“FIGHT of the Century”, begitu label sebuah duel akbar tinju kelas berat antara jawara kulit hitam Jack Johnson kontra petinju kulit putih James J. Jeffries di kota Reno, Nevada, Amerika Serikat pada 4 Juli 1910. Duelnya memang digelar dalam hype Hari Kemerdekaan Amerika ke-134. Nahas, laganya justru memicu kerusuhan rasial di belasan kota lintas negara bagian.
Selain lebih dari 20 ribu penonton yang memadati arena buatan di jantung kota Reno dan jutaan warga lain di seantero negeri Paman Sam yang menyimaknya via laporan live telegraf jadi saksi mata. Semua tak ingin ketinggalan untuk melihat dan mendengar pertarungan yang bukan sekadar duel biasa itu, mengingat pertarungan Johnson vs. Jeffries terjadi di masa segregasi dan diskriminasi rasial sedang tegang-tegangnya.
Banyak masyarakat kulit putih tak terima dengan naik daunnya Johnson. Terutama setelah Johnson meraih gelar juara dunia kelas berat usai menang atas petinju kulit putih asal Kanada, Tommy Burns, di Sydney, Australia pada 26 Desember 1908. Kemenangan Johnson itu segera jadi kabar besar, terlebih pertarungan itu turut difilmkan dalam dokumenter The Burns-Johnson Fight (1908) garapan Charles Cozens Spencer yang menjadikan Johnson selebriti di kaum kulit hitam dan kulit berwarna di berbagai negeri di dunia.
“Film pertarungan Burns-Johnson menggugah banyak orang di Asia sampai Pasifik Selatan. Terlepas dari perbedaan kultur, kemenangan Johnson jadi simbol perlawanan lokal. Johnson pun menjadi bintang film kulit hitam pertama dan filmnya secara luas mendiseminasi representasi akan dominasi kaum pria kulit hitam,” tulis Theresa Runstedtler dalam Jack Johnson, Rebel Sojourner: Boxing in the Shadow of the Global Color Line.
Baca juga: Tinju Srimulat yang Mengocok Perut
Bangkitnya petinju kulit hitam inilah yang coba ditantang Jeffries, petinju kulit putih mantan juara dunia kelas berat. Padahal ia sudah sejak 1904 ia gantung sarung tinju dan usianya sudah memasuki 35 tahun.
“Saya akan bertarung demi membuktikan bahwa orang kulit putih masih lebih baik dari (petinju) Negro,” kata Jeffries, dikutip Gail Bederman dalam Manliness and Civilization: A Cultural History of Gender and Race in the United States, 1880-1917.
Wacana itu lantas disambut duo promotor Tex Rickard dan John Gleason. Keduanya juga akan memegang hak atas film pertarungan yang akan direkam oleh sembilan kameraman. Tawaran Rickard dan Gleason lantas diterima Johnson dan Jeffries, bahwa kontraknya akan meliputi pendapatan hadiah uang dengan total 101 ribu dolar dengan rincian 75 persennya akan didapatkan sang pemenang sementara pihak yang kalah diganjar sisa 25 persennya.
“Jika si petinju kulit hitam menang, ribuan saudara-saudaranya yang bodoh akan me-mispersepsikan kemenangan itu sebagai pembenaran atas klaim bahwa mereka lebih baik secara fisik daripada tetangga-tetangga kulit putihnya,” kata editorial di The New York Times edisi 12 Mei 1910.
Baca juga: Mula Duel Selebriti di Arena Tinju
Sesuai kesepakatan kontrak, duel itu akan digelar di pusat kota Reno berbarengan dengan HUT Kemerdekaan Amerika, 4 Juli 1910. Arena ring dan tribu penontonnya yang dapat menampung 22 ribu penonton dibangun secara dadakan di atas lahan milik Patrick Flanigan yang disewa seorang anggota Reno Athletic Association, Arthur J. Aylesworth.
Asosiasi olahraga dan promotor itu juga mengatur HTM (harga tiket masuk) yang berkisar dari 25-50 dolar. Uang taruhan yang mengalir juga tak kalah besar. Jeffries diunggulkan 10-7 atas Johnson.
Di sisi lain, dikarenakan tingginya tensi antar-ras, pihak asosiasi dan promotor bersepakat untuk melarang siapapun membawa senjata api. Pun juga penjualan alkohol dan membawa apel yang dikhawatirkan bisa jadi benda untuk pelemparan, dilarang.
Baca juga: Sudut Ring Leon Spinks
Mengingat sudah enam tahun tak naik ring, Jeffries enggan tampil ke media massa seiring masa persiapannya. Ia baru mulai tampil ke muka media sehari jelang pertarungan.
“Niat saya adalah langsung menyerang lawan dan menjatuhkannya sesegera mungkin. Saya ingin memberikan hukuman berat untuk menyingkirkannya,” ujar Jeffries sesumbar, dikutip D. Krasner dalam A Beautiful Pageant: African American Theatre, Drama, and Performance in the Harlem Renaissance.
Sementara, Johnson yang lebih banyak disorot media, hanya berkata singkat. “Semoga petinju terbaik yang menang,” ujarnya.
Kerusuhan Mematikan Usai Pertarungan
Rickard sang promotor sendiri yang tampil di atas ring sebagai wasit dan memperkenalkan kedatangan Johnson dan Jeffries yang akan berduel. Begitu bel pertarungan berbunyi, menandai dimulainya ronde pertama, sorakan 20 ribu penonton yang memadati amphitheatre buatan itu langsung riuh.
Perbedaan usia Jeffries yang tiga tahun lebih tua dan sudah lama pensiun rupanya memberi perbedaan besar. Johnson sudah mendominasi pertarungan sejak ronde-ronde awal.
“Banyak yang meyakini Johnson bisa mengakhiri pertarungan di ronde-ronde permulaan namun tidak ia lakukan karena dari sisi bisnis, kemenangan secara cepat akan jadi bencana. Sampai ronde ke-13, Jeffries yang masih bertarung dengan mengunyah permen karet hanya bisa berupaya melakukan clinch untuk mencegah hook dan uppercut Johnson tapi tetap kesulitan karena pukulan-pukulan uppercut Johnson yang telak membuat satu matanya nyaris tertutup lebam,” tulis Randy Roberts dalam artikel “Year of the Comet: Jack Johnson versus Jim Jeffries, July 4 1910” yang termaktub dalam buku Sport and the Color Line: Black Athletes and Race Relations in Twentieth Century America.
Baca juga: Bang Jago Tak Terkalahkan itu Bernama Rocky Marciano
Di ronde ke-15, Jeffries tumbang dua kali. Pelatih Jeffries dari sudut ring segera melemparkan handuk untuk mengakhiri pertarungan dan Johnson dinyatakan menang TKO (technical knockout). Sesuai deal kontrak, Johnson tak hanya keluar ring mengklaim dominasi kaum kulit hitam namun juga membawa pulang hadiah uang 65 ribu dolar (setara 2,1 juta dolar, kurs 2023).
“Saya tahu apa artinya wajah (babak belur Jeffries) itu, kapal tua akhirnya tenggelam,” ujar Jeffries usai pertarungan, dikutip Henry Epps dalam Great Achievements by African-American People.
Akan tetapi kemenangan Johnson itu menyulut kerusuhan rasial. Sejumlah kekerasan fisik hingga pembunuhan terjadi kepada masyarakat kulit hitam yang merayakan kemenangan itu di 16 kota, di antaranya Atlanta (Georgia), kota metropolitan New York, dan ibukota Washington DC.
“Sampai sekarang tidak diketahui berapa orang pastinya yang jadi korban pembunuhan dan korban terluka selama dua hari kerusuhan (rasial) tapi diperkirakan antara 11-26 orang terbunuh dan ratusan lainnya terluka. Ada pula beberapa sumber yang juga menyebutkan korban tewasnya 19 orang terdiri dari 17 orang kulit hitam dan dua orang kulit putih,” ungkap Geoffrey C. Ward dalam Unforgivable Blackness: The Rise and Fall of Jack Johnson.
Baca juga: Persahabatan Petinju Jerman dan Afro Amerika
Sejumlah pemerintah kota dan negara bagian pun melarang pemutaran film pertarungan Johnson-Jeffries Prize Fight (1910) karena dikhawatirkan akan kembali menimbulkan kerusuhan susulan. Larangan tersebut didukung Kongres Amerika pada 1912 di seluruh negara bagian.
Masa-masa getir itu turut jadi perhatian Theodore ‘Teddy’ Roosevelt, presiden Amerika periode 1901-1909 yang juga penggemar tinju. Selain mendukung pelarangan filmnya, Teddy mendorong larangan prize fight atau pertarungan berhadiah dan perjudian yang mengikutinya.
“Hadiah uang yang begitu besar menjadi potensi sumber demoralisasi karena seringkali aliran uangnya diatur secara ilegal. Pertaruhan dan perjudian terkait hasil (pertarungan) juga merupakan demoralisasi yang tidak sehat. Pada pertarungan terakhir (Johnson vs. Jeffries) sayangnya memprovokasi antagonisme rasial dan saya mengimbau itu jadi pertarungan berhadiah terakhir di Amerika,” tukas Roosevelt dalam pandangannya yang dituangkan di kolom majalah Outlook, 16 Juli 1910.
Baca juga: Presiden Jago Tinju, Gulat Hingga Jiu-Jitsu