Nestapa Yahudi Afrika demi Tanah yang Dijanjikan
“The Red Sea Diving Resort” bukan sembarang hotel. Ia saksi bisu eksodus para pengungsi Yahudi Ethiopia dari ancaman genosida
SUATU hari di utara Ethiopia akhir 1979. Kabede Bimro (diperankan Michael K. Williams) berkejaran dengan waktu menyelamatkan puluhan saudara seagamanya, Yahudi, dari sebuah desa. Teriknya matahari di siang itu terasa lebih “menusuk” baginya gara-gara ancaman genosida dari sekelompok pemberontak bersenjata.
Konflik pemberontak melawan pemerintah tengah berkecamuk kala itu. Puluhan ribu nyawa melayang. Sungai-sungai yang memerah karena tercampur darah jadi pemandangan baru di negeri itu.
Beruntung, Kabede punya kenalan agen intelijen Israel Mossad, Ari Levinson (Chris Evans) dan Sammy Navon (Alessandro Nivola). Mereka nyaris jadi santapan para pemberontak jika Ari tak cerdik meloloskan diri hingga bisa sampai ke Kamp Pengungsi Gedaref di selatan Sudan, dekat perbatasan dengan Ethiopia.
Adegan yang langsung memompa adrenalin itu membuka film The Red Sea Diving Resort garapan sineas Gideon Raff. Film ini menggambarkan misi klandestin agen-agen Mossad dibantu CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) menyelamatkan para pengungsi Yahudi Ethiopia dari negerinya.
Di awal film, Raff menyelipkan narasi tertulis tentang para Yahudi Afrika yang menanti hingga 2.700 tahun untuk menebus impian menuju “Tanah yang Dijanjikan”, Yerusalem. Juga bagaimana Mossad melancarkan serangkaian operasi klandestin demi membawa para saudara mereka “pulang” ke Yerusalem.
Adegan lantas berpindah ke markas Mossad di Ben Gurion. Ari mempresentasikan rencananya yang diyakininya lebih manjur untuk menyelamatkan para saudara mereka meski rencana itu tak disukai dua atasannya, Ethan Levin (Ben Kingsley) dan Barack Isaacs (Mark Ivanir). Presentasinya justru menarik minat seorang pejabat teras Mossad, Jenderal Weiss (Danny Keogh), yang akhirnya memberi lampu hijau.
Di atas kertas, rencananya simple: Mossad mendanai penyewaan Red Sea Diving Resort, sebuah resort terbengkalai di tepi Laut Merah, dari pemerintah Sudan. Operasional hotel lalu dijalankan para agen Mossad sebagai penyamaran untuk penyelamatan ribuan pengungsi Yahudi Ethiopia. Dalam operasi itu, Mossad bekerjasama dengan pasukan elit Angkatan Laut Israel, yang menyediakan kapal komando untuk untuk mengangkut pengungsi. Kapal komando itu disamarkan sebagai kapal minyak.
Selepas mendapat izin, Ari membentuk timnya. Semua merupakan agen Mossad yang sudah lama dikenalnya: Sammy, Rachel Reiter (Haley Bennett), Jake Wolf (Michiel Huisman), dan Max Rose (Alex Hissell).
Hingga misi penyelamatan ke-17, mereka tanpa cela berhasil membawa puluhan hingga ratusan pengungsi Yahudi Ethiopia di malam buta sebelum “dioper” ke personel AL Israel.
Misi klandestin itu akhirnya tercium komandan intel Sudan, Mukhabarat, Kolonel Abdel Ahmed (Chris Chalk). Sempat sekali Ari dkk. lolos dari tuduhan sang kolonel bengis itu, akhirnya di suatu malam misi mereka tercium si kolonel yang baru saja menghabisi 30 pengungsi Yahudi di Kamp Gedaref.
Bagaimana kelanjutan misi oleh para agen Mossad itu? Sejauh mana peran CIA lewat agennya yang menyamar jadi atase kebudayaan, Walton Bowen (Greg Kinnear)? Aih, jauh lebih baik saksikan sendiri film yang rilis di AS sejak 31 Juli 2019 itu. Yang pasti, sinematografinya menarik meski music scoring dari komposer Mychael Danna-nya minimalis.
Pun begitu, sepertinya film ini takkan hadir di bioskop-bioskop Indonesia. Terlebih setelah Netflix membeli hak tayang global untuk diputar layanan streaming-nya.
Kisah Nyata yang Disamarkan
Kendati akting para pemain pendukung dan Chris Evans –dengan daya tariknya sebagai eks jagoan super Captain America di Avengers: Endgame– cukup apik, film ini menuai kritik yang tidak sedikit. Kritikus Peter Debruge dari dalam ulasannya di Variety menulis, filmnya terlalu menggambarkan para pemeran kulit putih sebagai juru selamat utama.
Padahal, dalam sejarahnya misi-misi penyelamatan itu banyak melibatkan aktivis Yahudi Afrika. Karakter para penyelamat itu disimplifikasi ke dalam satu tokoh Kabedde yang diperankan Michael K. Williams. “Filmnya memarjinalkan keberanian para pengungsi Ethiopia itu sendiri,” sebutnya.
Baca juga: Simbol Yahudi Tertua Ditemukan
Raff selaku sutradara cum penulis skenario sama sekali tak menggambarkan bagaimana para aktivis Aliyah dan Beta Israel, komunitas yang mewadahi para Yahudi Ethiopia, turut menyabung nyawa dalam menyeberangkan para pengungsi dari Ethiopia ke Sudan, sebagaimana fakta sejarahnya dalam beragam operasi Mossad.
Kendati disebutkan The Red Sea Diving Resort tak berdasarkan buku Mossad Exodus: The Daring Undercover Rescue of the Lost Jewish Tribe karya jurnalis militer senior Israel Gad Shimron, banyak karakter dan jalan cerita film diambil dari buku itu. Buku itu merupakan buku pertama yang membongkar operasi-operasi dengan durasi terlama Mossad di Sudan.
“Penyamaran” Raff dilakukan dengan menyamarkan nyaris 100 persen nama karakter, bahkan nama hotel dalam film. Semua nama agen yang dikisahkan Raff bukan identitas asli. Keputusan itu agaknya sengaja diambil Raff untuk melepaskan diri dari bayang-bayang Shimron.
Shimron sendiri dalam pengisahannya menyamarkan beberapa karakter, di antaranya Farede Yazazao Aklum, yang jadi inspirasi karakter Kabede; dan Yola Reitman, yang menginspirasi karakter Rachel Reiter, agen cantik yang menyamar jadi manajer hotel.
Yang menarik, dari Aklum-lah pemerintah Israel membuka mata terhadap nestapa para Yahudi di Ethiopia. Aklum, dalam buku Shimron, melarikan diri dari kampung halamannya di Tigray, Ethiopia, sejauh 300 mil ke Khartoum, Sudan dan menulis surat permintaan pertolongan kepada Perdana Menteri (PM) Israel Menachem Begin. Upaya Aklum berhasil, Begin lantas menugaskan Mossad menyelamatkan mereka dengan bantuan Beta Israel.
“Mulanya pemerintah Israel dikontak oleh para aktivis Beta Israel, meminta apakah mereka (Israel) bisa membantu. Jadi memang mulanya ada permintaan tolong (dari Aklum via Beta Israel),” ungkap Jon Abbink, peneliti politik Afrika dari Universitas Leiden, dikutip Time, 9 Agustus 2019.
Hotel yang jadi saksi bisu operasi penyelamatan itu juga disamarkan dengan nama yang jadi judul film buku, The Red Sea Diving Resort. Aslinya, mengutip Shimron, hotel itu bernama Arous Holiday Village. Uniknya, brosur hotel ini tersebar luas di antara sejumlah agen wisata di Eropa, hingga turis-turis Eropa berdatangan ke Sudan meski negeri itu dilanda perang saudara.
Hikmahnya, Mossad leluasa melakukan penyamaran yang mendekati sempurna dengan mengoperasikan hotel palsu itu menjadi hotel sungguhan. Brosur-brosur yang tersebar menggambarkan betapa indahnya pemandangan dan pengalaman wisata yang ditawarkan Arous Holiday Village. Hanya saja sebelum buku Shimron terbit pada 1998, publik tiada yang mengetahui bahwa para turis itu dilayani para agen Mossad.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar