top of page

Sejarah Indonesia

Nestapa Yahudi Afrika Demi Tanah Yang Dijanjikan

Nestapa Yahudi Afrika demi Tanah yang Dijanjikan

“The Red Sea Diving Resort” bukan sembarang hotel. Ia saksi bisu eksodus para pengungsi Yahudi Ethiopia dari ancaman genosida

22 September 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Judul: The Red Sea Diving Resort (Operation Brothers) | Sutradara: Gideon Raff | Produser: Aaron L. Gilbert, Alexandra Milchan, Gideon Raff | Pemain: Chris Evans, Michael K. Williams, Haley Bennett, Ben Kingsley, Greg Kinnear, Michiel Huisman, Alessandro Nivola, Mark Ivanir, Alex Hassell, Chris Chalk | Produksi: Bron Studios, EMJAG Productions | Distributor: Netflix | Genre: Spy Thriller | Durasi: 130 Menit | Rilis: 31 Juli 2019

SUATU hari di utara Ethiopia akhir 1979. Kabede Bimro (diperankan Michael K. Williams) berkejaran dengan waktu menyelamatkan puluhan saudara seagamanya, Yahudi, dari sebuah desa. Teriknya matahari di siang itu terasa lebih “menusuk” baginya gara-gara ancaman genosida dari sekelompok pemberontak bersenjata.


Konflik pemberontak melawan pemerintah tengah berkecamuk kala itu. Puluhan ribu nyawa melayang. Sungai-sungai yang memerah karena tercampur darah jadi pemandangan baru di negeri itu.


Beruntung, Kabede punya kenalan agen intelijen IsraelMossad, Ari Levinson (Chris Evans) dan Sammy Navon (Alessandro Nivola). Mereka nyaris jadi santapan para pemberontak jika Ari tak cerdik meloloskan dirihingga bisa sampai ke Kamp Pengungsi Gedaref di selatan Sudan, dekat perbatasan dengan Ethiopia.


Adegan yang langsung memompa adrenalin itu membuka filmThe Red Sea Diving Resort garapan sineas Gideon Raff. Film ini menggambarkan misi klandestin agen-agen Mossad dibantu CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) menyelamatkan para pengungsi Yahudi Ethiopia dari negerinya.


Adegan Ari Levinson (diperankan Chris Evans) usai meloloskan para pengungsi Yahudi dari genosida menuju kamp pengungsian di perbatasan Ethiopia/Sudan (Foto: bronstudios.com)
Adegan Ari Levinson (diperankan Chris Evans) usai meloloskan para pengungsi Yahudi dari genosida menuju kamp pengungsian di perbatasan Ethiopia/Sudan (Foto: bronstudios.com)

Di awal film, Raff menyelipkan narasi tertulis tentang para Yahudi Afrika yang menanti hingga 2.700 tahun untuk menebus impian menuju “Tanah yang Dijanjikan”, Yerusalem. Juga bagaimana Mossad melancarkan serangkaian operasi klandestin demi membawa para saudara mereka “pulang” ke Yerusalem.


Adegan lantas berpindah ke markas Mossad di Ben Gurion. Ari mempresentasikan rencananya yang diyakininya lebih manjur untuk menyelamatkan para saudara mereka meski rencana itu tak disukai dua atasannya, Ethan Levin (Ben Kingsley) dan Barack Isaacs (Mark Ivanir).Presentasinya justru menarik minat seorang pejabat teras Mossad, Jenderal Weiss (Danny Keogh), yang akhirnya memberi lampu hijau.


Di atas kertas, rencananya simple: Mossad mendanai penyewaan Red Sea Diving Resort,sebuah resort terbengkalai di tepi Laut Merah, dari pemerintah Sudan. Operasional hotel lalu dijalankan para agen Mossad sebagai penyamaran untuk penyelamatan ribuan pengungsi Yahudi Ethiopia. Dalam operasi itu, Mossad bekerjasama dengan pasukan elit Angkatan Laut Israel, yang menyediakan kapal komando untuk untuk mengangkut pengungsi. Kapal komando itu disamarkan sebagai kapal minyak.


Selepas mendapat izin, Ari membentuk timnya. Semua merupakanagen Mossad yang sudah lama dikenalnya: Sammy, Rachel Reiter (Haley Bennett), Jake Wolf (Michiel Huisman), dan Max Rose (Alex Hissell).


Hingga misi penyelamatan ke-17, mereka tanpa cela berhasil membawa puluhan hingga ratusan pengungsi Yahudi Ethiopia di malam buta sebelum “dioper” ke personel AL Israel.


Tim Mossad yang mengelola hotel samaran Red Sea Diving Resort (Foto: IMDb)
Tim Mossad yang mengelola hotel samaran Red Sea Diving Resort (Foto: IMDb)

Misi klandestin itu akhirnya tercium komandan intel Sudan, Mukhabarat, Kolonel Abdel Ahmed (Chris Chalk). Sempat sekali Ari dkk. lolos dari tuduhan sang kolonel bengis itu, akhirnya di suatu malam misi mereka tercium si kolonel yang baru saja menghabisi 30 pengungsi Yahudi di Kamp Gedaref.


Bagaimana kelanjutan misi oleh para agen Mossad itu? Sejauh mana peran CIA lewat agennya yang menyamar jadi atase kebudayaan,Walton Bowen (Greg Kinnear)? Aih, jauh lebih baiksaksikan sendiri film yang rilis di AS sejak 31 Juli 2019 itu. Yang pasti, sinematografinya menarik meski music scoring dari komposer Mychael Danna-nya minimalis.


Pun begitu,sepertinya film ini takkan hadir di bioskop-bioskop Indonesia. Terlebih setelah Netflix membeli hak tayang global untuk diputar layanan streaming-nya.


Kisah Nyata yang Disamarkan


Kendati akting para pemain pendukung dan Chris Evans –dengan daya tariknya sebagai eks jagoan super Captain America di Avengers: Endgame– cukup apik, film ini menuai kritik yang tidak sedikit. Kritikus Peter Debruge dari dalam ulasannya di Variety menulis, filmnya terlalu menggambarkan para pemeran kulit putih sebagai juru selamat utama.


Padahal,dalam sejarahnyamisi-misi penyelamatan itu banyak melibatkan aktivis Yahudi Afrika. Karakter para penyelamat itu disimplifikasi ke dalam satu tokoh Kabedde yang diperankan Michael K. Williams. “Filmnya memarjinalkan keberanian para pengungsi Ethiopia itu sendiri,” sebutnya.


Raff selaku sutradara cum penulis skenariosama sekali tak menggambarkan bagaimana para aktivis Aliyah dan Beta Israel, komunitas yang mewadahi para Yahudi Ethiopia, turut menyabung nyawa dalam menyeberangkan para pengungsi dari Ethiopia ke Sudan, sebagaimana fakta sejarahnya dalam beragam operasi Mossad.


Kendati disebutkan The Red Sea Diving Resort tak berdasarkan buku Mossad Exodus: The Daring Undercover Rescue of the Lost Jewish Tribe karya jurnalis militer senior IsraelGad Shimron, banyak karakter dan jalan cerita film diambil dari buku itu. Buku itu merupakan buku pertama yang membongkar operasi-operasi dengan durasi terlama Mossad di Sudan.


Kabede Bimro yang diperankan Michael K. Williams (kiri) dan sosok asli aktivis Yahudi Farede Yazazao Aklum (Foto: BRON Studios/Repro "The Road to Jerusalem")
Kabede Bimro yang diperankan Michael K. Williams (kiri) dan sosok asli aktivis Yahudi Farede Yazazao Aklum (Foto: BRON Studios/Repro "The Road to Jerusalem")

“Penyamaran” Raff dilakukan dengan menyamarkan nyaris 100 persen nama karakter, bahkan nama hotel dalam film. Semua nama agen yang dikisahkan Raff bukan identitas asli. Keputusan itu agaknya sengaja diambil Raff untuk melepaskan diri dari bayang-bayang Shimron.


Shimron sendiri dalam pengisahannya menyamarkan beberapa karakter, di antaranya Farede Yazazao Aklum, yang jadi inspirasi karakter Kabede; dan Yola Reitman, yang menginspirasi karakter Rachel Reiter, agen cantik yang menyamar jadi manajer hotel.


Yang menarik, dari Aklum-lah pemerintah Israel membuka mata terhadap nestapa para Yahudi di Ethiopia. Aklum, dalam buku Shimron, melarikan diri dari kampung halamannya di Tigray, Ethiopia, sejauh 300 mil ke Khartoum, Sudan dan menulis surat permintaan pertolongan kepada Perdana Menteri (PM) Israel Menachem Begin. Upaya Aklum berhasil, Begin lantas menugaskan Mossad menyelamatkan mereka dengan bantuan Beta Israel.


“Mulanya pemerintah Israel dikontak oleh para aktivis Beta Israel, meminta apakah mereka (Israel) bisa membantu. Jadi memang mulanya ada permintaan tolong (dari Aklum via Beta Israel),” ungkap Jon Abbink, peneliti politik Afrika dari Universitas Leiden, dikutip Time, 9 Agustus 2019.


Brosur Arous Holiday Village yang tersebar di agen-agen wisata Eropa
Brosur Arous Holiday Village yang tersebar di agen-agen wisata Eropa

Hotel yang jadi saksi bisu operasi penyelamatan itu juga disamarkan dengan nama yang jadi judul film buku,The Red Sea Diving Resort. Aslinya, mengutip Shimron, hotel itu bernama Arous Holiday Village. Uniknya, brosur hotel ini tersebar luas di antara sejumlah agen wisata di Eropa, hingga turis-turis Eropa berdatangan ke Sudan meski negeri itu dilanda perang saudara.


Hikmahnya, Mossad leluasa melakukan penyamaran yang mendekati sempurna dengan mengoperasikan hotel palsu itu menjadi hotel sungguhan. Brosur-brosur yang tersebar menggambarkan betapa indahnya pemandangan dan pengalaman wisata yang ditawarkan Arous Holiday Village. Hanya saja sebelum buku Shimron terbit pada 1998, publik tiada yang mengetahui bahwa para turis itu dilayani para agen Mossad.





Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Sukses sebagai penyanyi di Belanda, Anneke Gronloh tak melupakan Indonesia sebagai tempatnya dilahirkan.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
bottom of page