ADA dua arus besar penafsiran dalam perdebatan sejarah ihwal peristiwa 1965. Kelompok penafsir pertama berpendapat peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat 1 Oktober 1965 adalah puncak kekejaman PKI dalam sejarah politik Indonesia pascakemerdekaan. Dalam arus penafsiran itu, kekejaman tersebut melengkapi tabiat berontak sejak 1926, 1948 sampai 1965.
Buku Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia (1978) karya Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, dan buku putih terbitan Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya (1994) mewakili narasi kelompok penafsir pertama. Narasi tersebut diberlakukan secara resmi sebagai satu-satunya kebenaran selama Soeharto berkuasa, mengesampingkan adanya cara pandang dan fakta lain terhadap peristiwa yang sama.
Penafsiran lain atas peristiwa 1 Oktober 1965 baru marak sebagai wacana publik setelah kekuasaan Soeharto berakhir. Berembusnya angin perubahan membawa pula peluang keterbukaan bagi banyak pihak, baik para saksi maupun penulis sejarah, untuk mengembangkan narasi lain, berbeda dari narasi resmi Orde Baru.
Baca juga: Selain PKI, inilah versi lain pelaku peristiwa G30S 1965
Narasi tersebut pada umumnya tak hanya merekonstruksi peristiwa pembunuhan para jenderal pada 1 Oktober 1965, namun juga mengungkap apa yang terjadi setelahnya. Kisah itulah yang umumnya tak terdapat di dalam narasi versi penafsir pertama, yang hanya membahas bagaimana jenderal diculik dan dibunuh serta upaya PKI melakukan kudeta terhadap pemerintahan Sukarno.
Karya John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal. Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto menyodorkan fakta dan penafsiran baru yang memperlihatkan adanya kemungkinan lain dalam tragedi berdarah itu: sebuah operasi militer yang gagal dan penggunaan peristiwa pembunuhan para perwira Angkatan Darat sebagai alasan menghabisi eksistensi PKI di atas panggung politik nasional.
Sebelum karya John Roosa terbit, beberapa kajian lain yang mengungkapkan apa yang terjadi pascapembunuhan para jenderal pun telah beredar. Saskia Wieringa mengungkap penghancuran Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Hermawan Sulistyo membahas pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI di Jawa Timur, Vannessa Hearman meneliti operasi penumpasan di Blitar dan Jess Melvin mengungkap peran militer dalam pembantaian massal PKI di Aceh.
Baca juga: Surat dari Praha, sebuah omansa dari masa prahara 1965
Bukan hanya studi akademis, seniman pun turut merekonstruksi narasi peristiwa 1965 berdasarkan cara pandangnya sendiri. Antara lain film Surat dari Praha (2016) karya Angga Dwimas Sasongko, mengisahkan kehidupan seorang mahasiswa Indonesia di Praha yang terhalang pulang akibat peristiwa 1965. Film itu mewakili gambaran nasib ribuan mahasiswa yang dikirim semasa pemerintahan Sukarno untuk tugas belajar, lantas terkatung-katung tanpa kewarganegaraan di negeri orang.
Titik Balik?
Setelah Soeharto jatuh, usaha pengungkapan sejarah juga berbareng dengan upaya mendatangkan keadilan buat para penyintas. Lembaga-lembaga advokasi, baik atas inisiatif masyarakat maupun negara (Komnas HAM), dengan caranya masing-masing memperjuangkan hak-hak korban dan penyintas yang selama masa Orde Baru diperlakukan secara diskriminatif.
Namun upaya mengungkap sejarah dan advokasi terhadap penyintas seringkali dituduh sebagai kerja politik mendirikan kembali PKI. Kecurigaan tersebut muncul karena ingatan khalayak hanya mengacu pada versi monotafsir Orde Baru tanpa membuka diri terhadap versi lain. Bahkan akhir-akhir ini, penggunaan isu komunisme yang dilakukan dalam rangka hajat politik Pilkada dan Pilpres, turut melanggengkan stigma negatif komunisme.
Baca juga: Survei SMRC membuktikan mayoritas orang tidak percaya PKI bangkit
Beredar luasnya isu kebangkitan jutaan anggota PKI, keberadaan kantor PKI sampai dengan gosip kemunculan ketua PKI Baru bernama Wahyu Setiaji membuktikan ketidakmampuan sebagian pihak dalam melihat peristiwa 1965 secara lebih luas dan menyeluruh dari sekadar kontestasi politik komunis versus anti-komunis di masa lalu. Padahal kenyataan sejarah jauh lebih rumit dari sekadar pemahaman yang serba hitam-putih.
Sindrom miopik dan parokial juga mewabah ke ruang-ruang diskusi peristiwa 1965-1966. Silang pendapat terjadi pada seputar kuantitas korban tewas serta skala penderitaan yang ditimbulkan akibat genosida 1965-1966. Sementara itu banyak pula kalangan yang mewajarkan tindakan kekerasan kepada anggota dan simpatisan PKI sebagai balasan setimpal atas apa yang mereka lakukan kepada para korban peristiwa G30S 1965.
Negara yang diharapkan bertanggungjawab atas kegagalan melindungi warganya dalam peristiwa genosida 1965-1966 pun terlihat kikuk menghadapi tuduhan telah berpihak pada PKI. Alih-alih menjadi awal langkah mendatangkan keadilan bagi para korban dan penyintas peristiwa 1965, simposium yang diselenggarakan pemerintah pada 18-19 April 2016 lalu malah menuai reaksi keras dan kini tak jelas lagi kelanjutannya.
Kerugian Nasional
Dari berbagai temuan tentang peristiwa 1 Oktober 1965 dan genosida 1965-1966, ternyata skala peristiwa serta dampaknya jauh lebih besar dari yang pernah diduga: tak hanya menghilangkan nyawa enam perwira tinggi, satu perwira pertama, dua perwira menengah (di Yogyakarta) Angkatan Darat dan putri kecil seorang jenderal, tapi juga menyebabkan tewasnya ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI, puluhan ribu orang ditahan tanpa pengadilan, banyak keluarga tercerai berai kehilangan kesempatan membesarkan anak-anak mereka secara layak dan banyak pemuda kehilangan kesempatan memainkan peranan penting di masa depannya.
Sejarawan UGM Abdul Wahid yang kini tengah meneliti dampak peristiwa G30S 1965 di berbagai universitas di Indonesia menemukan fakta adanya genosida intelektual. Dari 10 kampus yang ditelitinya, diperoleh data sekitar 299 dosen dan 3464 mahasiswa ditahan, hilang atau bahkan tewas sehingga berhenti dari kegiatan belajar-mengajarnya. Intelektual kiri UGM menempati urutan pertama yang paling banyak disingkirkan, meliputi 115 dosen dan 3.006 mahasiswa.
Baca juga: Pembersihan mahasiswa IPB dan UI yang dituduh terlibat gerakan komunis
Selain dosen dan mahasiswa, dalam disertasinya tentang standarisasi pendidikan guru sekolah di Indonesia 1893-1969, sejarawan UGM Agus Suwignyo menemukan pula fakta hilangnya guru-guru sekolah yang berafiliasi kepada PKI. Akibatnya banyak murid sekolah kehilangan guru-gurunya yang kritis serta memiliki kesadaran politik. Sebagian besar mereka tergabung dalam organisasi PGRI Non Vak Central yang dinyatakan terlarang berdasarkan keputusan No. 85/KOGAM/1966 yang ditandatangani Soeharto pada 31 Mei 1966.
Kesempatan untuk mengabdikan ilmu pengetahuan di tanah air juga terhambat bagi para pemuda yang sebelum 1 Oktober 1965 berangkat tugas belajar keluar negeri. Mereka yang mendapatkan beasiswa ikatan dinas dari Kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) atau dari jawatan kerjanya masing-masing, terpaksa mengurungkan niatnya pulang untuk menghindari penangkapan. Banyak dari eks mahasiswa ikatan dinas (Mahid) itu yang akhirnya bekerja di luar negeri, mengamalkan ilmu dan keterampilannya untuk negeri orang.
Tak hanya di bidang pendidikan, genosida 1965-1966 pun berdampak negatif bagi gerakan buruh. Sebagian besar buruh yang berafiliasi dengan PKI dipenjara, hilang atau bahkan tewas atas tuduhan terlibat peristiwa G30S 1965. Berdasarkan keputusan No. 85/KOGAM/1966 ada 62 organisasi serikat buruh di bawah Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang dibubarkan dan dinyatakan terlarang.
Kegiatan kesenian dan kesusastraan yang dinamis penuh kontestasi ide sebagaimana yang pernah terjadi pada era 1960-an, harus berakhir tragis karena sebagian besar seniman dan sastrawan kiri ditahan bahkan terbunuh. Pertarungan ide berakhir dengan pemenjaraan. Karya-karya sastra buah tangan sastrawan terkemuka Pramoedya Ananta Toer harus dibaca secara sembunyi-sembunyi di bawah ancaman subversif selama Soeharto berkuasa.
Baca juga: Alasan Jenderal Soemitro mengizinkan Pramoedya Ananta Toer kembali menulis
Penumpasan kaum intelektual, pegawai, dan buruh yang berafiliasi dengan PKI dan pemerintahan Sukarno ternyata berdampak pula pada berhentinya beberapa proyek-proyek pemerintah. Antara lain Komando Pelaksana Proyek Industri Penerbangan (Kopelapip), embrio industri kedirgantaraan nasional, berhenti beroperasi karena turbulensi politik 1965. Pemimpin Kopelapip Kurwet Kartaadiredja ditangkap dan rencana mendirikan industri penerbangan nasional yang kuat dan mandiri di era Sukarno batal.
Proyek roket nasional, wujud nyata pengembangan ilmu pengetahuan dan keperluan militer pun sempat terhenti akibat huru-hara politik 1965. Sejak 1961 pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Uni Soviet mengembangkan teknologi roket dan pada 1962 membentuk Proyek Roket Ilmiah dan Militer Awal (PRIMA), melibatkan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dengan ITB. Pada 14 Agustus 1964 proyek itu berhasil mengujicoba peluncuran roket di Pameungpeuk, sekaligus menjadikan Indonesia negara kedua di Asia-Afrika setelah Jepang yang berhasil mengembangkan teknologi rudal.
Baca juga: Indonesia pernah menjadi negara kedua setelah Jepang yang dapat membuat roket sendiri
Pemberangusan intelektual kiri, penangkapan massal guru, pembungkaman gerakan buruh dan berhentinya proyek-proyek pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak besar bagi nasib bangsa Indonesia hingga dewasa ini. Dalam soal penyingkiran intelektual misalnya, menurut Abdul Wahid Indonesia telah kehilangan satu generasi intelektual produk periode 1950-an yang kosmopolitan dan liberal.
Budaya intelektual dan tradisi kritis menurun, sementara aktivisme politik mahasiswa dibatasi dengan ketat. Teori-teori kiri dalam ilmu sosial, terutama teori Marxis ditinggalkan dan buku-buku literatur yang membahas teori-teori kiri menghilang dari perpustakaan kampus sebagai konsekuensi pemberlakuan TAP MPRS 25/1966.
Serupa dengan hilangnya tradisi intelektual kritis di berbagai kampus di Indonesia, mengacu pada penelitian Agus Suwignyo, penurunan kualitas kehidupan intelektual pun terjadi di kalangan guru sebagai akibat standarisasi profesi guru yang apolitis semasa Orde Baru.
“Indonesia setelah kudeta 30 September harus menghadapi kehilangan sejumlah besar intelektual dan guru sekolahnya... Beberapa dekade selanjutnya setelah tragedi itu, tak seperti pendahulu mereka yang menikmati sekolah di era 1960-an, orang-orang Indonesia yang terdidik tumbuh secara apolitis dalam pengertian secara umum mereka harus mengambil jarak untuk terlibat aktif dalam proses perubahan sosial,” tulis Suwignyo dalam disertasinya.
Sekolah dan universitas yang seharusnya menciptakan manusia-manusia merdeka dan kritis dalam berpikir serta turut aktif di dalam setiap perubahan sosial kian hari kian berorientasi pada pasar. Lulusan universitas semata bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri. Walhasil banyak anak muda memilih jurusan yang paling diminati pasar tenaga kerja, ketimbang mendalami ilmu pengetahuan dengan alasan minat dan kecintaan.
Baca juga: Orang Korea ini selama 30 tahun meneliti karya-karya Pramoedya Ananta Toer
Tingkat literasi masyarakat Indonesia merosot tajam. Data 2016, Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara, setingkat lebih tinggi dari Bostwana. Kesusastraan bukan menu utama bacaan anak sekolah. Karya-karya Pramoedya Ananta Toer, yang menjadi bacaan bagi siswa sekolah di Malaysia, Australia, Amerika Serikat dan Belanda justru dilarang di negeri sendiri (Yudiono KS, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia: 2007). Bahkan karya-karya Hamka, sastrawan rival kaum kiri, lebih banyak dibaca anak sekolah di Malaysia dan Singapura ketimbang di Indonesia.
Gerakan buruh yang sebelum 30 September 1965 menjadi generator perubahan sosial masyarakat dan mengubah relasi buruh-majikan menjadi lebih berkeadilan, harus berubah di bawah era Soeharto. Menurut riset Razif di kalangan buruh pelabuhan di Tanjung Priok, organisasi buruh semasa Orde Baru dikontrol dan dikuasai oleh orang-orang kepanjangan tangan pemerintah. Daya tawar gerakan buruh tumpul di hadapan pemilik modal dan penguasa.
Baca juga: Peristiwa Tanjung Priok: Darah umat Islam mengalir di Utara Jakarta
Dari berbagai gambaran itu, peristiwa 1 Oktober 1965 dan genosida 1965-1966 memiliki dampak yang lebih luas terhadap kehidupan bangsa Indonesia secara umum, melampaui sekat-sekat kelompok politik yang bertikai dalam periode berdarah itu. Tradisi berpikir logis rasional sebagai syarat supremasi sains produk dari pemikiran kritis, tergantikan oleh nilai-nilai sempit yang tak berorientasi pada kemajuan bangsa serta berwawasan keduniawian.
Rangkaian peristiwa berdarah pada periode 1965-1966 jauh lebih layak disebut sebagai kerugian nasional, ketimbang kerugian satu-dua kelompok. Kerugian itu belum lagi memasuki aspek finansial yang telah dikeluarkan oleh negara untuk membiayai berbagai proyek pendidikan dan pengembangan teknologi sebelum 30 September 1965.
Melihat fakta-fakta yang ada, seyogianya kini tak perlu lagi mencemaskan usaha pengungkapan sejarah periode kelam itu sebagai indikasi kebangkitan komunisme. Karena sejatinya seluruh elemen bangsa ini, baik yang ada di kiri maupun kanan jalan, juga mengalami kerugian besar akibat genosida politik 1965-1966 yang telah menyebabkan jeda panjang bagi setiap usaha untuk membawa bangsa Indonesia lebih maju dari masa sebelumnya.