Korea Utara di Antara Konflik Israel-Palestina
Senantiasa tegak lurus mendukung Palestina sejak Perang Yom Kippur, Korea Utara tak pernah mengakui kedaulatan Israel.
KOREA Utara (Korut) jadi salah satu negara yang paling lantang menentang serangan membabi-buta Israel ke Jalur Gaza sejak bulan lalu. Gerah dengan kelakuan negeri Zionis yang menewaskan ribuan warga sipil Palestina itu, pemimpin Korut Kim Jong-un dikabarkan berniat mengirim bantuan senjata untuk milisi Hamas.
Kabar itu diembuskan badan intelijen Korea Selatan (Korsel) NIS dan disuarakan anggota parlemen cum anggota Komite Intelijen di Majelis Nasional Korsel, Yoo Sang-bum. Pernyataan Yoo itu memperkuat tudingan Amerika Serikat dan Israel pada pertengahan Oktober silam bahwa beberapa senjata yang digunakan Hamas berasal dari Korut.
“Sepertinya Korea Utara mencoba mengambil keuntungan dari Perang Israel-Hamas dalam berbagai cara,” tutur Yoo, dikutip kantor berita Turki, Anadolu Ajansı, Rabu (1/11/2023).
Kabar itu langsung dibantah Duta Besar Korut untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kim Song. “Laporan itu rumor tak berdasar,” ujarnya singkat.
Baca juga: Gaza dalam Lintasan Sejarah
Meski begitu, Korut tak sejengkal pun mundur dari posisinya mendukung perjuangan Palestina untuk lepas dari penjajahan Israel. Bagi Pyongyang, serangan Israel terhadap penduduk sipil Palestina sama sekali tak bisa dibenarkan. Pyongyang jadi salah satu yang paling keras mengutuk serangan Israel –yang disokong Amerika– terhadap Rumahsakit Al-Arabi di Gaza bulan lalu.
“Pemboman rumahsakit di Gaza pada 17 Oktober adalah kejahatan perang yang didukung Amerika. Amerika memberikan Israel lampu hijau terhadap pembantaian warga Palestina tanpa pandang bulu. Ini menunjukkan Amerika terlibat dalam genosida yang dilakukan Israel,” ujar seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri Korut kepada kantor berita KCNA, dikutip Reuters, 26 Oktober 2023.
Terakhir, Korut juga jadi satu di antara 120 negara yang menyetujui resolusi Majelis Umum PBB pada 27 Oktober 2023, untuk mendesak gencatan senjata serta dibukanya akses bantuan kemanusiaan. Namun resolusi tersebut ditolak Israel bersama 14 negara lain, termasuk Amerika, Papua Nugini, serta negara-negara kecil di Pasifik seperti Fiji, Nauru, Kepulauan Marshall, dan Tonga.
Memunggungi Israel, Merangkul Palestina
Seperti halnya Indonesia, Korut tak pernah mengakui kedaulatan, apalagi memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Bagi Korut, Israel tak lebih dari sekadar negara satelit imperialis Amerika.
Di sisi lain, Korut sudah menjalin hubungan dengan Organisasi Pembebasan Palestina PLO sejak 1966. Hubungan pemimpin Korut Kim Il-sung dengan petinggi PLO Yasser Arafat sangat dekat sejak 1970-an.
“Suatu ketika Yasser Arafat menganugerahkan Kim Il-sung (medali) ‘Star of Palestine’ untuk dukungan yang ia berikan demi cita-cita Palestina. Pyongyang bukan semata penyuplai bantuan tapi juga pendukung ideologis (Palestina) yang sama-sama anti-imperialisme,” tulis Andrea Berger dalam Target Markets: North Korea’s Military Customers.
Baca juga: Enampuluh Tahun KAA Membahas Palestina
Sepanjang 1970-an sampai 1980-an, Korut aktif memberikan bantuan pelatihan militer untuk kelompok-kelompok PLO, PFLP (Front Pembebasan Palestina), dan DFLP (Front Demokratik untuk Pembebasan Palestina), dan milisi Hezbollah di Lebanon. Ketika pecah Perang Yom Kippur (6-25 Oktober 1973), Pyongyang bahkan ikut mengirim 19 personil non-kombatan dan 20 pilot –beberapa sumber menyebut 30 pilot– beserta jet-jet tempur MiG-21 “Fishbed” Angkatan Udara (AU) Korea Utara ke Mesir.
“Satu skadron MiG-21 Korea Utara membantu dalam misi-misi terbang dari Pangkalan Udara El-Minya. Mesir mendapat suplai pesawat, kru darat, dan bantuan dari 30 pilot Korea Utara yang punya spesialisasi dalam misi-misi patroli tempur,” tulis Walter J. Boyne dalam The Yom Kippur War: And the Airlift Strike that Saved Israel.
Semakin sengitnya perang membuat para pilot Korut tak hanya terlibat misi patroli tapi juga duel udara dengan pesawat-pesawat Israel. Shlomo Aloni dan Zvi Avidror dalam Israel’s Long-Range Heavy Bomber Arm: The Story of 69 Squadron mencatat, duel itu terjadi pada 6 Oktober 1973.
Kala itu, empat pesawat jet F-4 “Kurnass” Israel dari Skadron 69 dan Skadron 119 berangkat dari Pangkalan Udara Ramat David. Keempatnya berpatroli di ruang udara Teluk Suez pada ketinggian antara 20-25 ribu kaki. Masing-masing pesawat F-4 itu kemudian menyebar untuk menyisir wilayah yang lebih luas.
Tetiba dua dari empat pesawat Israel itu mendeteksi dua pesawat MiG-21 lawan. Keduanya langsung melakukan pengejaran namun salah satu dari MiG-21 itu menghilang, menjadikan pihak Israel unggul jumlah.
“Sendirian melawan dua (pesawat) Kurnass, pilot MiG itu tak bisa meloloskan diri dari kuncian bidikan misil: pertama pilot Shadmi dan Gur di satu Kurnass meluncurkan misil AIM9-D; kemudian satu lagi misil Sidewinder, disusul misil AIM-9 D lagi dari pilot Shpitzer dan Ofer dari Kurnass yang lain,” ungkap Aloni dan Avidror.
Semua misil yang dilepaskan meledak dekat pesawat MiG namun MiG masih bisa terus terbang. Karena bahan bakar mulai menipis, keempat Kurnass itu balik kanan sambil terus memantau MiG tadi dari kejauhan yang ternyata mengeluarkan asap putih.
MiG itu justru nahas kemudian, meledak ditembak misil SAM (Surface to Air Missile) Mesir dan friendy fire itu tak disadari Mesir. Baru di akhir perang, para pilot itu insyaf bahwa yang mereka lawan itu adalah MiG Korea Utara.
Pasca-Perang Yom Kippur, Korut tak pernah lagi terang-terangan memberikan bantuan militer. Pyongyang mulai beralih ke diplomasi dengan memberikan dukungan-dukungan moril di forum-forum internasional. Termasuk ikut mengakui berdirinya negara Palestina pada 1988, kendati Korut tetap mengakui kedaulatan Palestina atas semua wilayah yang saat ini dikuasai Israel.
Di lain pihak, bujukan untuk menjalin hubungan diplomatik antara Korut dan Israel pernah diupayakan Israel. Pasca-bubarnya Uni Soviet, Menteri Luar Negeri Israel Shimon Peres mengupayakannya dengan rencana kerjasama ekonomi dan keamanan.
“Pada 1993 Peres menawarkan 1 juta miliar dolar kepada Korea Utara dalam bentuk investasi asing dan bantuan teknis untuk operasi-operasi tambang emas dan sebagai gantinya (Korea Utara) menghentikan penjualan 150 misil balistik jarak menengah Nodong kepada Iran. Tetapi pembicaraannya disetop usai adanya tekanan dari Amerika Serikat gegara Korea Utara mundur dari Perjanjian Pembatasan Senjata Nuklir,” ungkap Victor D. Cha dalam The Impossible State: North Korea, Past and Future.
Sejak saat itu, tak pernah ada lagi penjajakan membuka hubungan diplomatik Israel-Korut. Hubungan keduanya justru makin sengit di forum internasional. Korut menyebut Israel sebagai boneka imperialis Amerika dan sebaliknya, Israel menyebut Kim Jong-un sebagai sosok tidak waras serta pemerintahan Korea Utara sebagai bagian dari “Poros Kejahatan”.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar