing Zone 918”. Ribuan penduduk Palestina di berbagai dusun di wilayah Desa Masafer Yatta pun sejak saat itu terancam pengusiran, penggusuran, hingga perampasan semua harta-bendanya mereka.
Anehnya, dusun-dusun warga Palestina yang digusur Israel kemudian dibangun permukiman-permukiman ilegal sipil Israel sehingga para penduduk Palestina yang masih bertahan terkepung militer sekaligus para pemukim ilegal Israel. Pengusiran dan penggusurannya tak selalu dengan tank dan senjata tapi juga seringkali dengan cara menghancurkan tangki-tangki persediaan air, pembangkit listrik, hingga penghancuran pertanian agar penduduk Palestina tak lagi bisa hidup layak.
“Secara sistematis penduduk Palestina dilarang mengakses tanah-tanah mereka dan akses sumber kebutuhan hidup. Zonanya membentang hingga 12 dusun dari 16 dusun yang ada di Desa Masafer Yatta yang ditingali 1.500 penduduk. Yang paling besar insidennya tercatat pada 1999 di mana Israel mengusir paksa lebih dari 700 penduduk Palestina yang dianggap tinggal di dalam ‘Firing Zone 918’, ini pengusiran paksa terbesar kedua setelah Peristiwa Nakba pada 1948,” ungkap Suha Jarrar dalam artikel “Adaptation under Occupation: Climate Change Vulnerability” di buku Prolonged Occupation and International Law: Israel and Palestine.
Penduduk Masafer Yatta bukan tak melawan. Namun perlawanan mereka bukan dengan senjata. Hanya dengan jalur hukum hingga ke Bagatz (Mahkamah Agung Israel) upaya perlawanan mereka, meski hukum zionis jarang berpihak pada mereka. Otoritas Israel seringkali membantah bahwa penduduk Palestina itu adalah penduduk asli di Masafer Yatta yang sudah tinggal turun-temurun selama puluhan tahun.
“Oleh karenanya di tangan para sineas ini, kamera menjadi senjata kebenaran dan perlawanan selain juga berfungsi sebagai alat bukti yang merekam bahwa desa mereka (penduduk Palestina) eksis. (Film) No Other Land berdiri sebagai dokumentasi vital bagi orang-orang yang terhimpit penindasan,” tukas kritikus Robert Daniels di kolom Roger Ebert, 21 Februari 2024.
Deskripsi Film:
Judul: No Other Land | Sutradara: Basel Adra, Yuval Abraham, Hamdan Ballal, Rachel Szor | Produser: Fabien Greenberg, Bård Kjøge Rønning | Produksi: Yabayay Media, Antipode Films | Genre: Dokumenter | Durasi: 95 Menit | Rilis: 16 Februari 2024.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar