Masuk Daftar
My Getplus

Beasiswa dari Masa ke Masa

Beasiswa telah tersedia sejak zaman kolonial Belanda dan pendudukan Jepang yang didorong oleh Politik Etis dan politik luar negeri. Ada kepentingan jangka panjang dari pemberi beasiswa.

Oleh: Amanda Rachmadita | 08 Mei 2024
Suasana belajar mengajar di School tot Opleiding van Inlandse Artsen (Stovia) di Batavia, 1933. (KITLV).

FAKTOR ekonomi masih menjadi penyebab utama seseorang sulit melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi. Oleh karena itu, program bantuan biaya pendidikan atau beasiswa, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, merupakan solusi untuk memberikan kesempatan yang sama bagi masyarakat dalam mendapatkan pendidikan.

Beasiswa yang diberikan beragam. Ada beasiswa bagi murid maupun lulusan yang berprestasi di bidang akademik, dan ada pula beasiswa bagi mereka yang berprestasi di bidang nonakademik, seperti olahraga atau kesenian. Beasiswa umumnya dibagi dua, yakni beasiswa penuh di mana penerima tidak hanya mendapat bantuan biaya pendidikan (SPP atau uang semester), tetapi juga mendapat dana untuk kebutuhan hidup sehari-hari selama masa studi; dan beasiswa parsial atau sebagian.

Beasiswa yang disediakan oleh lembaga pemerintahan, organisasi, dan swasta membuka kesempatan bagi masyarakat untuk menempuh pendidikan di luar negeri. Tak heran bila informasi mengenai program beasiswa selalu ramai dicari.

Advertising
Advertising

Baca juga: Bung Hatta Membayar Beasiswa di Belanda

Program beasiswa telah tersedia sejak zaman kolonial Belanda. Menurut Maarten Kuitenbrouwer dalam Dutch Scholarship in the Age of Empire and Beyond pembahasan mengenai pentingnya pendidikan bagi penduduk pribumi di wilayah koloni muncul seiring dengan maraknya kritik kepada Belanda terkait politik eksploitasi di wilayah jajahannya.

Salah satu tokoh yang gencar menyuarakan kritik adalah C.Th. van Deventer. Melalui artikelnya yang terkenal “Een eereschuld” (Hutang Kehormatan) yang diterbitkan di De Gids pada 1899, van Deventer mengkritik politik eksploitasi Belanda yang ia sebut sebagai penyebab utama penderitaan penduduk pribumi di wilayah koloni. Berbagai kritik kepada pemerintah Belanda terkait eksploitasi dan kewajiban moral mereka terhadap penduduk di wilayah koloni memicu diterapkannya Politik Etis pada awal abad ke-20.

Van Deventer menaruh perhatian besar terhadap pendidikan masyarakat di wilayah koloni. Dia berusaha mencari cara untuk membuka kesempatan bagi rakyat Indonesia agar memperoleh pendidikan yang baik.

“Terpengaruh oleh perjuangan R.A. Kartini, van Deventer bersama sang istri, Elisabeth M. Maas, dan sejumlah rekannya, membangun empat yayasan, yakni Yayasan Kartini, Yayasan van Deventer, Yayasan Tjandi, dan Yayasan Max Havelaar. Semuanya bertujuan mempromosikan pendidikan Indonesia,” tulis Abdul Kahar dalam Meretas Batas Impian dengan Beasiswa.

Baca juga: Kebijakan yang Gagal Dipanen

Yayasan-yayasan tersebut memiliki peran berbeda. Yayasan van Deventer memberikan beasiswa untuk perempuan Indonesia di tingkat sekolah menengah. Sementara Yayasan Max Havelaar dan Yayasan Tjandi memberikan beasiswa berupa pinjaman bebas bunga untuk mahasiswa Indonesia agar dapat mengenyam pendidikan di Belanda. Melalui beasiswa yang bersumber dari sumbangan rutin donatur dan subsidi pemerintah Belanda, sekitar lima puluh pemuda Indonesia mendapat kesempatan belajar di Negeri Kincir Angin.

Beasiswa juga diberikan kepada pelajar School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (Stovia) atau Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera. Mereka yang mendapat beasiswa ini wajib menjalani semacam kontrak dinas selama sepuluh tahun. Bila tidak menepati kewajiban tersebut mereka harus membayar denda cukup besar sekitar 5.800 gulden.

Baca juga: Kerugian Nasional Akibat Genosida Politik 1965-1966

Menurut Abdul Kahar, bila beasiswa yang diberikan pemerintah Belanda dilandaskan pada Politik Etis, maka beasiswa yang diberikan pemerintah pendudukan Jepang dilatarbelakangi oleh politik luar negeri yang ingin mewujudkan Pan-Asia atau Persemakmuran Asia Timur Raya. Jepang mengundang para pemuda Indonesia untuk belajar di Negeri Sakura dengan biaya murah, bahkan tak jarang diberikan beasiswa penuh selama studi.

“Subsidi untuk belajar ini telah menjadi akar dari sejumlah beasiswa yang kita kenal hingga saat ini. Meskipun jauh di belakang itu, ada kepentingan jangka panjang dari pemerintah Jepang sebagai penyedia beasiswa,” tulis Kepala Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan, Kemendikbudristek itu.

Terdapat dua gelombang keberangkatan pelajar-pelajar Indonesia ke Jepang. Sebelum tahun 1943, banyak pelajar melanjutkan studi ke Jepang karena orang tua mereka tak mampu membiayai pendidikan tinggi di Belanda. Sementara pada 1943, pemerintah militer Jepang membuat program khusus mengirimkan pemuda Indonesia untuk belajar di negaranya. Para pelajar itu merupakan peserta program Nampo Tokubetsu Ryugakusei atau Mahasiswa Luar Biasa dari Daerah Selatan. Selain Indonesia, program beasiswa ini juga diberikan kepada pemuda dari negara-negara Asia Tenggara yang diduduki Jepang, seperti Malaysia dan Burma (kini Myanmar).

Baca juga: Bjorka dan Pembersihan Mahasiswa Indonesia di Eropa Timur

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah menyediakan program Beasiswa Ikatan Dinas, di mana penerimanya disebut Mahasiswa Ikatan Dinas (Mahdi), dan beasiswa Duta Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat) yang pesertanya calon pegawai negeri sipil. Ribuan pelajar dikirim ke negara-negara Blok Timur seperti Rusia hingga Ceko untuk mengenyam pendidikan di berbagai disiplin ilmu melalui program Beasiswa Ikatan Dinas yang berlangsung sejak tahun 1960 hingga 1965.

Pada 1960-an, ada pula beasiswa Pampasan Perang atau Baisyo Ryugakusei dari pemerintah Jepang. Selain itu, pemerintah Indonesia melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga memberikan beasiswa bagi para pelajar yang hendak menempuh pendidikan di Belanda. Beasiswa yang berlangsung sejak tahun 1952–1958 itu merupakan bagian dari kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB). Namun, beasiswa tersebut terpaksa dihentikan karena situasi politik yang memburuk antara Indonesia dan Belanda imbas sengketa Irian Barat.

Pemerintah kemudian mengalihkannya melalui Beasiswa Ford Foundation dari Amerika Serikat. Beberapa tokoh yang menerima beasiswa ini antara lain Emil Salim (ekonom yang pernah tiga kali menjabat menteri di masa pemerintahan Presiden Soeharto), Ali Wardhana (mantan menteri koordinator bidang ekonomi, keuangan, industri dan pengawasan pembangunan masa Orde Baru), J.B. Sumarlin (ekonom yang pernah menjabat menteri keuangan masa Orde Baru), dan Dorodjatun Koentjoro-Djati (ekonom yang pernah menjabat menteri koordinator bidang perekonomian pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri).

Baca juga: Sukarno Kuliah dengan Biaya Sendiri

Setelah dinyatakan lolos seleksi penerima beasiswa dari Amerika Serikat, para kandidat dikarantina selama seminggu di Departemen Pertanian di Ragunan, Jakarta Selatan. Momen karantina ini dikisahkan Henry Alexis Rudolf Tilaar dalam Indonesiaku! Sebentuk Manikam untukmu Dedikasi Seorang Guru: Biografi Profesor Doktor Henry Alexis Rudolf Tilaar yang ditulis oleh Ayu Hermawan.

Di Ragunan, Alex yang mendapat beasiswa dari USAID (United State Agency for International Development) bertemu dengan puluhan calon penerima beasiswa lain. Selama di sana, mereka menjalani hidup ala militer dan mendapat bimbingan dari sejumlah tokoh, salah satunya Mayor Jenderal TNI (Purn.) Prof. Dr. Moestopo.

“Semangat penjiwaan Pancasila selalu ditanamkan... Tak luput kepada mereka ditanamkan pula beban dan tanggung jawab yang akan disandang di Amerika Serikat kelak. Beban tersebut akan melekat sesuai dengan predikat Duta Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat) yang disematkan di pundak mereka,” tulis Ayu Hermawan.

Setelah seminggu digembleng di Ragunan, Alex dan rekan-rekannya diterbangkan ke Amerikat Serikat pada 1964. Alex beruntung karena seminggu setelah berangkat, Indonesia memutuskan hubungan dengan Amerika Serikat. Akibatnya, banyak penerima beasiswa yang telah memenuhi syarat dan siap berangkat gagal melanjutkan pendidikan ke Negeri Paman Sam.*

TAG

beasiswa pendidikan

ARTIKEL TERKAIT

Modal Soeharto dari Muhammadiyah Soeharto Lulus SD dan Ki Hadjar Tak Pernah SMA Ibu Sud, Cak Roes, dan Sekolah Belanda Peran Lasminingrat dalam Pendidikan dan Penerjemahan Gejolak di Osvia Pendidikan Seks dalam Serat Nitimani Korupsi di Perguruan Tinggi Kisah Perancang Mode pada Zaman Jepang Setelah Pulang Sekolah Melengserkan Dekan yang Suka Perempuan