Batara Simatupang, Pendekar di Usia Senja
Dia salah satu dari 13 ekonom Universitas Indonesia yang dikirim untuk studi di Amerika Serikat. Namun, ahli ekonomi-sosialis ini tak bisa pulang, paspornya dicabut.
Pematang Siantar 31 Agustus 1940, hari ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina. Ada bocah ikut arak-arakan menjadi boneka melambangkan kemenangan Paman Sam, dengan duduk mentereng di kursi di atas meja yang diusung empat orang. Di depannya ada teks besar yang ditulis ayahnya: Hitler wordt verbannen naar de Stille Oceaan (Hitler dibuang ke Lautan Pasifik).
Dari kekalahan fasis menuju kemerdekaan bangsa. Si bocah itu pula yang kemudian, pada 1945, terkagum-kagum mendengar pidato Amir Sjarifuddin: “Siapa lemah, mati dimakan yang lebih kuat. Cacing lemah, dimakan ayam. Rusa lemah dimakan harimau. Indonesia (jika) lemah, akan mati dimakan Belanda!”
Betapa tragis-ironis. Bocah itu, Batara Simatupang, kelak harus melanglangbuana untuk mengejar ilmu, membaca tiga jilid Das Kapital di Amerika, mendalami ekonomi-sosialis di Yugoslavia dan Polandia, untuk kemudian, ditengah keras dan pahitnya perjuangan hidup di Jerman dan Belanda, berhasil meraih PhD yang menelisik transisi ekonomi-sosialis di Universitas Amsterdam.
Dr. Batara Simatupang, adik almarhum Jenderal TNI (Purn.) TB Simatupang, tutup usia di rumahnya di Amsterdam Noord, Ahad, 27 Mei 2018. Terlahir pada 1932 dari keluarga sederhana –ayahnya seorang pegawai kecil, ibunya berjualan di pasar– dia dibekali ayahnya kecintaannya pada bangsa dan perjuangan Indonesia.
Perjalanan hidup Batara semacam mozaik pahit-getir yang merefleksikan nasib bangsa dan negaranya. Dia terpilih menjadi salah satu dari tigabelas ekonom Universitas Indonesia yang dikirim untuk melanjutkan studi di Amerika Serikat (1959). Bersama karibnya, Emil Salim, yang menuju Berkeley, Batara tiba di Stanford University. Sebagian kelompok tersebut kelak diolok-olok sebagai Mafia Berkeley, tapi Batara menempuh rute dan nasib berbeda.
Batara, dengan antusias, menyerap kuliah ekonomi Neo-Marxis dari Paul Baran, P. Sweezy dan pakar Uni Soviet Michael Dobb, tapi, malang, beasiswanya di Stanford dihentikan. Almamaternya, di bawah Prof. Moh. Sadli, menawarkan studi ekonomi-sosialis di Yugoslavia yang spontan diterimanya. Bahkan ketika telepon berdering menawarkan beasiswa baru untuk Stanford, Batara menolaknya. Kelak ketika dia tahu latar belakang si penelpon –Guy Pauker dari Rand Corporation, “pakar PKI” yang akrab dengan CIA– dia pasti senyum-senyum pahit.
Tekadnya yang kokoh dan prestasinya yang gemilang membekali perjuangannya di dua sisi –menyambung hidup dan mendalami ekonomi-sosialis. Namun, langit tak selalu cerah bagi Batara. Di Beograd, Yugoslavia, dia harus bekerja di Kedutaan Besar RI demi menyambung studi.
Sayang sekali, surat panjang yang diterimanya dari Prof. Sadli yang menugasinya mengkaji ekonomi-sosialis, bersifat pribadi, bukan surat resmi. Surat itu laku untuk meraih akses studi di Beograd dan kemudian di Warsawa, Polandia, tapi tak berbunyi bagi telinga resmi Indonesia yang mempertanyakan statusnya di negeri komunis.
Bandul hingar-bingar politik 1965-1966 yang bergoyang dengan ganas di tanah air, segera menghantam mahasiswa di luar negeri juga. Di Warsawa, Batara berserta sebelas rekannya menolak screening lalu KBRI memvonnis dengan mencabut paspor mereka (Oktober 1966).
Pedih bagi Batara. Namun, kepedihan batin diperlakukan sebagai “manusia tanpa tanah air” itu tak membuat dia mengeluh. Batara orang yang “pantang menyerah,” tulis Emil Salim dalam Otobiografi Dr. Batara Simatupang (h. xi).
Diusir dari Polandia ketika gurubesarnya dipecat di tengah krisis politik, dan izin tinggalnya usai, studi Batara kandas. Dia minta suaka di Jerman Barat dan bekerja di pabrik cat Mainsz-Kastel. “Tidak ada orang tahu bahwa sang buruh yang (selama lima tahun) mengisi ember dengan cat itu adalah putera Indonesia kandidat PhD” (ibid. h. xii). Memburuh, baginya, bagai terapi untuk mengatasi krisis batin.
Tekad kemudian membawa Batara ke Belanda (1978). Dibantu Dr. Peter Idenburg dari Vrije Universiteit (VU), Amsterdam, keduanya menggarap “Proyek Imperialisme Indonesia” yang menarik publik cendekia. Namun ketika Batara melamar posisi dosen Ilmu Politik dan menggagas kajian PhD tentang kemerosotan perdagangan pesisir Jawa di abad XVII, proposal itu ditolak. Sepertinya Batara yang berlatar keluarga Kristen diragukan “kekristenannya” di universitas Kristen tersebut (Ibid. h. 136-137) (Padahal, di VU ada Prof. J. Verkuyl, guru dan sahabat Amir Sjarifudin, yang pernah membela tokoh Marxis-Kristen Indonesia tersebut).
Batara seorang cendekia berwawasan kemasyarakatan mendalam. Kesibukan intelektualnya nyaris tak memberi peluang giat dalam aktivisme LSM seperti Kommittee Indonesie yang dipimpin Prof. W.F. Wertheim. Adalah Wertheim yang memperkenalkan Batara kepada Prof. M. Ellman, pakar ekonomi Eropa Timur, yang kemudian memberi Batara peluang menulis dissertasi tentang krisis ekonomi Polandia 1978-1982. Kajian ini berkembang menjadi buku The Polish Economic Crisis. Background, Causes and Aftermath (1991). Dia pensiun pada 1997.
Di masa 1980-an itulah Batara produktif mempublikasi puluhan artikel ilmiah dan memoranda. Di situ, simpul Emil, “pribadi Batara selaku ilmuwan intelektuil bersinar kembali” (ibid. xiii).
Toh, Batara tak absen dalam aktivisme HAM dan pro-demokrasi Indonesia di Belanda. Di era kejayaan Orde Baru di tahun 1980-an, dia rajin membantu publikasi bulanan Berita Indonesia, periodik kritis Tanah Air, juga menjadi mentor Diskusi Rabu di rumahnya di Vinkenstraat No. 1 dan di markas aktivis di Tuinstraat, Amsterdam.
Tahun 1984, ketika pertama kali mudik untuk menengok ibunya, setelah 26 tahun “tercampakkan” di rantau, Batara harus berulangkali melapor dinas intel. Bertemu Soepardjo Rustam (yang pernah menjadi ajudan T.B. Simatupang semasa perjuangan), menteri dalam negeri itu berbisik kepadanya “Kalau Batara komunis, Anda (Batara) adalah musuh saya”. Batara, dengan rendah hati, menjawab “kita masing-masing adalah anak dari zamannya” (Ibid h. 154).
Momen emas –momen euforia, saat dipeluk kembali oleh “tanah air” yang pernah hilang– tiba, ketika Batara meluncurkan buku otobiografinya dengan dielu-elukan kerabat dan sahabat-sahabatnya di Jakarta pada 2012.
Batara menikah dengan Dra. Sekartini Markiahtoen pada 1985. Bu Tini, dengan penuh kasih, mendampingi Sang Pendekar yang gagah dan gigih itu, hingga akhir hayatnya.
Penulis adalah kontributor Historia di Amsterdam, Belanda.
Referensi: Otobiografi Dr. Batara Simatupang –Kumpulan Tulisan, dengan pengantar Emil Salim, (Jakarta: Yayasan Del, 2012)
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar