SELINTAS tak ada yang aneh dari foto itu. Di serambi sebuah rumah, tiga orang duduk di kursi rotan: seorang perempuan berkebaya diapit dua lelaki mengenakan beskap dan blangkon. Satu dari dua lelaki itu berkacamata dan berhidung mancung. Lelaki itu adalah Abdul Rahman (A.R.) Baswedan, seorang keturunan Arab.
Foto itu dimuat di suratkabar berbahasa Melayu, Matahari, sontak bikin geger masyarakat Arab. Dianggap menghina dan menurunkan derajat, terutama bagi kalangan sayid. Terlebih, dalam sebuah tulisan yang dimuat di edisi yang sama, Baswedan menulis: “Di mana seseorang dilahirkan, di situlah tanah airnya.”
Sejak lama, orang-orang Hadramaut meninggalkan tanah air mereka di Yaman Selatan yang tandus. Untuk memperbaiki hidup, mereka berdiaspora ke berbagai belahan dunia, termasuk ke Nusantara. Berdagang, mengajarkan agama, berasimilasi dengan penduduk setempat.
Baca juga: Doa Habib untuk Ratu Belanda
Baca juga: AR Baswedan Merajut Keindonesiaan
Ditulis dengan gaya sastra, dalam suratnya kepada A.R. Baswedan tertanggal 21 November 1974, Buya Hamka menulis: “Arab Indonesia dibesarkan dengan gado-gado, bukan dengan mulukhia. Dengan durian, bukan dengan kurma. Dengan sejuknya hawa gunung, bukan dengan panasnya padang pasir. Mereka dihidupkan bukan di pinggir Dajlah dan Furat, tapi di pinggir Musi, Kapuas, Bengawan, dan Brantas. Lebih gurih minyak kelapa daripada minyak samin. Sebab itu jalan selamat bagimu, di hari depanmu ialah leburkan diri ke dalam bangsa ibumu. Tanah airmu ialah Indonesia!”
Hamka hanya menegaskan. Sebab, jalan itu sudah diambil A.R. Baswedan dan orang-orang keturunan Arab di Indonesia untuk menjadikan Indonesia sebagai tanah air mereka, bukan Hadramaut. Dan kini mereka adalah warga negara Indonesia.*
Berikut ini laporan khusus orang Arab di Nusantara:
Bertanah Air Indonesia, Bukan Hadramaut
Busana dari Kesalehan hingga Mode
Citarasa Hadrami, Citarasa Indonesia