Rivalitas Sadat-Qadafi Akibatkan Mesir-Libya Perang Empat Hari
Ambisi politik masing-masing pemimpin sebabkan Libya dan Mesir terlibat Perang Empat Hari.
Hari ini, 24 Juli, 44 tahun silam. Presiden Mesir Anwar Sadat mengeluarkan pengumuman tak diduga. Dia menyatakan gencatan senjata dalam Perang Empat Hari yang melibatkan Mesir dan tetangganya, Libya.
Perang Empat Hari Libya-Mesir merupakan akumulasi dari konflik politik kedua negara bertetangga itu yang terus meningkat setelah Perang Yom Kippur (Oktober 1973). Pemimpin Libya Moammar Qadafi merasa “dikhianati” Sadat lantaran tanpa pemberitahuan Sadat menggandeng Suriah melancarkan serangan terhadap Israel, musuh bersama bangsa Arab. Perang Yom Kippur menempatkan Qadafi, yang amat mengagumi Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser dan aktif menggalang persatuan Arab sejak kematian Nasser pada 1970, pada posisi yang tidak dianggap.
Akibatnya, Qadafi terus menyudutkan posisi politik Sadat. Ketidaksukaannya pada Sadat kemudian diwujudkan dengan menyokong gerakan-gerakan anti-pemerintah Sadat di Mesir.
Tindakan Qadafi membuat Sadat berang. Sadat menjawabnya juga dengan psywar mendukung gerakan-gerakan yang menentang pemerintahan Qadafi di Libya. Pada saat melihat peluang untuk menyerang Israel dan diwujudkan dengan Perang Yom Kippur, Sadat tak sedikit pun melibatkan Qadafi.
Ketegangan politik kedua negara mencapai puncak setelah Sadat mengupayakan perdamaian dengan Israel pada 1976. Bagi Qadafi, upaya tersebut dianggap pengkhianatan.
“Ketika Mesir di bawah Sadat terus perlahan-lahan, tapi pasti, merasakan jalannya menuju perdamaian dengan Israel, Libya Qaddafi menjadi salah satu kritikus paling vokal. Orang-orang Libya menuduh Sadat mengkhianati tujuan Arab, dan orang-orang Mesir mencap Qadhafi sebagai orang gila,” tulis Kenneth M. Pollack, mantan anggota CIA yang menjadi pakar militer dan Timur Tengah, dalam Arabs at War: Military Effectiveness, 1948-1991.
Qadafi mengirim tiga batalionnya ke perbatasan. Pasukan itu kemudian terlibat bentrok skala kecil dengan pasukan penjaga perbatasan Mesir.
Sadat mulanya enggan merespon karena selain secara teknis militernya tidak siap menginvasi Libya, Amerika Serikat juga menyarankan agar Mesir tak termakan provokasi guna menghindari keterlibatan Uni Soviet yang terang-terangan mendukung Libya. Namun setelah Wapres Hosni Mubarak berdiskusi dengan Dubes AS di Mesir, penempatan militer skala besar dilakukan Mesir. Dua divisi mekanis dari Terusan Suez dan Delta Sungai Nil kemudian ditempatkan ke Pangkalan Udara (Lanud) Marsa Matruh, pangkalan militer Mesir terdekat dari Libya. Selain itu, Staf Umum AB Mesir juga menambahkan 80 pesawat tempurnya, termasuk yang terbaru Mig-23 Flogger, ke lanud tersebut.
Upaya Mesir itu mengagetkan Libya yang pada Mei 1977 mengabaikan peringatan Uni Soviet bahwa Mesir kemungkinan akan menginvasi Libya. Pemerintah Libya langsung merespon tindakan Mesir dengan mengirim sekira 3000-5000 personel militernya plus 150 tank ke perbatasan. Namun alih-alih mempersiapkan betul-betul militernya, Libya tetap masih memfokuskan upayanya pada melatih milisi Mesir guna menggulingkan Sadat.
Bukan hanya para prajurit dan kalangan elite yang dibuat susah oleh ketegangan politik Libya-Mesir itu. Para suku-suku di perbatasan kedua negara justru paling merasakan betul akibatnya. Suku-suku di perbatasan itu secara turun-temurun saling berniaga. Setelah booming minyak Libya di Tobruk pada 1960-an, intensitas perdagangan lintas-batas kedua belah pihak meningkat pesat. Banyak penduduk Mesir bermigrasi ke Tobruk untuk mencari pekerjaan atau menjual hewan ternak mereka, yang di Mesir harganya diatur negara, dengan harga lebih baik. Sebaliknya, dari Tobruk mereka membawa pulang barang-barang mewah seperti elektronik, kosmetik, rempah-rempah, atau pakaian dan menjualnya di kota-kota Mesir. Aktivitas itu kemudian menimbulkan Pasar Libya di Mesir.
Sejak Qadafi berseteru dengan Sadat pada Oktober 1973, perniagaan itu mulai terhambat. Keamanan dan situasi politik menjadi pangkalnya.
“Sejak 1973, Gaddafi secara teratur mengusir pekerja migran Mesir (dari Lembah Nil) dari negaranya untuk menempatkan pemerintah Anwar Sadat di bawah tekanan,” tulis Thomas Husken dalam Tribal Politics in the Borderland of Egypt and Libya.
Kondisi mereka kian berat ketika masing-masing negara makin serius untuk berperang. Peningkatan konsentrasi militer kedua negara di perbatasan pada akhirnya membuat pertempuran sporadis acap terjadi antara tanggal 12 hingga 16 Juli 1977. Tiga hari kemudian, 19 Juli, pertempuran sengit terjadi selama empat jam di perbatasan kedua negara.
Pertempuran tanggal 19 itu membuat Mesir akhirnya mengambil sikap dari yang semula bertahan. Pada 21 Juli, pasukan Mesir yang telah mempersiapkan rencana operasi, menyergap pasukan setara batalion Libya yang menyerang kota Sallum, Mesir. Batalyon Tank ke-9 AD Libya pun pontang-panting untuk bisa mundur, sementara setengah dari kekuatannya telah dihancurkan pasukan Mesir. Sementara, beberapa pesawat tempur Mirage Libya yang membombardir pedesaan dekat perbatasan tidak mendapatkan banyak keuntungan. Sebaliknya, sebagaimana diklaim Mesir, dua pesawat Libya malah ditembak jatuh –Libya menolak klaim tersebut.
Usai menyergap pasukan Libya, pasukan Mesir melancarkan serangan balik. Serangan Mesir itu dilakukan oleh divisi mekanis dari darat dan pesawat-pesawat tempur Su-20 dan MiG-21 dari udara. Pesawat-pesawat Mesir menyasar Lanud Gamal Abdel Nasser –presiden pertama Mesir yang amat dikagumi Qadafi; kini lanud tersebut bernama Tobruk International Airport– di selatan Tobruk. Kendati gagal menghancurkan banyak fasilitas militer Libya, termasuk pesawat-pesawat yang terparkir di apron tanpa perlindungan, pesawat-pesawat tempur Mesir berhasil menghancurkan sejumlah radar Libya. Di darat, pertempuran tank terjadi di sepanjang jalan menuju kota Musa’ad. Sekira 60 tank Libya dilumpuhkan dalam serangan balik Mesir itu.
Namun, setelah merangsek sejauh 15 mil ke wilayah Libya dan memusnahkan banyak ranpur lawan, pasukan Mesir kembali mundur.
“Operasi itu tampaknya tidak lebih dari sekadar pengintaian untuk menentukan sejauh mana pertahanan Libya,” tulis Pollack.
Keesokan harinya hingga hari berikutnya (22-23 Juli) pertempuran sengit kembali terjadi. Saling jual tembakan artileri terjadi di perbatasan kedua negara. Di udara, AU Libya mengerahkan hingga 20 sorti serangan udara ke posisi-posisi divisi mekanis AD Mesir yang berpusat di Sallum. Kerusakan yang mereka timbulkan tak terlalu signifikan.
Pun sebaliknya dengan serangan yang dilancarkan tiga skadron AU Mesir. Kendati serangan ke Lanud Gamal Abdel Nasser kali ini jauh lebih besar dari sebelumnya, AU Mesir hanya menimbulkan kerusakan ringan terhadap radar, pesawat, dan instalasi radar Libya. Namun hari itu AU Mesir juga menyerang Lanud Kufrah serta instalasi-instalasi militer Libya di kota-kota perbatasan. Jet-jet tempur Mesir kemudian terbang rendah di pedesaan Libya guna mengintimidasi lawan sekaligus psywar bahwa mereka dapat bebas terbang tanpa gangguan di wilayah Libya.
Di darat, 12 batalyon komando Mesir tak hanya berhasil menyerang fasilitas-fasilitas militer Kufrah, Jaghbub, al Adam, dan Tobruk, tapi juga kamp-kamp pelatihan teroris yang –termasuk kelompok oposan Mesir penentang rezim Sadat– difasilitasi Qadafi. Pasukan komando itu kembali melancarkan serangan hebat esoknya ke Lanud Nasser bersama sejumlah pesawat tempur AU Mesir. Lewat serangan terbesar itu Mesir berhasil menghancurkan landas pacu lanud, lebih dari 10 pesawat Mirage Libya yang terparkir, beberapa radar dan situs-situs rudal permukaan ke udara (SAM). Beberapa kendaraan lapis baja Libya juga ludes dimangsa.
Selain menang besar di Lanud Nasser, Mesir juga merusak parah depot logistik Libya di Jaghbub and al Adam. Hanya saja, di Lanud Kufrah militer Mesir menghancurkan kerusakan tak signifikan.
Kendati telah merusak parah depot logistik Libya di Jaghbub, pasukan Mesir masih melanjutkan operasinya. Namun belum lagi operasi itu selesai, berita gencatan senjata yang dikeluarkan Presiden Sadat telah sampai. Alhasil, operasi pun dihentikan.
Kendati sepihak, gencatan senjata yang diumumkan Sadat mengakhiri perang yang memakan lebih dari 500 korban jiwa dari kedua belah pihak itu (termasuk beberapa warga negara Soviet dan negara-negara Sekutu Libya). Gencatan senjata juga mengakhiri penderitaan para suku di perbatasan.
“Perang Libya-Mesir tahun 1977 menyebabkan gangguan perdagangan dan kelancaran penyelundupan dan diikuti oleh kehadiran besar-besaran tentara Mesir di sisi perbatasan Mesir,” sambung Husken.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar