Meletus balon hijau. Dor! Hatiku sangat kacau. Balonku tinggal empat. Ku pegang erat-erat. Sepenggal lirik lagu anak-anak berjudul “Balonku” ini biasanya tak pernah jadi masalah. Sampai seorang Zainal Abidin berupaya menguliti maksud tersembunyi lirik “Balonku”. Zainal mengatakan lirik “Balonku” memuat kebencian terhadap Islam. Sebab balon hijau yang meletus. Dan warna hijau lekat dengan Islam.
Tak hanya “Balonku”. Zainal juga mengupas lagu “Naik-Naik ke Puncak Gunung”. Dalam ceramahnya yang bisa dilihat di Youtube, dia menduga lagu itu menyebarkan ajaran Kristen. Kiri kanan Ku lihat banyak pohon cemara. Itu sepenggal lirik Kristenisasi versi Zainal. Cemara identik dengan hari Natal. Dan Natal adalah harinya umat Kristiani.
Benarkah lagu anak-anak punya muatan kebencian dan mengajarkan iman agama tertentu?
Sepanjang sejarahnya, lagu anak-anak memang punya maksud, pesan, dan fungsi tertentu. Dahulu lagu anak-anak termasuk dalam nyanyian rakyat. Artinya lagu itu menjadi milik bersama, penciptanya sering tak dikenal (anonim), dan dinyanyikan secara luas tanpa memperhitungkan latar belakang agama masyarakatnya.
Baca juga: Masa Lampau Anak-anak
Fungsi nyanyian rakyat ada banyak: relaksasi (menenangkan), edukatif (mendidik), dan rekreatif (menghibur). “Nyanyian rakyat yang berfungsi demikian itu adalah nyanyian jenaka, nyanyian untuk mengiringi permainan kanak-kanak, dan nyanyian Nina Bobo,” catat James Dananjaya dalam Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain.
Orang menyebut lagu anak-anak semacam itu sebagai lagu anak-anak tradisional. Liriknya sederhana, pendek, dan mudah dihafal. Ini berlaku umum di hampir tiap tempat. Lirik lagu anak-anak bisa berbeda dalam penceritaannya. Misalnya penggambaran orang sekitar, bentang alam, dan hewan-hewannya. Bergantung dari daerah mana lagu-lagu anak tradisional itu berasal.
Lagu Belanda dan Jepang
Keberadaan orang Belanda di Hindia menambah khazanah lagu anak-anak. Orang Belanda memperkenalkan lagu anak-anak melalui sekolah sejak awal abad ke-20.
“Lagu-lagu ini sudah tentu terutama ditujukan bagi anak-anak Belanda dan pada umumnya melukiskan alam dan perasaan bangsa Belanda pula,” ungkap J.A. Dungga dan L. Manik dalam “Lagu Anak-Anak” termuat di Musik di Indonesia dan Beberapa Persoalannja, terbitan 1952.
Dungga dan Manik menambahkan, sekalipun lirik lagu itu terasa janggal bagi orang dewasa anak negeri, tidak demikian bagi anak-anak Hindia berkulit cokelat. “Anak-anak kita menyanyikan lagu-lagu seperti Daar is mijn vaderland, Limburg dierbaar oord (Di sanalah negeriku, tanah tercinta di Limburg, red.), sebagai lagu-lagunya sendiri.”
Terlepas dari perkembangan rasa kebangsaan, Dungga dan Manik mengakui lagu-lagu anak berbahasa Belanda di sekolah mempunyai estetika cukup tinggi dan tahan uji. Para guru menyanyikan lagu itu untuk menghadirkan suasana gembira dalam sekolah.
Baca juga: Pertunjukan Propaganda untuk Anak-Anak
Lagu-lagu anak berbahasa Belanda lenyap seiring kedatangan Jepang. Pemerintah Jepang mulai mengajarkan bahasa Jepang kepada anak-anak Indonesia. Berikut pula dengan lagu-lagunya.
Dungga dan Manik masih menyatakan lirik lagu-lagu itu termasuk cukup baik dan bermutu bagus untuk anak-anak. “Kita masih ingat bagaimana meriahnya anak-anak kita menyanyi di masa Jepang itu... Lagu-lagu ketika itu sangat merata ke segala lapisan dan pelosok.”
Masa-masa awal kemerdekaan hingga awal dekade 1950-an anak-anak kehilangan lagu khusus. Lagu anak berbahasa Belanda dan Jepang hilang.
Anak-anak masih bisa bernyanyi. Tetapi lagu-lagunya tak dibuat secara khusus. Mereka menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Sesekali kembali menyanyikan lagu tradisional. Tapi anak-anak tetap membutuhkan lagu gubahan baru. Sesuai dengan alam dan perasaan baru pada masa kemerdekaan.
Kelangkaan Lagu Anak
Kemudian sekolah menciptakan sendiri lagu anak-anak untuk mengatasi kekurangan lagu anak-anak. Tapi menurut Dungga dan Manik, lagu-lagu itu berlirik kurang sesuai dengan anak dan bermutu rendah. Karena lagu-lagu ini pada umumnya dibuat dengan tergesa-gesa dan didasarkan lebih banyak atas semangat membuat lagu daripada kecakapan membuat lagu.
Pertolongan datang dari Saridjah Niung. Perempuan ini kelak dikenal dengan nama Ibu Sud. Dia menciptakan lagu anak-anak seperti “Burung Ketilang”, “Menanam Djagung”, “Berkibarlah Benderaku”, dan “Naik Kereta Api”. Lirik lagunya pendek dan mudah dimengerti. Lagunya mampu menghadirkan rasa gembira bagi anak-anak dan mengajarkan cinta tanah air.
Baca juga: Ibu Sud Bahagiakan Anak Indonesia
Selain Ibu Sud, di tengah krisis lagu anak-anak, Soerjono atau Pak Kasur menciptakan “Selamat Sore Pak, Selamat Sore Bu”, “Naik Delman”, “Lihatlah Benderaku”, dan “Tetap Merdeka”. Lagu-lagu itu berlirik singkat dan bersuasana gembira, seperti lagu karya Ibu Sud. Selamatlah anak-anak Indonesia dari merapal lagu-lagu asmara untuk orang dewasa.
Ibu Sud dan Pak Kasur memahami bagaimana mencipta lagu anak-anak. Mereka berpendapat lagu anak harus memiliki fungsi, pesan, dan maksud tertentu. Fungsinya bisa sebagai pengiring anak masuk sekolah, berisi pesan memperkenalkan hewan dan alat transportasi, atau bertujuan menumbuhkan rasa cinta kepada keluarga dan orang lain. Dengan demikian, lagu ikut menyumbang pertumbuhan jiwa anak-anak yang sehat dan baik.
Kesungguhan Penciptaan
Tapi menciptakan lagu anak-anak bukanlah perkara mudah. Fungsi, pesan, dan maksud yang ideal itu harus dibungkus dalam sebuah lagu yang sederhana dan ringan. Menyederhanakan sesuatu yang rumit selalu menjadi pekerjaan yang sulit. Sementara mengentengkan yang berat selalu membutuhkan usaha yang kuat. Apalagi jika hal itu ditujukan untuk anak-anak.
“Selain memerlukan kematangan dalam soal-soal pendidikan, ia juga meminta kecakapan dalam lapangan cipta-mencipta,” terang Dungga dan Manik. Keduanya benar. Begitulah proses kreatif para pencipta lagu anak-anak seperti Ibu Sud dan Pak Kasur. Mereka menghabiskan energi, pikiran, dan waktunya untuk mengisi segala kebaikan dan manfaat dalam lagu anak-anak.
Baca juga: Liku-Liku Hidup Ibu Sud
Ibu Sud mempertimbangkan secara saksama lema, intonasi, dan nada lagu anak-anak. “Demikian pula mengenai syairnya, hendaknya sederhana, mudah dimengerti, dan jangan terlalu panjang sesuai dengan daya tangkap anak. Harus pula mampu menembus sanubari segala usia dari anak sampai orang dewasa,” kata Ibu Sud dalam Kompas, 27 Agustus 1980.
Pak Kasur pun mempunyai proses kreatif serupa. Dia menimbang banyak hal sebelum mencipta lagu anak-anak: tema, irama, dan nilai estetisnya. “Nadanya disesuaikan dengan tenggorokan dan pernapasan anak sehingga anak akan dengan mudah menghafalnya,” catat Ismi Nur Solikhati dalam “Peranan Pak Kasur dalam Pendidikan di Indonesia (1950–1992)”, skripsi pada Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia.
Dari penelusuran ini, para pencipta lagu anak-anak yang andal dan berintegritas mustahil membuat lagu anak sebagai alat penebar benih kebencian dan pemecah belah umat beragama.