Wind River, Potret Kehidupan Pribumi Amerika
Kaum pribumi Indian senantiasa bertahan hidup dalam ketertinggalan dan keterbelakangan. “Wind River” mengangkat isu itu demi menumbuhkan kepedulian.
SUATU pagi di kawasan penampungan suku Indian Arapaho, Wind River Reservation, Wyoming. Cory Lambert (diperankan Jeremy Renner), pemburu FWS (Dinas Cagar Budaya Federal) mendapat laporan dari mantan mertuanya, Don Crowheart (Apesanahkwat), bahwa sapi-sapi ternaknya diserang singa gunung.
Cory lalu melacaknya. Tetapi, Cory justru menemukan jasad gadis berusia 18 tahun. Natalie Hanson (Kelsey Chow) nama korban tersebut. Cory mengenalinya sebagai sahabat mendiang putrinya. Natalie ditemukan Cory tergeletak tak bernyawa dengan sejumlah luka dan bertelanjang kaki. Cory segera melaporkannya kepala polisi suku setempat, Ben Shoyo (Graham Greene). Tapi karena minimnya personel, Shoyo mengontak FBI (biro investigasi federal) untuk mengungkap kasus itu.
Namun, FBI hanya mengirim Jane Banner (Elizabeth Olsen) dari cabang Las Vegas ke kawasan terpencil itu. Mengingat hanya dirinya seorang, Jane minta bantuan Cory yang lebih paham wilayah keras tersebut.
Baca juga: Just Mercy, Tiada Kata Terlambat untuk Keadilan
Ditambah penggambaran suasana pegunungan dan salju yang membentang kawasan Wind River Reservation, adegan-adegan itu jadi pembuka film bertajuk Wind River garapan Taylor Sheridan. Film ini diracik berdasarkan rangkuman kejadian di wilayah buangan untuk Indian Arapaho sejak abad ke-19 itu dan jarang diperhatikan pemerintah Amerika Serikat.
Scene bergulir ke adegan dilematis yang dihadapi Jane. Hasil otopsi dr. Randy Whitehurst (Eric Lange) menyatakan Natalie meninggal karena pendarahan paru-paru (pulmonary hemorrhage) dan beberapa bekas luka dari tindakan kekerasan seksual. Artinya, korban tewas karena kedinginan hingga paru-parunya terendam darahnya sendiri.
Baca juga: Percy Pantang Kibarkan Bendera Putih
Akibatnya, Jane tak bisa mengirim laporan ke kantor pusatnya sebagai kasus pembunuhan. Hal itu menyebabkan FBI tak bisa mengerahkan satu tim bantuan. Jane pun hanya bisa mengharapkan bantuan dari Cory dan Shoyo meski sangat mengharapkan tim bantuan FBI bisa didatangkan. Pasalnya, perkembangan investigasinya mengarahkan mereka pada para tersangka pelakunya ke sebuah situs pengeboran minyak. Masalahnya, situs pengeboran minyak itu dikawal sekelompok barisan keamanan eks militer dengan persenjataan lengkap.
Bagaimana Jane dan Cory bisa menguak kasus rudapaksa dan pembunuhan itu dengan ancaman para personel keamanan partikelir tersebut? Untuk lebih serunya Anda bisa saksikan sendiri di aplikasi daring Mola TV.
Realitas Kaum Indian Pribumi
Sutradara Taylor Sheridan senantiasa memberi gambaran kehidupan keras kaum Indian di perkampungan terpencil di pegunungan bersalju itu dalam setiap adegan film racikannya. Iringan music scoring bertema tragedi dan teror garapan komposer Nick Cave dan Warren Ellis cukup bisa memicu rasa pilu penonton menyaksikan keadaan memprihatinkan serta adegan-adegan menegangkan dalam investigasi kasusnya.
Kombinasi itu membuat Wind River sangat intim dengan kondisi kaum Indian di berbagai wilayah penempatan mereka. Mereka bertahan hidup dengan segala problema di lingkungan terisolir tak jauh dari orang-orang kulit putih dan Afro-Amerika di negara bagian yang sama dengan segala modernitasnya. Kaum Indian hanya bersahabat kondisi kemiskinan karena tingkat pengangguran generasi mudanya begitu tinggi dan berkelindan dengan tingkat kejahatan. Ya, kejahatan dan kondisi terbelakang kaum Indian jadi titik fokus Sheridan dalam Wind River.
Sheridan menekankan isu tentang kasus-kasus orang hilang, kejahatan seksual, dan pembunuhan terhadap perempuan pribumi di awal dan akhir filmnya dengan pernyataan: “Sementara statistik orang hilang tercatat untuk setiap demografik lain, tidak satu pun tercatat perempuan pribumi Amerika”.
“Filmnya memang berdasarkan ribuan cerita aktual. Isu kejahatan seksual terhadap perempuan di perkampungan sebenarnya sudah eksis sejak permulaan sistem penampungan itu sendiri. Tapi baru 15, 20 tahun belakangan kasusnya meledak dan tidak mendapat perhatian,” tutur Sheridan kepada National Public Radio, 5 Agustus 2017.
Baca juga: The Whistleblower yang Membuka Borok PBB
Akar masalahnya dideskripsikan Sheridan dengan penggambaran bahwa kebanyakan orangtua korban jarang melaporkan kasus orang hilang ke pihak berwenang. Hal itu antara lain disebabkan kultur yang membebaskan anak di atas usia 18 tahun untuk hidup di luar rumah, hingga minimnya jumlah personel kepolisian di perkampungan itu.
“Saya sendiri punya dua periset yang menghabiskan waktu tiga bulan untuk menemukan statistiknya, baik dengan mendatangi Kementerian Kehakiman atau organisasi yang terkait dengan catatan kriminal. Dan mereka kembali dengan mengatakan bahwa mereka tak menemukan satupun statistik. Tidak ada pihak yang pernah mencatat. Maka saya katakan, itulah statisik kita,” lanjutnya.
Pemerintah federal sekadar punya persentase atau perkiraan. Menurut Coalition Lusa Brunner, direktur eksekutif LSM Sacred Spirits First National, setidaknya satu dari tiga perempuan pribumi Indian mengalami kejahatan seksual dan 67 persen di antara pelakunya adalah non-pribumi.
“Yang terjadi dalam hukum federal Amerika dan kebijakannya adalah, mreka menciptakan wilayah yang terbebas dari hukuman ibarat taman bermain bagi pelaku rudapaksa dan pembunuh berantai dan anak-anak kami tak bisa dilindungi sama sekali,” ungkap Brunner, dikutip Sky News, 6 April 2015.
Meskipun perkampungan Indian sudah eksis di berbagai wilayah Amerika sejak 1800-an, tidak ada satupun hukum federal yang bisa menjerat pelaku kejahatan non-pribumi. Baru pada 7 Maret 2019 –atau setelah lebih dari seabad– pemerintahan Donald Trump merevisi Undang-Undang Kekerasan terhadap Perempuan tahun 1994. Dengan demikian, sistem hukum lokal di masing-masing perkampungan Indian bisa mengadili pelaku kejahatan non-pribumi.
Isu kedua yang diangkat Sheridan adalah realitas kehidupan pribumi Indian yang hidup terisolir dan terbelakang. Sheridan menggambarkannya dengan pemandangan mayoritas Indian Arapaho di perkampungan Wind River Reservation hidup di trailer-trailer lusuh. Bendera Amerika pun dikibarkan secara terbalik. Tiada lapangan pekerjaan layak selain beternak domba atau sapi. Lantaran bingung mesti ke mana menentukan masa depan, banyak generasi mudanya terjerumus kehidupan negatif dengan menjadi pemadat.
“Perkampungan itu adalah tempat yang sangat sulit untuk ditinggali. Inilah realitasnya di mana hanya ada sedikit perubahan sejak perkampungan itu eksis. Perkampungan yang dibayangi pusat-pusat urban di negara bagian yang sama, di mana orang-orang yang tinggal di situ sama sekali tak pernah jadi perhatian. Dengan film ini saya ingin kita bercermin kembali dan berharap berdampak pada perubahan lebih jauh,” sambung Sheridan.
Wind River Reservation yang terletak di antara Fremont County dan Hot Springs County, Wyoming adalah perkampungan pribumi Indian terbesar ketujuh. Dengan luas 8.903 kilometer persegi, perkampungan itu menampung dua suku: Shoshone Timur dan Arapaho Utara.
Sebelum adanya penetapan perkampungan itu, wilayah tersebut dihuni suku Shoshone sejak 3.000 tahun ke belakang. Tetapi akibat serangkaian perang antarsuku pada 1700-an dan konflik dengan kaum kulit putih pada 1800-an, banyak suku lalu mengungsi. Seperti suku Crow, Cheyenne, Blackfeet, Lakota, dan Arapaho.
“Lebih dari seribu tahun lalu, Arapaho tinggal di timur Sungai Missouri. Sekitar tahun 1700, Arapaho terpaksa meninggalkan tanah leluhur mereka karena serangan suku-suku musuh dan menetap di Great Plains yang membentang dari selatan Kanada sampai utara Texas, di antara Sungai Mississippi dan Pegunungan Rocky,” tulis Michael Burgan dalam The Arapaho.
Pada 1800-an, lanjut Burgan, suku Arapaho terpecah menjadi Arapaho Utara yang tetap berhabitat di Great Plains dan Arapaho Selatan yang bermigrasi ke wilayah Kansas dan Colorado. Namun pada 1851, akibat konflik dengan para penambang emas kulit putih dan wabah cacar, suku Arapaho Utara berpindah lagi ke Fort Laramie, Wyoming di bawah naungan pemerintah federal.
Namun, suku Arapaho Utara pun masih sulit hidup damai. Perang Sioux pada 1876 memaksa Kepala suku Wo’óoseinee’ alias Black Coal bernegosiasi dengan Angkatan Darat Amerika agar sukunya tak terlibat perang. Black Coal dan 700 pengikutnya memilih berpihak pada militer Amerika dengan menjadi pengintai. Sebagai imbalannya, Arapaho Utara diizinkan mencari tempat tinggal lain. Pada 1877, Black Coal menuntut wilayah di pinggiran Sungai Sweetwater, di sisi selatan wilayah Shoshone Indian Reservation atau perkampungan Suku Shoshone di Lembah Wind River.
Tetapi area baru yang ditinggali suku Arapaho Utara itu masih berstatus penampungan sementara. Perjanjian mengenai status perkampungan tetap antara Black Coal dengan Jenderal Amerika George Crook tak jua terealiasi sampai sang jenderal mangkat pada 1890.
Seiring perjalanan waktu, saling klaim tanah di Lembah Wind River pun terjadi antara pemerintah Amerika, suku Arapaho Utara, dan Shoshone. Puncaknya, sengketa itu masuk ke meja hijau pada 1938. Dalam putusannya, Mahkamah Agung Amerika menetapkan area Lembah Wind River dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah hak milik suku setempat. Selain itu, ditetapkan juga Lembah Wind River menjadi kawasan tempat tinggal bersama suku Shoshone dan Arapaho Utara. Wilayah tersebut oleh Mahkamah Agung diberi nama Wind River Reservation untuk menggantikan Shoshone Indian Reservation.
Baca juga: Harriet "Musa" Pembebas Budak
Meski begitu, penetapan itu tak jua membawa kesejahteraan bagi suku Shoshone maupun Arapaho. Mereka hidup di garis kemiskinan dengan bergantung pada peternakan dan turisme domestik.
“Kebanyakan dari suku pribumi mengalami kesulitan ekonomi seiring transisi dari status yang independen ke status penampungan. Belum lagi dinamika terkait kerjasama politik antar dua suku yang secara historis bermusuhan, perampasan lahan, asimilasi paksa, penghancuran budaya, penggalian hasil bumi dari pihak kulit putih turut jadi faktor kemiskinan tersebut,” ungkap Thomas Biolsi dalam A Companion to the Anthropology of American Indians.
Selama bertahun-tahun problema ini nyaris tak mendapat perhatian pemerintah federal. Kemiskinan itu turut melonjakkan tingkat kriminalitas dari tahun ke tahun. Ironisnya, sistem hukum federal tak berpihak pada kaum pribumi, utamanya perempuan sebagaimana yang digambarkan dalam film Wind River. Media massa juga jarang mengangkat permasalah kaum pribumi lantaran lebih banyak tercurah pada isu-isu rasis Afro-Amerika sejak 1960-an.
“Saya sempat syok membaca naskah filmnya. Saya menemui sutradaranya dan bertanya benarkah kejadian-kejadian itu nyata? Karena saya tidak sepenuhnya paham bahwa isu seperti ini eksis di negeri yang sama dengan yang saya tinggali. Kaum pribumi itu adalah tetangga kita dan mereka juga banyak berdiam di negara-negara bagian yang pernah saya kunjungi,” tandas aktris Elizabeth Olsen yang memerankan agen FBI di film itu.
Deskripsi Film:
Judul: Wind River | Sutradara: Taylor Sheridan | Produser: Matthew George, Basil Iwanyk, Peter Berg, Wayne L. Rogers, Elizabeth A. Bell | Pemain: Jeremy Renner, Elizabeth Olsen, Graham Greene, Kelsey Chow, Apesanahkwat, Jon Bernthal, Julia Jones | Produksi: Acacia Entertainment, Savvy Media Holdings, Thunder Road Pictures, Voltage Pictures, Wild Bunch, Ingenious Media | Distributor: The Weinstein Company, STXinternational, Metropolitan Filmexport | Genre: Thriller-Kriminal | Durasi: 107 Menit | Rilis: 4 Agustus 2017, Mola TV
Tambahkan komentar
Belum ada komentar