JALANAN macet. Hotel-hotel penuh. Beberapa objek wisata dipadati pengunjung. Bersama orangtua, di sanalah anak-anak masa kini menghabiskan masa liburan sekolah. Aktivitas yang karuan berbeda dari anak-anak di masa lampau.
Tak banyak catatan sejarah perihal kehidupan anak-anak di masa lampau, termasuk gambaran fisiknya. Kisah mereka termaktub dalam beberapa prasasti, arca, dan relief candi di Jawa, serta tersua dalam beberapa naskah kuno Nusantara. Berbekal peninggalan itu, sejumlah arkeolog Universitas Indonesia berusaha merekonstruksi gambaran anak-anak di masa lampau.
Dalam “Dinamika Kehidupan Anak-Anak Pada Masa Jawa Kuno Abad VII-XV Masehi”, termuat dalam Jurnal Makara Sosial Humaniora Vol 12 No 1 (2008), para arkeolog menyatakan bahwa anak-anak atau baala (dalam bahasa Sanskerta) dapat diartikan “manusia kecil yang masih sangat muda usia, yang di dalam pengarcaan maupun reliefnya diperkirakan berusia di bawah lima tahun (balita) hingga duabelas tahun atau lebih.”
Kedudukan anak-anak sangat penting. Mereka menjadi penentu sebutan untuk menyapa seseorang. Dalam prasasti yang bertarikh abad ke-7-10, misalnya Jurungan, Mantyasih III, Taji Panggumulan, Poh, Baru, dan Wuatan Tija, nama seseorang diikuti dengan nama anaknya. Contohnya, si mula rama ni asti yang berarti si Mula bapaknya Asti. “Catatan semacam ini diduga merupakan pencatatan bagi penduduk setempat,” tulis S Kuparyati dkk.
Titi Surti Nastiti dalam Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna menguatkan pendapat itu. Menurutnya, sebutan itu dipakai sebagai ungkapan kekerabatan yang akrab antarpenduduk dan juga sebentuk penghormatan untuk si anak. Biasanya nama yang digunakan adalah anak atau cucu pertama. Dia juga bersepakat bahwa sebutan itu merupakan istilah tertentu yang dipakai penduduk di sejumlah desa untuk menyebut seseorang yang punya anak atau cucu. Dengan demikian, ada perbedaan sebutan untuk mereka yang sudah berkeluarga dengan yang belum.
Sementara itu, relief di Candi Borobudur (abad ke-9) menggambarkan salah satu ragam hiburan anak-anak masa itu. Untuk mencari hiburan, anak-anak pergi ke pasar, didampingi orangtuanya. Di sana, kelompok pertunjukan keliling jamak ditemui. Akrobat salah satunya. Anak-anak senang melihat pertunjukan ini sehingga orangtua rela bersusah-payah mengangkat anaknya agar dapat melihat pertunjukan dengan lebih jelas.
Serupa orangtuanya, anak-anak dalam relief tersebut hampir tak berpakaian. Hanya sumping (semacam kalung) yang menghiasi tubuhnya. Menurut S Kuparyati dkk, cara berpakaian itu menunjukan kelas sosial orangtuanya. “Anak bangsawan atau golongan kaya berbusana mewah, anak golongan madya berbusana sederhana, dan anak dari golongan miskin berbusana minim.” Meski berpakaian minim, tubuh anak-anak terlihat gemuk, pipinya montok, dan wajahnya ceria.
Selain relief tersebut, termaktub pula relief anak yang tengah sakit. Dia berasal dari keluarga miskin. Terbaring lemah dengan alas seadanya. Badannya kurus, sedangkan orangtuanya dan para tetangga tampak cemas. Sakit sang anak diketahui lantaran orangtua melanggar ketentuan makan daging atau memancing ikan beracun. Seseorang kemudian mencoba menolong anak malang itu.
Di bagian lain, terdapat relief aktivitas anak-anak yang bertalian dengan pengenalan keagamaan. Ditemani orangtuanya, anak-anak berbusana bodhisatwa menghadap dewa. Relief ini menunjukan kisah awal anak-anak menerima pendidikan. Kala itu, pendidikan dan keagamaan terkait erat. Mereka belajar menulis dan membaca aksara Sanskrit agar mengetahui kitab sucinya. Umumnya pendidikan dimulai sejak mereka berusia lima tahun. Menjelang remaja, ada yang mesti tinggal di asrama (nyantri). Dua naskah kuno pada masa Majapahit, Nitisastra dan Sarasamuccaya, memuat keterangan tersebut.
Jumlah populasi anak-anak kala itu tak diketahui dengan pasti. Hanya ada gambaran tingkat kematian anak-anak melalui arca Dewi Hariti, dewi pelindung anak-anak, di beberapa candi Budha seperti Mendut. Anak-anak bermain dengan riang di sekitar Dewi Hariti. Beberapa bahkan bergelantungan di pepohonan dan tubuh Dewi Hariti.
Keberadaan arca Dewi Hariti ditujukan sebagai pengusir pengaruh jahat yang mungkin menimpa anak-anak. “Tersebab itu, Dewi Hariti sangat dipuja sebagai pelindung anak-anak karena kematian yang tinggi di kalangan anak-anak pada masa kuno,” tulis L Chandra dalam “An Indonesian Copper-Plate”, Jurnal KITLV No 133 (1977).
Memasuki abad ke-17, Islam memberi pengaruh pada kehidupan anak-anak. Beberapa raja mulai mengadakan pesta khitan besar-besaran untuk sang anak. Anthony Reid, mengutip Scott, menggambarkannya dengan contoh Kesultanan Banten. “Di lapangan alun-alun depan istana, sebuah anjungan besar didirikan tempat sang raja-kanak harus-duduk diam,” tulis Reid dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga.
Anak-anak pun mulai diberikan pakaian sejak dini, baik lelaki maupun perempuan. Mereka yang dulunya belajar aksara dan bahasa Sanskrit, kini mesti belajar aksara dan bahasa Arab-Melayu. Sistem pendidikan anak di masa ini mengadopsi sistem sebelumnya seperti nyantri, tinggal di asrama. Beberapa mainan baru mulai muncul semisal gasing. Tradisi mendengarkan tembang segera populer, terutama yang bertalian dengan ajaran Islam.
Demikianlah, anak-anak berkembang sesuai zamannya.