MUHAMMAD Ali tak pernah takut mempertaruhkan karier tinjunya. Meski sempat kena sanksi akibat menolak ikut wajib militer sebagai buntut protesnya terharap Perang Vietnam, juara dunia kelas berat itu tak segan mengamplifikasi empatinya terhadap Palestina.
Pada 28 April 1967, Ali menolak wajib militer Perang Vietnam (1955-1975). Akibatnya, ia terancam hukuman penjara 5 tahun, sanksi larangan bertinju selama 3 tahun serta dikenai denda 10 ribu dolar. Padahal saat itu Ali sedang berada di puncak kariernya dengan koleksi gelar kelas berat WBA, WBC, NYSAC, dan The Ring.
Pada akhirnya Ali tak dihukum penjara tapi sanksi larangan bertinjunya tetap dikenakan dan gelar-gelarnya pun dilucuti. Sanksinya baru dicabut pada 1970, menandai dirinya comeback ke atas ring.
Semasa “pengasingannya”, petinju yang punya nama lahir Cassius Marcellus Clay Jr. itu pun menjadi mualaf dan dibaiat sebagai anggota Nations of Islam (NOI) atas ajakan aktivis Malcolm X. Sebagaimana Malcolm X, Ali kemudian juga keluar dari NOI karena ajaran-ajarannya jauh dari ajaran-ajaran Islam sesungguhnya. Klimaksnya, Ali menunaikan haji pada medio 1972.
Baca juga: Sebelum Muhammad Ali Unjuk Gigi
Pengalaman mirip dengan Malcolm X juga dialami Ali pasca-berhaji. Ia merasakan kuatnya ukhuwah Islamiyah yang menumbuhkan empati terhadap sesama muslim, terutama orang-orang Palestina yang ditindas zionisme Israel.
“Ali menarik perhatian kalangan muslim dan negara-negara yang baru merdeka pada 1970-an dengan statusnya sebagai simbol anti-rasisme, anti-kolonialisme, dan pendukung pro-muslim internasional. Ia berhaji ke Makkah pada 1972 dan dua tahun kemudian bertemu Perdana Menteri Taqi al-Din al-Sulh (Takieddin el-Solh, red) di Beirut dan melawat ke kamp-kamp pengungsi Palestina di selatan Lebanon,” tulis Suzuko Morikawa dalam artikel “Global Influene of Muhammad Ali’s Pan-Ethnic Vision and Conviction: Afrika and Asia in the 1970’s” yang termaktub di buku Muhammad Ali in Africana Cultural Memory.
Ali bukan hanya pro-muslim Palestina, tapi sepenuhnya pro-Palestina. Setidaknya begitu yang dikenang Ray Hanania, seorang jurnalis dan komika Kristen Palestina berpaspor Amerika. Saat muda, Hanania sering melayani Ali ketika berbelanja di sebuah toserba di Chicago, Amerika Serikat.
Ali, kenang Hanania, datang hampir seminggu sekali dan selalu mengenalinya sebagai satu-satunya pegawai Arab berkulit gelap. Walau selalu ditemani salah satu bodyguard-nya yang juga orang Palestina, Ali selalu meminta Hanania membawakan belanjaannya ke bagasi mobil Lincoln Mark II-nya.
“Salah satu bodyguard Ali adalah orang Palestina asal Beitunia dari klan Hasan. Adiknya, Saluka Hasan adalah teman dari ibu penulis,” ungkap Hanania dalam Arabs of Chicagoland.
Hanania mengaku jarang bercakap-cakap dengan Ali. Ali hanya sekadar memberi tip 1 dolar ketika hendak keluar dari toserba itu.
“Setiap kali ia memberi tip 1 dolar, ia akan berkata ‘Salam Aleikum.’ Saya pun membalas, ‘Aleikum as-Salam.’ Bukan masalah jika saya bukan seorang muslim, saya anak Kristen Palestina dari Yerusaslem dan Bethlehem tapi Muhammad Ali sepertinya tetap peduli kepada semua orang Palestina, apapun agamanya,” imbuhnya.
Baca juga: Pencarian Islam Muhammad Ali
Meninju Zionisme
Dampak dari Peristiwa Nakba (medio 1948), seiring dengan orang-orang zionis mendirikan negara Israel, ratusan ribu penduduk Palestina terusir dari tanah tempat tinggal yang sudah mereka diami turun-temurun. Menurut Benny Morris dalam Israel’s Border Wars, 1949-1956: Arab Infiltration, Israel Retaliation, and the Countdown to Suez War, di hari pertama Peristiwa Nakba saja, 15 Mei 1948, sebanyak 250-300 ribu orang Arab Palestina harus terusir ke Jalur Gaza, Tepi Barat, Mesir, Suriah, Yordania, dan Lebanon.
Di Lebanon sendiri pada medio 1948 tercatat ada sekitar 110 ribu pengungsi. Mayoritas dari mereka terusir dari desa-desa di Al-Jalil (Galilee), Yafa (Jaffa), Heyfa (Haifa), dan Akka (Acre). Mulanya mereka diterima untuk hidup berbaur sementara dengan penduduk Lebanon. Baru pada 1958 Presiden Fouad Chehab mendirikan lebih banyak kamp pengungsian yang dijaga ketat aparat Lebanon.
Ke negeri itulah pada awal Maret 1974 Muhammad Ali berkunjung di sela kariernya bertinju pasca-comeback. Kunjungan tersebut jadi agenda tur Ali ke Timur Tengah tak lama setelah merebut gelar kelas berat NABF dari Joe Frazier pada pertarungan bertajuk “Super Fight II”, 28 Januari 1974.
“Muhammad Ali tiba di Beirut hari ini untuk kunjungan tiga hari. Nantinya ia juga akan melawat ke Abu Dhabi (Uni Emirat Arab) dan Qatar di Teluk Persia, serta Mesir dan Libya,” tulis suratkabar The New York Times edisi 3 Maret 1974.
Baca juga: Tinju Kiri Ali di Jakarta
Ali lantas diterima PM Lebanon Takieddin el-Solh. Ali diberikan pengawalan dalam agenda kunjungan ke kamp-kamp pengungsian Palestina di Lebanon Selatan.
Mengutip kantor berita Jewish Telegraphic Agency, 7 Maret 1974, Ali mengungkapkan bahwa ia sudah mulai berpikir untuk gantung sarung tinju demi menyebarkan nilai-nilai keislaman dan kemanusiaan. Dalam kesempatan konferensi pers di Beirut itu, ia juga melayangkan “tinjunya” terhadap zionisme dengan mengatakan, “Amerika Serikat adalah benteng pertahanan zionisme dan imperialisme.”
“Kepada para wartawan, Ali juga menyatakan, ‘atas nama pribadi dan atas nama segenap muslim di Amerika, saya mendeklarasikan dukungan terhadap perjuangan Palestina untuk membebaskan negeri mereka dan mengusir penjajah zionis.’ Setelahnya ia mengunjungi kamp-kamp pengungsi untuk bertemu orang-orang Palestina yang ia sebut, ‘orang-orang dengan semangat juang yang hebat,’” sambung Morikawa.
Baca juga: Kala Malcolm X Melawat ke Jalur Gaza
Pada akhir Juni 1985, Israel disatroni Ali yang datang untuk mengadvokasi pembebasan para tahanan Palestina. Saat itu sekitar 700 orang ditahan di Kamp Tahanan Atlit sebagai dampak invasi Israel ke Lebanon Selatan.
“Akan tetapi para pejabat Israel menolaknya. Menurut seorang juru bicara kementerian luar negeri, Israel tidak berniat bernegosiasi dengan sang juara tinju Muhammad Ali tapi akan menyambutnya dengan hangat sebagai tamu semata,” ungkap Jewish Telegraphic Agency, 28 Juni 1985.
Permintaan Ali memang akhirnya ditolak Israel. Tapi bukan berarti itu membuatnya berhenti untuk memperjuangkan hal yang ia anggap benar. Itu terbukti dari Ali yang ikut meramaikan aksi massa memprotes Israel di Chicago pada 29 Januari 1988. Aksi damai Pro-Palestina ini digelar ribuan orang yang berempati terhadap Intifada Pertama di Jalur Gaza (9 Desember 1987).
Baca juga: Epilog Tragis Pengusung Bendera Palestina di Olimpiade