AR Baswedan Merajut Keindonesiaan
AR Baswedan merajut persatuan kaum Arab untuk bertanahair Indonesia.
SURAT KABAR Tionghoa peranakan, Matahari, 1 Agustus 1934, memuat foto menggemparkan. Seorang pemuda keturunan Arab mengenakan beskap dan blangkon, menyerukan kepada kaumnya agar bersatu membantu perjuangan bangsa Indonesia. “Di mana seseorang dilahirkan, di situlah tanah airnya,” ujar pemuda yang bernama Abdul Rahman Baswedan, yang lahir pada 11 September 1908. Dia adalah sosok yang lengkap: wartawan, politikus, diplomat, bahkan budayawan.
Pengamat politik, Fachry Ali, mengatakan bahwa pada 1934 saat Indonesia masih sebagai konsep, AR Baswedan berani menyatakan dirinya dan kaumnya bertanahair Indonesia. Dalam Konferensi Peranakan Arab pada Oktober 1934, dia tidak ragu mendeklarasikan Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab: tanahair peranakan Arab adalah Indonesia.
“Itu menjadi sebuah perjudian, sebab kala itu mereka tidak mengerti bahwa suatu saat Indonesia akan merdeka,” ujar Fachry Ali dalam diskusi buku AR Baswedan: Membangun Bangsa Merajut Keindonesiaan karya Suratmin dan Didi Kwartanada, di Auditorium Monumen Nasional, Jakarta Pusat, 25 September 2014.
Pada konferensi itu juga terbentuk Persatuan Arab Indonesia (PAI), diketuai Baswedan. Selain karena prihatin akan konflik yang berlarut-larut dalam golongan Arab, keberhasilannya dalam menggalang persatuan Arab juga terilhami oleh jejak kaum keturunan Tionghoa dalam membentuk Partai Tionghoa Indonesia (PTI), yang berorientasi nasionalis pada 25 September 1932, serta pergaulannya dengan Liem Koen Hian, pendiri PTI yang juga mitra kerjanya di Sin Tit Po. Baswedan mengasuh sebuah rubrik “Abunawas”, yang berisi kritikan dengan mengambil kejadian-kejadian dia Hindia Belanda.
Lepas dari Sin Tit Po, Baswedan bergabung dengan Soeara Oemoem pada 1933, dengan redaktur Soetomo, tokoh Boedi Oetomo. Dia hanya bertahan selama setahun, dan kemudian pindah ke harian Mata Hari, sebelum aktif dalam menggalang persatuan komunitas Arab.
Baca juga: Guru menulis AR Baswedan
Menurut Hendri F. Isnaeni, redaktur majalah Historia, Baswedan meninggalkan pekerjaannya sebagai jurnalis dengan penghasilan yang cukup besar, demi berkeliling dari satu daerah ke daerah lain menggalang persatuan komunitas Arab. “AR Baswedan berhasil mencairkan konflik strata sosial kaum peranakan Arab antara sayid (keturunan Nabi Muhammad) dan non-sayid, yang terorganisir dalam Al-Irsyad dan Arrabitah,” ungkap Hendri.
Karier politiknya terus melesat. Baswedan menjadi wakil peranakan Arab dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di pengujung 1945, dia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan menjabat menteri muda penerangan dalam kabinet Sutan Sjahrir III. Perannya yang tak kalah penting ialah saat tergabung sebagai anggota misi diplomatik Indonesia ke Kairo, Mesir, guna memperjuangkan pengakuan dunia internasional atas kemerdekaan Indonesia.
Menurut Setyo Wibowo, pengajar sejarah filsafat Yunani dan Metafisika di STF Driyarkara Jakarta, Baswedan dapat menjadi seorang “pemberontak” karena pendidikan ayahnya, yang mengajarkan hidup jujur, berbudi pekerti baik, dan berhubungan baik dengan orang lain. “Dalam dirinya tumbuh sifat tidak mau tinggal diam melihat ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat,” kata Setyo. Selain pengajaran ayahnya, bibit berontak muncul karena bakat alamiahnya.
Anies Baswedan, cucu AR Baswedan, mengenang pengalamannya bersama Datuk Mang, sapaannya kepada sang kakek. Sewaktu tinggal bersamanya, dia beserta anggota keluarga lain diajarkan untuk berpikir kritis. “Meja makan merupakan tempat di mana anggota keluarga bisa saling mengeluarkan pendapat dan berdebat,” ujar Anies.
Anies mendampingi sang tokoh perajut keindonesiaan itu hingga berpulang ke pangkuan sang Ilahi pada 5 Maret 1986. “Sebelum beliau meninggal, sempat berpesan agar menjaga nama baik, sebab kita hanya meninggalkan nama baik,” kenang Anies.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar