Nestapa Sabaya
Potret gadis-gadis Yazidi yang dijadikan budak seks ISIS. Diselamatkan sekelompok sukarelawan kendati nyawa sebagai taruhan.
MAHMUD Resho berusaha tenang. Sambil mengawasi putranya yang bermain di halaman depan rumahnya di sebuah desa di timur laut Suriah pada suatu hari di tahun 2019, Mahmud terus-menerus berupaya mencari sinyal telepon selulernya. Karena tak jua berhasil mendapatkan sinyal, ia menyiapkan sepucuk pistol M1911 yang diambil dari lemari pakaiannya.
Bersama kawannya yang merupakan kepala LSM Mala Êzîdîyan (Yazidi Home Center), Shejk Ziyad, ia kemudian berkendara ke Kamp Al-Hol. Selain pistol di balik pakaiannya, Mahmud juga membawa sepucuk senapan otomatis AK-47 di mobilnya.
Kamp Al-Hol adalah pusat pengungsian 73 ribu sipil eks-Daesh yang paling kacau dan berbahaya. Dulunya Al-Hol dikuasai Daesh atau ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Pada 2015, kamp itu direbut Syrian Democratic Forces (SDF), pasukan militer Kurdi yang merupakan musuh ISIS, rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad, dan militer Turki sekaligus.
Kamp itulah yang jadi fokus dokumenter bertajuk Sabaya karya sineas merangkap kameramen dan editor Hogir Hirori.
“Sabaya” adalah sebutan untuk ribuan gadis Yazidi, sub-etnis Kurdi, yang dijadikan budak seks setelah diculik saat wilayah asal mereka di Sinjar, Irak Utara, diserang dan dikuasai Daesh. Lazimnya setelah para ayah dan saudara laki-laki mereka dibantai, para perempuan Yazidi itu diperbudak, dijual, dan dinikahkan paksa oleh pasukan Daesh. Mereka dipindah dari satu tempat ke tempat lain, seperti Mosul, Raqqa. Banyak dari mereka akhirnya disembunyikan oleh para pelaku human trafficking di Kamp Al-Hol.
Adegan beringsut ke saat Mahmud melapor ke pos keamanan Kamp Al-Hol yang dijaga pasukan SDF. Mahmud menyampaikan maksudnya yakni menjalankan misi menyusupkan seorang gadis Yazidi yang menyamar jadi Daesh. Gadis yang menyamar jadi informan itu dibekali telepon seluler untuk melaporkan perkembangan pencarian para sabaya.
Setelah mendapatkan info lebih banyak, beberapa hari kemudian Mahmud dan Ziyad membawa lebih banyak anggota bersenjata ke dalam kamp pada dini hari. Mereka men-sweeping sejumlah tenda pengungsi dengan dibantu Eylol, komandan pasukan perempuan SDF. Mereka tetap harus bersiaga. Meskipun kamp itu sudah dijaga dan dikuasai pasukan SDF, senjata masih mudah keluar-masuk kamp itu lewat sejumlah kelompok penyelundup senjata.
“Al-Hol adalah kamp paling kacau. Ia seperti bom waktu karena masih banyak sel-sel tidur Daesh. Militer mereka memang sudah kalah, tapi mentalitas (Daesh) mereka masih tinggi,” kata Mahmud.
Baca juga: The Whistleblower yang Membuka Borok PBB
Dalam pencarian dini hari itu, Mahmud dan kawan-kawannya menemukan satu korban bernama Leila. Perjalanan mereka membawa Leila keluar dari kamp pun diliputi teror. Mobil mereka dikuntit dan ditembaki mobil yang diduga kelompok Daesh atau penyelundup senjata. Beruntung, mereka bisa meloloskan diri dan membawa Leila keluar dari kamp.
Leila lalu ditampung di kediaman Mahmud. Ia dirawat secara fisik dan psikis oleh Siham, istri Mahmud, dan Zahra, ibunda Mahmud.
“Kami mencoba menyelamatkan mereka. Mengembalikan mereka ke asalnya, ke agamanya, dan ke budayanya,” kata Mahmud.
Baca juga: Harriet "Musa" Pembebas Budak
Leila hanyalah satu dari sekian banyak perempuan yang berhasil diselamatkan kelompok Mahmud. Perempuan korban penculikan itu tak melulu gadis dewasa, tapi ada juga ibu satu anak dan gadis tujuh tahun. Mereka semua ditampung sementara di rumah Mahmud setelah diselamatkan.
Tetapi seiring makin intensnya aktivitas mereka, bahaya makin mengancam. Ancaman itu datang dari kelompok human trafficking yang resah ataupun militan Daesh yang kabur dari kamp. Semua berpotensi menimbulkan invasi militer Turki terhadap Suriah Utara yang didiami pasukan SDF.
Bagaimana kelompok Mahmud terus melakoni aktivitasnya meski banyak ancaman yang membahayakan nyawa? Saksikan sendiri kelanjutannya di aplikasi daring Mola TV.
Menjaga Kerahasiaan
Satu setengah tahun lamanya Hogir Hirori mengikuti Mahmud dan keluarganya dalam beragam aktivitas yang diabadikan lewat kameranya. Keseriusan Hirori juga dibuktikan dengan penghadiran twist yang yahud. Setelah menampilkan keseharian Mahmud dan beberapa gambar wawancara, Hirori membawa penonton masuk ke suasana ramai dan mencekam di dalam kamp. Suasana itu dikontraskan lagi dengan adegan berikutnya berupa ketenangan suasana pedesaan dengan hamparan perkebunan yang menjadi keseharian Shadi, Siham, dan Zahra.
“Saya memang ingin menampilkan pemandangan yang sangat kontras antara kamp Al-Hol yang berbahaya dan kacau dengan atmosfer yang tenang dan aman dalam keseharian keluarga Mahmud, sekaligus memperlihatkan peran penting keluarga mereka terhadap para gadis Yazidi,” kata Hirori kepada Filmmaker Magazine, 30 Januari 2021.
Baca juga: Wind River, Potret Kehidupan Pribumi Amerika
Hirori tak banyak menyisipkan music scoring lantaran ingin membiarkan penonton merasakan suara-suara alami di timur laut Suriah, keriuhan suasana pasar di dalam kamp, hingga letusan-letusan senjata dalam baku tembak buronan Daesh dengan pasukan SDF. Hanya sedikit musik bernuansa sendu khas Timur Tengah yang dimasukkan Hirori ke dalam scene wawancara beberapa korban.
Satu dari 206 perempuan Yazidi yang berhasil diselamatkan LSM Mala Êzîdîyan adalah Leila. Masih ada lebih dari dua ribu lainnya yang nasibnya tak diketahui.. Sambil menenggelamkan wajah ke lutut dan berderai air mata, ia menceritakan pengalamannya hampir memutuskan bunuh diri karena mentalnya nyaris mencapai titik nadir. Ia diculik saat masih belia, dipaksa masuk Islam, dan dijadikan budak seks selama lima tahun sebelum akhirnya diselamatkan LSM Yazidi Home Center.
Seorang sabaya lain bahkan sampai melahirkan seorang anak. Nestapanya bertambah saat ia hendak dibawa ke perbatasan Suriah-Irak untuk dipulangkan bersama beberapa penyintas lain ke Sinjar. Perempuan itu harus menahan pedih karena tak bisa membawa putranya yang berusia satu tahun. Pasalnya, anaknya adalah hasil hubungannya dengan militan Daesh dan takkan diterima keluarga maupun masyarakat Yazidi di Sinjar.
Baca juga: Konflik Kashmir Tiada Akhir
Saat itulah sang sineas dituntut bisa mengendalikan emosinya. Tantangan lain Hirori yakni harus menyunting 90 jam durasi film menjadi 91 menit. Ia juga mesti memotong sejumlah adegan penting tentang ruang dan waktu demi kerahasiaan. Alasan kerahasiaan itulah yang membuat beberapa mantan “sabaya” yang disusupkan sebagai informan ke kamp mesti di-blur gambarnya. Alhasil transisi beberapa adegan dalam Sabaya kurang halus.
“Ada banyak gambar yang tak saya masukkan karena alasan pribadi dan terutama alasan keamanan. Menjadi penting gambar-gambar tentang lokasi tidak disajikan, agar militan Daesh tak bisa mengidentifikasi mereka dan menggunakan gambar saya untuk merencanakan serangan mereka,” tandas Hirori.
Genosida Kaum Yazidi
Sebagaimana diceritakan dalam Sabaya, etnis Yazidi jadi sasaran genosida Daesh sejak 2014. Ketika Daesh menginvasi kampung halaman mereka di Sinjar, sekitar lima ribu nyawa orang Yazidi melayang dan lebih dari dua ribu kaum perempuannya diculik. Mereka dipaksa meninggalkan keyakinan mereka dan dipaksa masuk Islam. Mereka kemudian diperbudak.
Bukan hanya Daesh atau ISIS pihak yang berupaya melakoni pembersihan etnis terhadap orang Yazidi. Jauh sebelum invasi Irak oleh Amerika Serikat pada 2003 dan serangan Daesh, kaum sub-etnis Kurdi itu dalam sejarah sudah berulang-kali jadi target genosida bangsa Turki sejak abad ke-17.
Baca juga: Konflik Muslim-Hindu India dari Masa ke Masa
Pada abad ke-10, kaum Yazidi menolak masuk Islam atau Kristen. Ketika mayoritas etnis Kurdi menganut Islam, orang-orang Yazidi tetap memegang teguh keyakinan monoteis Yazidisme atau Sharfadin. Menurut Profesor Sebastian Maisel, peneliti dunia Arab di Universitas Leipzig, dalam Yezidis in Syria: Identity Building among a Double Minority, Yazidisme adalah keyakinan yang percaya pada satu Tuhan yang dibantu tiga makhluk suci dalam menjaga kehidupan di dunia.
“Tuhan menjadi satu pencipta spiritual dan setelah menciptakan dunia serta umat manusia, Tuhan tersebut memanifestasikan kehidupan di dunia melalui tiga makhluk: Tawsi Melek, Sheikh Adi, dan Sultan Ezid. Yang terpenting dari ketiganya adalah Tawsi Melek atau malaikat Merak yang jadi pemimpin di antara ketiganya,” tulis Maisel.
Keteguhan sikap itu membuat kaum Yazidis acap jadi korban persekusi, bahkan pembantaian. Namun, keteguhan sikap bukan satu-satunya penyebab. Pada 1640, ketika wilayah Yazidi sudah masuk ke dalam kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah, mereka dibantai. Pembantaian itu sebagai respons atas ulah orang-orang Yazidi yang acap menyerang jalur perdagangan Baghdad-Mosul dan Aleppo-Diyarbakır-Mardin.
“Tetapi karavan-karavan (kafilah) di jalur itu sering dirampok suku Yazidi. Penjelajah Utsmaniyah, Evliya Çelebi, dalam ekspedisinya menyebut Yazidi kaum barbar pemuja anjing. Maka kemudian penguasa Diyarbakır melancarkan ekspedisi yang menghasilkan pembantaian dan perbudakan ribuan Yazidi,” tulis Günes Murat Tezcür dalam Kurds and Yezidis in the Middle East.
Sekitar 300 desa kaum Yazidi di Pegunungan Sinjar pun jadi sasaran amuk 40 ribu pasukan Utsmaniyah. Lebih dari tiga ribu orang Yazidi tewas. Ribuan lainnya diperbudak. Hanya sekitar dua ribu penyintas yang bisa melarikan diri ke gua-gua di pegunungan.
Sejak saat itu persekusi atau pembantaian terhadap Yazidi terus terjadi dari masa ke masa. Dalam In Search of Safety: Voices of Refugees, Susan Kuklin mencatat ada lima peristiwa pembantaian di abad ke-18 oleh Utsmaniyah, suku Kurdi, dan orang-orang Arab. Dua kali di abad ke-19 dan empat kali di abad ke-20.
Deskripsi Film:
Judul: Sabaya | Sutradara: Hogir Hirori | Produser: Hogir Hirori, Antonio Russio Merenda | Produksi: Dogwoof, Lolav Media, Ginestra Film, Swedish Film Institute, YLE | Distributor: Folkets Bio |Genre: Dokumenter | Durasi: 91 menit | Rilis: 30 Januari 2021, Mola TV
Tambahkan komentar
Belum ada komentar