Achmad Subardjo di Tengah Konflik Israel-Yordania
Bagaimana Menteri Luar Negeri pertama RI itu menyaksikan secara langsung ketegangan antara Israel dengan negara-negara Arab pada 1950-an.
Setelah mengakhiri masa jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri dalam kabinet Sukiman (April 1951 - Februari 1952), Achmad Subardjo ditugaskan mengunjungi negara-negara di Timur Tengah oleh pemerintah Republik Indonesia (RI) untuk sebuah misi persahabatan. Pada waktu itu pemerintah RI ingin menyampaikan penghargaan sebesar-besarnya kepada negara-negara Timur Tengah atas dukungan moral yang mereka berikan kepada Indonesia selama masa Perang Kemerdekaan (1945-1949).
Subardjo memulai perjalanannya ke Timur Tengah pada September 1952. Dia didampingi seorang pegawai senior di Kementerian Luar Negeri, Utaryo Suryamihardja. Ketika itu negara pertama yang dikunjungi adalah Mesir. Sebagai salah satu negara yang paling pertama mengakui kedaulatan Indonesia, Mesir menjadi negara utama dalam misi persahabatan tersebut.
Dari Mesir, Achmad Subardjo melanjutkan kunjungannya ke Turki, Arab Saudi, dan Syria. Menurut rencana, negara selanjutnya yang akan dikunjungi perwakilan Indonesia tersebut adalah Yordania. Diceritakan Subardjo dalam otobiografinya, Kesadaran Nasional: Sebuah Otobiografi, tidak ada hal istimewa menyangkut hubungan antara negara itu dengan Indonesia yang mendorong kunjungannya ke sana, kecuali fakta bahwa keduanya sama-sama negara Islam.
“Kunjungan itu hanya bertitik tolak dari keinginan untuk mengetahui serta menyaksikan negara tersebut beserta penduduknya yang lebih banyak dikendalikan oleh Inggris daripada oleh mereka sendiri,” kata Subardjo.
Namun terlepas dari itu, bagi Subardjo, Yordania merupakan suatu faktor penting dalam politik Timur Tengah. Negara yang sebelum 1949 dikenal dengan nama Transyordania ini menjadi salah satu kekuatan utama negara-negara Arab saat konflik Palestina-Israel pecah. Peristiwa yang membangkitkan kemarahan orang-orang muslim di negara-negara Arab dan di seluruh dunia tersebut menjadi sebab munculnya konflik Yordania-Israel di tahun-tahun berikutnya.
Baca juga: Safari Ahmad Subardjo di Uni Soviet
Pada 1949, sebagai bagian dari Liga Arab, Yordania bergabung dalam Pasukan Liga Arab untuk bergerak ke Palestina. Mereka ikut bertempur melawan kekuatan Israel dan berhasil menduduki sebagian besar wilayah di sana. Sekitar bulan April, setelah melewati bulan-bulan penuh ketegangan, suatu gencatan senjata diadakan antara Yordania dengan Israel. Tetapi gencatan senjata itu tidak dilanjutkan dengan suatu perjanjian damai.
“Hubungan antara Yordania dan Israel tetap tegang dan tidak ada kemungkinan bahwa permusuhan bebuyutan itu akan berakhir,” tulis Subardjo. “Sebab itu banyak terjadi tekanan-tekanan di perbatasan dan ribuan orang Muslim Arab bangsa Palestina maupun orang-orang Arab beragama Kristen melarikan diri dari Israel, menjadi pengungsi di Yordania dan di semua negara-negara Arab.”
Ketika Subardjo tiba di Amman, ibukota Yordania, pada musim gugur 1952, suasana ketegangan masih terasa. Bagi orang-orang asing sangat sulit memasuki wilayah Amman. Krisis politik pada waktu itu membuat tidak sembarang orang bisa mengunjunginya. Beruntung Subardjo didampingi Jenderal Abdul Kadir, Duta Besar RI di Mesir, yang sangat fasih berbicara bahasa Arab, juga paspor diplomatik yang membuat mereka mudah melewati perbatasan.
Subardjo mengendarai mobil dari ibukota Syria, Damaskus, ke Amman. Menurutnya kondisi kota itu amat berbeda dengan Damaskus. Di dalam kota, jalan-jalan penuh debu dan kotor, seperti kurang mendapat perhatian. Bahkan tidak ada jalan-jalan yang luas seperti di Syria. Kondisi itu jelas tidak akan memikat minat para turis. Kecuali mereka yang memiliki maksud dan tujuan seperti apa yang Subardjo lakukan.
Peperangan dengan Israel kiranya memberi dampak yang tidak kecil. Masih ada sisa-sisa konflik yang terasa di sana. Subardjo juga merasakan adanya perasaan anti-Yahudi yang tertanam kuat di kota tersebut. Bahkan dia diberi tahu bahwa tidak ada seorang pun orang Yahudi hidup di Yordania. Semua itu merupakan bentuk kemarahan Yordania atas konflik yang terjadi di Palestina.
“Adalah bermanfaat untuk bertukar pikiran dengan rakyat dan membiarkan mereka berbicara tentang situasi di negeri mereka. Jenderal Abdul Kadir karena fasihnya berbahasa Arab telah banyak membantu saya dalam menambah pengetahuan faktual tentang latar belakang sejarah Yordania,” pungkas Subardjo.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar