Setelah lulus Prins Hendrik School (PHS) di Batavia, Mohammad Hatta berencana melanjutkan pendidikan tinggi ke Rotterdam, Belanda, dengan biaya dari pamannya, pengusaha Mak Etek Ayub. Oleh karena itu, dia tidak mengajukan beasiswa ke pemerintah Belanda. Rencananya buyar setelah nasib malang menimpa pamannya yang ditahan karena perkara utang.
Hatta kemudian mendatangi Duyvetter, pegawai Departemen Pengajaran dan Agama. Tugasnya memperhatikan murid-murid sekolah menengah dari luar Batavia yang meminta tolong kepadanya untuk memperoleh beasiswa.
Karena Hatta terlambat mengajukan beasiswa dari pemerintah Belanda, Duyvetter mencoba mencarikan beasiswa dari Van Deventer-Stichting. Dia menelepon perwakilannya, J.E. Stokvis. Hatta diminta datang langsung menemui Stokvis. Stokvis memberi tahu Hatta bawah beasiswanya diproses di Belanda kurang lebih satu-dua bulan. Jadi, Hatta harus berangkat dulu ke Rotterdam dengan biaya sendiri. Hatta menyanggupinya.
Baca juga: Mengulik Gelar-gelar Akademik di Indonesia
Tiba di Rotterdam pada 5 September 1921, Hatta dijemput oleh Ir. M.J. Romer, seorang kenalan Ir. Van Leeuwen yang kelak akan membantunya. Hatta masuk Sekolah Tinggi Dagang di Rotterdam (Nederlandsche Handelshogeschool) dengan beasiswa dari Van Deventer-Stichting selama dua tahun mulai Juli 1921. Saban bulan Hatta menerima f.66,66 yang ditransfer ke rekening gironya.
"Untuk pertama kali, aku akan menerima enam bulan pertama, kira-kira f.400," kata Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku.
Beberapa hari setelah menerima beasiswa dari Van Deventer-Stichting, Hatta menerima wesel pos dari surat kabar Neratja, sebesar f.50, untuk honor tiga tulisan.
Sambil kuliah, Hatta aktif dalam organisasi Indonesische Vereeniging. Dalam kepengurusan baru pada 1923, Hatta melanjutkan jabatan sebagai bendahara. Awalnya, Hatta menolak karena akan menghadapi ujian diploma handelseconomie (DH). Dia pun menyerah karena terus didesak agar tetap menjabat sebagai bendahara.
Sementara itu, Hatta harus lulus dari ujian DH karena akan meneruskan ke doktoral atau sarjana lengkap bergelar doctorandus (Drs.). "Bagi mereka yang mau meneruskan pelajarannya ke pelajaran doktoral, pelajaran DH dianggap sebagai pelajaran kandidat," kata Hatta.
Baca juga: Sejarah Pengangkatan Guru Besar dan Profesor di Indonesia
Pada Mei 1923, Hatta menghadapi ujian DH yang terbagi dua bagian. Ujiannya lisan selama satu jam. Materi ujian pertama tentang ekonomi teoretika; uang, kredit dan bank, serta politik perniagaan dan perhubungan; dan hukum dagang. Hatta lulus ujian pertama sehingga bisa menempuh ujian kedua.
Seminggu kemudian, Hatta menghadapi ujian kedua tentang ekonomi perusahaan, ekonomi kolonial, dan ilmu bumi ekonomi. Hatta gugup dalam menjawab pertanyaan dari Prof. N.J. Polak yang membuatnya gagal dalam ujian kedua.
"Diberitahukan oleh Prof. Polak bahwa ujian aku tidak memuaskan. Sebab itu aku diminta kembali, diuji tiga bulan lagi," kata Hatta.
Itu kegagalan pertama Hatta selama sekolah. Seminggu lamanya dia tidak berbuat apa-apa. Temannya, Zainuddin, mencoba menyemangati Hatta dengan mengatakan, "Yang sudah terjadi, tidak perlu dirisaukan lagi. Siapkan saja diri untuk menempuh ujian ulangan. Waktu tiga bulan tidak banyak."
"Karena kegagalan itu aku tidak berani lagi meminta beasiswa kepada Van Deventer-Stichting untuk meneruskan ke pendidikan doktoral," kata Hatta.
Beasiswa Pinjaman
Meskipun gagal ujian kedua, Hatta tetap bisa mengikuti pelajaran doktoral yang dimulai pada September 1923. Namun, dia tetap harus mengulang ujian kedua dan lulus pada 27 November 1923.
Biaya kuliah doktoral Hatta tidak lagi berasal dari beasiswa Van Deventer-Stichting. "Aku ragu-ragu di manakah aku akan memperoleh beasiswa. Beasiswa dari Van Deventer-Stichting kukira tidak mungkin lagi karena aku telah gagal dalam ujian DH bagian kedua," kata Hatta.
Akhirnya, Hatta menemukan jalan ke beasiswa lain. Dia bertemu dengan Ir. Fournier dan Ir. Van Leeuwen, tokoh teosofi di Batavia, yang tiba di Belanda pada Juli 1923. Hatta kenal Fournier dan Van Leeuwen saat sekolah PHS di Batavia.
Keduanya mengajak Hatta bergabung dengan teosofi. Hatta menolak tapi masuk Orde der Dienaren van Indie, organisasi pemuda baru yang diprakarsai oleh Fournier, Van Leeuwen, Basuki dari Jong Java, dan Amir Sjarifuddin dari Jong Sumatranen Bond.
Orde der Dienaren van Indie berdasarkan cita-cita persatuan, tolong menolong, dan persaudaraan. Atas dasar itulah Van Leeuwen membantu mencarikan beasiswa untuk Hatta. Dia meminta tolong temannya, Ir. M.J. Romer, orang yang menjemput Hatta di pelabuhan Rotterdam dan menginap semalam di rumahnya. Romer mengetahui organisasi sosial yang membantu mahasiswa yang tidak mempunyai uang untuk melanjutkan pendidikan.
Baca juga: Cinta Hatta Bersyarat Merdeka
Hatta dan Van Leeuwen menghitung berapa biaya yang dibutuhkan selama tiga tahun menjalani pendidikan doktoral. Jumlahnya mencapai f.6.000, dengan rincian kira-kira biaya hidup f.150 per bulan jadi tiga tahun f.5.400, dan pengeluaran lainnya f.600.
Seminggu kemudian, Van Leeuwen memberi tahu Hatta bahwa dia memperoleh beasiswa itu selama tiga tahun. Beasiswa itu berupa pinjaman yang nanti dibayar dengan cara angsuran.
"Apabila engkau nanti telah memperoleh jabatan di Hindia Belanda, kau bayar kembali beasiswa itu dengan angsuran. Berapa besar angsuran itu, biasanya disesuaikan dengan gaji atau pendapatan sebulan," kata Van Leeuwen.
Hatta kemudian mengurus surat perjanjian beasiswa itu dengan Romer. Hatta menerima f.150 saban bulan yang dikirim ke rekening gironya. Dengan beasiswa itu, Hatta melanjutkan pendidikannya. Hatta juga tetap aktif dalam organisasi Indonesische Vereeniging meski tak lagi menjadi bendahara. Dalam kepengurusan yang baru pada 1924, Perhimpunan Indonesia dengan tegas menyatakan non-kooperasi (menolak kerja sama) dalam mencapai tujuan Indonesia merdeka.
Selain itu, pada April 1924, Indonesische Vereeniging menerbitkan buku peringatan Gedenkboek Indonesische Vereeniging, 1908–1923. Hatta menyumbangkan satu tulisan dalam buku itu berjudul "Indonesia di Tengah-tengah Revolusi Asia".
Buku itu mengundang kritikan hebat dari pers Belanda. Di antaranya menyebut pelajar Hindia Belanda telah dihinggapi semangat revolusioner yang susah mengikisnya kembali.
Baca juga: Perhimpunan Indonesia, Wahana Perjuangan di Belanda
Karena itu pula Fournier mengirim surat kepada Hatta. Isinya menyebut haluan yang ditempuh Indonesische Vereeniging –yang telah mengubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia– tidak sesuai dengan pendirian Orde der Dienaren van Indie. Maka, Hatta harus memilih keluar dari Perhimpunan Indonesia atau Orde der Dienaren van Indie. Pilihan Hatta tidak memengaruhi beasiswa yang diperolehnya atas bantuan Van Leeuwen.
Hatta memutuskan tetap aktif dalam Perhimpunan Indonesia dan keluar dari Orde der Dienaren van Indie.
"Tentang beasiswa yang kuperoleh dengan bantuan Ir. Van Leeuwen, aku nanti akan membayarnya kembali menurut perjanjian kalau aku telah kembali ke Indonesia," kata Hatta.
Semula Hatta bermaksud menempuh ujian doktoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir 1925. Namun, didorong oleh minatnya pada politik, Hatta melanjutkan studinya dengan masuk jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administrasi. Perpanjangan studi ini memungkinkannya terpilih menjadi ketua Perhimpunan Indonesia mulai tahun 1926 hingga 1930. Hatta baru menyelesaikan studi doktoral bidang ilmu ekonomi pada Juli 1932, lalu kembali ke Indonesia.
"Utangku yang f.6.000 itu baru dapat kubayar setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya, kira-kira dalam tahun 1950, waktu aku sudah menjadi wakil presiden," kata Hatta.
Baca juga: Bung Hatta Bebas di Hari Lebaran
Awalnya, Hatta bermaksud mengangsur utang beasiswanya setelah kembali ke Indonesia pada 1932. Namun, Hatta sibuk dalam pergerakan kemerdekaan dan pendapatannya tidak mencukupi karena hanya bersumber dari honor tulisan di surat kabar.
Hatta sempat berniat meminjam ke firma Djohar Djohor sebesar f.6.000 untuk membayar utangnya sekaligus. Namun, ketika sedang dirundingkan, Hatta ditangkap dan ditahan pemerintah kolonial Belanda, kemudian diasingkan ke Boven Digul lalu Banda Neira.
Setelah Konferensi Meja Bundar, Hatta menerima surat dari Van Leeuwen, yang memperingatkan agar mengangsur utang beasiswanya dalam gulden. Hatta membalasnya bahwa utangnya akan dibayar sekaligus tapi dalam rupiah.
Karena utangnya sudah lama, tidak dicicil sekitar 18 tahun, Hatta bersedia membayar dengan bunga majemuk 5% setahun kali Rp6.000.
"Setelah dihitung oleh sekretarisku menjadi kira-kira Rp12.000. Uang itu langsung aku kirimkan kepada Ir. Van Leeuwen," kata Hatta.