Masuk Daftar
My Getplus

Bjorka dan Pembersihan Mahasiswa Indonesia di Eropa Timur

Jenderal TNI Soeharto memerintahkan pembersihan mahasiswa Indonesia di Uni Soviet dan Eropa Timur. Ratusan mahasiswa dicabut paspornya.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 12 Sep 2022
Mayjen TNI M. Jasin (kanan), Panglima Kodam VIII/Brawijaya, Jawa Timur, bersama Kolonel Witarmin (kiri), Komandan Satgas Operasi Trisula. (koransulindo.com).

Hacker Bjorka tengah menjadi perhatian publik karena membocorkan data-data pemerintah Indonesia yang diduga rahasia. Dalam cuitan sebelum akunnya, @bjorkanism, ditangguhkan (suspended), dia memberikan petunjuk tentang jati dirinya. Dia mengaku diasuh sejak lahir oleh orang Indonesia yang kewarganegaraannya tidak diakui oleh pemerintah Indonesia karena kebijakan setelah 1965. Orang tua angkatnya itu meninggal dunia tahun lalu.

“Dia ingin kembali dan melakukan sesuatu dengan teknologi meskipun dia melihat betapa sedihnya menjadi seorang Habibie. Dia tidak punya waktu untuk melakukannya sampai dia akhirnya meninggal dengan tenang. Tampaknya rumit untuk melanjutkan mimpinya dengan cara yang benar, jadi saya lebih suka melakukannya dengan cara ini. Kita memiliki tujuan yang sama, agar negara tempat dia dilahirkan bisa berubah menjadi lebih baik. Senang bertemu dengan kalian,” cuit Bjorka.

Baca juga: Kerugian Nasional Akibat Genosida Politik 1965-1966

Advertising
Advertising

Dalam profil twitter, Bjorka mencantumkan lokasinya di Warsawa, Polandia. Mengomentari cuitan Bjorka itu, Ismail Fahmi dalam akun twitter @ismailfahmi menyebut motifnya tidak murni leaking tapi ada unsur perlawanan pada politik Orde Baru.

“Ini nyarinya jadi lbh mudah: cari WNI yg dikirim ke Warsawa jaman Sukarno, sudah meninggal, punya anak asuh. Pasti ndak banyak,” cuit pendiri Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia itu.

Aboeprijadi Santoso, wartawan Indonesia yang tinggal di Belanda, dalam tulisannya, Batara Simatupang, Pendekar di Usia Senja, menyebut mahasiswa Indonesia di Warsawa, Batara Simatupang, adik Jenderal TNI (Purn.) T.B. Simatupang, beserta sebelas rekannya menolak screening lalu KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) mencabut paspor mereka pada Oktober 1966. Batara pindah ke Belanda dan meraih gelar doktor bidang ekonomi-sosialis dari Universitas Amsterdam.

Mungkinkah salah satu di antara mahasiswa Indonesia di Warsawa yang dicabut paspornya itu adalah orang tua angkat Bjorka?

Terlepas dari itu, screening (penyaringan atau pembersihan) membuat banyak mahasiswa Indonesia di Eropa Timur dan Uni Soviet dicabut paspornya sehingga menjadi eksil. Mereka adalah orang-orang kiri, nasionalis, Sukarnois, dan menolak mengakui pemerintah baru di bawah Jenderal TNI Soeharto.

Baca juga: Pengakuan Dewa Soeradjana, Eksil Indonesia di Slovenia

M. Djumaini Kartaprawira, mahasiswa Indonesia di Uni Soviet, menyebut mahasiswa Indonesia paling banyak di Moskow. Di kampusnya, Univeritas Lumumba dan Universitas Lomonosov, kira-kira terdapat 500 mahasiswa Indonesia. Selain kedua universitas itu, mahasiswa-mahasiswa Indonesia juga belajar di akademi seperti metalurgi, film, dan lain-lain. Di Odessa, mahasiswa Indonesia berlajar di perguruan tinggi perminyakan, Angkatan Laut, dan lain-lain.

Menurut Djumaini, mahasiswa Indonesia yang belajar di Uni Soviet tidak semua berideologi kiri. Selain itu, ada mahasiswa dari pemerintahan, Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI), dan Nahdlatul Ulama (NU).

“Gus Dur bilang ada anak Ansor yang juga dicabut paspornya. Dia studi kedokteran di Moskow dan selesai. Saya bilang saya kenal orang itu,” kata Djumaini kepada Martin Aleida dalam Tanah Air yang Hilang. Djumaini menyelesaikan pendidikan doktor bidang hukum tahun 1973. Pada 1990, dia meninggalkan Moskow untuk tinggal di Belanda.

Baca juga: Orang-orang Indonesia yang Kehilangan Tanah Airnya

Pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, mahasiswa di Moskow terbelah. Kelompok kanan dipimpin seorang mahasiswa bermarga Sihombing, sedangkan kelompok kiri dipimpin oleh Sinuraya. Mula-mula mereka dipanggil bagian pendidikan KBRI yang memberitahukan tentang perubahan politik di Indonesia. Mereka diminta supaya tetap loyal kepada pemerintah.

Briefing pertama supaya mendukung Sukarno, tetapi pada briefing kedua menjelang akhir 1965 sudah merupakan screening,” kata Djumaini.

Screening mahasiswa di Uni Soviet dan seluruh Eropa Timur dipimpin Atase Militer Brigadir Jenderal TNI M. Jasin. Dia mendapat perintah langsung dari Jenderal TNI Soeharto.

“Dari Jenderal Soeharto, saya memperoleh penjelasan mengenai peristiwa G30S/PKI. Saya diperkenankan kembali ke Moskow dengan tugas mengadakan screening terhadap mahasiswa di seluruh Eropa Timur,” kata Jasin dalam Saya Tidak Pernah Minta Amun Kepada Soeharto.

Baca juga: Atase Militer M Jasin Bagaikan Tahanan Kota di Moskow

Pada tahap pertama, Jasin mengambil tindakan terhadap 37 orang yang terdiri dari pegawai KBRI dan mahasiswa. “Pada pertengahan tahun 1966, terpaksa saya mencabut paspor mereka,” kata Jasin.

Djumaini dan kawan-kawan tidak datang ketika dipanggil untuk kedua kali karena sudah tahu banyak orang kanan yang menentang Bung Karno. Mereka yang datang ditanya macam-macam: orang tua masih hidup atau tidak, kalau hidup, kerja di mana, alamatnya di mana, saudaranya siapa saja?

“Masak saudara-saudara yang jauh ditanyakan. Kalau ditanya orang tua masih bisa diterima. Tetapi kalau yang lain-lain, kita jadi takut. Kita sudah mengira kalau dijawab semua bisa membahayakan,” kata Djumaini yang bersyukur keluarganya selamat.

Setelah di Moskow, Jasin melakukan screening mahasiswa di seluruh Eropa Timur. Dia menanyakan pada mereka apa cita-citanya, keinginannya, dan lain-lain. Mereka diminta mengisi formulir screening. “Saya yang mengambil keputusan, bagi yang hasil screening-nya baik saya siapkan paspor,” kata Jasin.

Baca juga: Kisah Gatot, Orang Indonesia yang Terpaksa Hidup 50 Tahun di Korea Utara

Menurut Jasin, mahasiswa-mahasiswa kiri mengisi formulir sambil mencaci maki pemerintah. Mereka sangat anti pemerintah Orde Baru. Jasin pun mencabut paspor mereka, tetapi pemerintah Uni Soviet melindungi sehingga mereka tetap di sana.

“Di antara mahasiswa itu, ada adiknya T.B. Simatupang (Batara Simatupang, red.) yang menikah dengan orang Rusia,” kata Jasin. Jasin keliru karena istri Batara, Sekartini Markiahtoen Nawawi berasal dari Jawa Barat yang pernah menjadi dosen IKIP Bandung. Mereka menikah di Amsterdam pada 11 April 1985.

Gelombang pembersihan kedua dilaksanakan pada November 1966. Jasin mencabut paspor 115 mahasiswa. “Mereka adalah mahasiswa yang mengadakan aksi menentang pembinaan Orba,” kata Jasin.

Setelah lebih dari satu setengah tahun di Moskow sebagai Atase Militer yang memimpin screening, Jasin kembali ke Indonesia. Dia diangkat menjadi Panglima Kodam VIII/Brawijaya, Jawa Timur. Pangkatnya naik menjadi Mayor Jenderal. Dia juga yang memimpin pembersihan PKI di Jawa Timur.

Baca juga: Jasin, Jenderal Penantang Soeharto

Menurut Jasin, pada 1960-an, mahasiswa terjun ke arena politik bersamaan dengan pengalihan kekuasaan pada militer. Perguruan tinggi tidak lagi menjadi tempat mencetak elite intelektual, tetapi ajang pertempuran politik. PKI banyak tertarik pada kaum intelektual perguaran tinggi.

“Soeharto pun sebenarnya didukung mahasiswa untuk melakukan perubahan, meskipun itu hanya taktik. Belakangan dia pun dipaksa turun dari kursi kepresidenan oleh mahasiswa yang menginginkan reformasi total, setelah berkuasa selama 32 tahun,” kata Jasin yang kemudian melawan Soeharto.

Pada 1999, Djumaini bertemu Gus Dur di suatu hotel di Den Haag, Belanda. Dia menceritakan mengapa paspornya dicabut. Gus Dur mengatakan kalau nanti dia menjadi presiden, yang paspornya dicabut akan dipulangkan ke Indonesia.

Gus Dur menepati janjinya. Ketika menjabat presiden, Gus Dur memproses pemulangan kaum eksil dengan mengirim wakil untuk berdialog. “Dia jadi presiden,” kata Djumaini, “tetapi poros tengah dan militer kemudian menendangnya.”*

TAG

g30s eksil

ARTIKEL TERKAIT

Melawan Sumber Bermasalah Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Hubungan Jarak Jauh Pierre Tendean Kopral Hargijono Tak Sengaja Menembak Ade Waktu Junta Suardi Diperiksa Mukidjan Bukan Tjakra Boengkoes, Tjakra Terakhir di Cipinang Setelah Rohayan Menembak Soeprapto Kolonel Junus Jamosir Digunjing Setelah G30S Junus Samosir, D.I. Panjaitan, dan G30S