JALUR Gaza, sebuah wilayah sempit yang diapit wilayah Israel di timur dan Laut Mediterania di barat, disesaki pengungsi dan rumahsakit darurat pada 18 Juni 1959. Wajah-wajah prihatin yang didera kelaparan di kamp-kamp pengungsian, hari itu untuk sesaat berubah menggelora seiring kunjungan seorang tokoh revolusioner bernama Ernesto ‘Che’ Guevara.
Kunjungan Guevara itu punya makna besar bagi pengungsi untuk terus memberikan perlawanan terhadap zionis Israel. Kendati seruan pembebasan Palestina didengungkan Presiden Indonesia Sukarno di Konferensi Asia Afrika (KAA), menurut Salman Abu Sitta dalam Che Guevara in Gaza: Palestine Becomes a Global Cause, Guevaralah yang mengubah kolonisasi Zionis itu dari konflik kawasan menjadi isu global.
“Pemicunya memang Konferensi Bandung (KAA, red.) pada 1955 dan menghasilkan Gerakan Non-Blok, di mana para anggotanya mengguncang dominasi asing (Blok Barat dan Blok Timur). Jalur Gaza menjadi simbol Palestina. Wilayah kecil satu-satunya yang masih mengibarkan bendera Palestina,” ungkap Abu Sitta.
Baca juga: Sikap KAA pada Konflik Israel-Palestina
Guevara datang ditemani Presiden Uni Republik Arab (kini Mesir) Gamal Abdel Nasser. Di tahun itu, Jalur Gaza masuk dalam wilayah pemerintahan militer yang diduduki dan dilindungi Mesir (1959-1967) pasca-Perang Suez pada 1956.
Jalur Gaza penuh sesak oleh para pengungsi sejak Peristiwa Nakba (1948). Peristiwa itu merupakan pengusiran penduduk 247 desa di wilayah selatan Palestina seiring deklarasi negara Israel.
Mesir tidak hanya mengurusi para pengungsi namun juga menyokong senjata untuk para gerilyawan kiri, fedayeen, atau pejuang kemerdekaan Palestina. Itu berlangsung setelah Nasser mengunci kerjasama pembelian senjata dengan negara-negara Blok Timur pada Juli 1952.
Guevara Membakar Semangat Perlawanan
Kunjungan Guevara ke Gaza sedianya tak masuk dalam agenda resminya. Lima bulan pasca-Fidel Castro berkuasa di Kuba, ia mengirim Guevara melakoni kunjungan resmi selama tiga bulan ke 14 negara.
“Pada Juni 1959 Che Guevara di antaranya mengunjungi Mesir, India, Pakistan, Indonesia, Jepang, Yugoslavia, dan agenda kunjungan rahasia ke Uni Soviet. Selama di Kairo, Guevara juga menjalin hubungan dengan sejumlah organisasi pergerakan pembebasan dengan mendirikan kantor penghubung di kota itu dengan dukungan presiden sosialis Gamal Abdel-Nasser,” tulis Frank Villafana dalam Cold War in the Congo: The Confrontation of Cuban Military Forces, 1960-1967.
Guevara datang ke Kairo bersama rombongannya yang terdiri dari antara lain Menteri Pertahanan Raúl Castro –yang merupakan adik pemimpin Kuba Fidel Castro– dan Jenderal Caprera, perwira tinggi ahli dalam perang gerilya. Rombongan itu kemudian dibawa Nasser ke Gaza, 450 kilometer dari Kairo.
Baca juga: Sumbangsih Pertama Indonesia untuk Palestina
Saat tiba di Gaza pada 18 Juni 1959, Guevara disambut para petinggi pemerintahan militer Gaza, termasuk Gubernur Jenderal Gaza Letjen Ahmad Salim. Kunjungan itu, sambung Abu Sitta, jadi momen bersejarah pertamakali tokoh revolusioner datang langsung untuk melihat kondisi para korban Peristiwa Nakba di sejumlah kamp pengungsian.
“Yang menjadi hak harus dipulihkan,” cetus Guevara saat mengunjungi kamp pengungsi al-Bureij.
Kamp itu jadi salah satu kamp dengan kasus kelaparan terbesar di Gaza. Kamp tersebut pernah disasar serangan pasukan Israel pimpinan Ariel Sharon –yang dikemudian hari menjadi perdana menteri Israel ke-7– hingga menewaskan 43 jiwa pada Agustus 1955. Gara-garanya kamp itu diklaim memberi suplai senjata dan logistik pada aktivitas para fedayeen.
“Anda harus menunjukkan pada saya, apa yang sudah Anda lakukan untuk membebaskan negeri Anda. Di mana kamp latihannya? Di mana pabrik yang memproduksi senjata? Di mana pusat-pusat mobilisasi rakyat?” tanya Guevara kepada pemimpin kamp, Mustafa Abu Middain.
Baca juga: Nasib Tragis Desa Palestina yang Dibantai Zionis
Guevara lantas menginstruksikan Jenderal Caprera yang ikut bersamanya untuk memberi sejumlah nasihat dan metode perlawanan gerilya kepada para pemimpin kelompok fedayeen. Guevara juga berniat ikut menyuplai senjata namun setelah dikomunikasikan dengan Castro, diputuskan segala bentuk bantuan bakal tetap dikoordinasikan dengan Nasser.
Sejak kunjungan itu, Kuba menjalin hubungan erat dengan Palestina. Castro pun tak hanya sekali mengirim delegasi ke Gaza pasca-kunjungan Guevara itu.
“Seiring pengiriman sejumlah delegasi ke Kairo, termasuk di antaranya adik Fidel, Raúl Castro, yang (kembali) mengunjungi Gaza pada 1960. Pada 1962 Che Guevara membuka kantor operasi untuk Fatah (organisasi bentukan Yasser Arafat, red.) di Algiers (Aljazair), di mana perwakilan Kuba bisa menjalin hubungan yang lebih mudah dengan pihak Palestina,” tulis Fernando Camacho Padilla dan Jessica Stites Mor dalam artikel, “Presence and Visibility in Cuban Anticolonial Solidarity” yang termaktub di buku Palestine in the World: International Solidarity with the Palestinian Liberation Movement.
Tak hanya mendengungkan perlawanan bersenjata, Kuba kemudian juga membuktikan solidaritasnya lewat cara-cara lain. Terlebih pasca-kunjungan Guevara, lanjut Abu Sitta, Kuba memberikan beasiswa pada para pelajar Palestina, memberikan status kewarganegaraan bagi para pengungsi Palestina yang terdampar di sejumlah tempat, serta mendukung kemerdekaan Palestina di sejumlah forum internasional.
Sejak saat itu, sejumlah tokoh Gerakan Non-blok lain ikut datang sebagai bentuk dukungannya terhadap Palestina yang merdeka. Di antaranya Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, yang datang pada 1960. Kunjungan itu jadi awal hubungan dekat India dan jadi awal dukungan negara-negara Asia lainnya terhadap Palestina.
“Sampai hari ini Palestina menjadi simbol dari perjuangan pembebasan dari kolonialisme terakhir di dunia. Oleh karenanya sepertiga negara-negara di dunia mendukung Palestina di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sisanya merupakan pewaris kolonial Barat lama yang terus menciptakan kolonialisme di Palestina sejak awal,” tukas Abu Sitta.
Baca juga: Tangan Zionis Berlumuran Darah Jurnalis