Masuk Daftar
My Getplus

Kebijakan yang Gagal Dipanen

Solusi Takashi untuk pengembangan sumberdaya manusia: mengirim pelajar ke luar negeri. Sukarno pernah melakukannya.

Oleh: Nur Janti | 10 Nov 2017
Takashi Shiraishi

SEJARAWAN Takashi Shiraishi mengatakan, salah satu hal terpenting yang harus dilakukan sebuah negara adalah memberi pendidikan kepada warganya. Hal itu bisa dilakukan antara lain dengan cara membiayai putra-putra bangsa menempuh studi di negara luar guna meningkatkan sumberdaya manusia. Ketika para pelajar kembali, mereka menerapkan ilmu yang didapat di negaranya sendiri. Dia mencontohkan, Jepang sebagai negerinya bisa maju karena melakukan hal itu, dimulai pada masa Restorasi Meiji.

Dalam pengamatannya, Indonesia semestinya bisa meniru Jepang. Toh, Indonesia pun awalnya berangkat dari cita-cita yang sama. “(Di antara mimpi orang-orang) ada mimpi Bung Karno untuk membentuk bangsa Indonesia dan menyejahterakan rakyatnya adalah yang paling dominan untuk diperjuangkan bersama. Sejarah adalah cara yang sangat baik untuk memahami perspektif sebuah bangsa akan perubahan yang diinginkan karena kita selalu membuat sejarah sesuai dengan kondisi yang diwariskan,” ujarnya dalam ceramah umum sejarah yang dihelat Masyarakat Sejarawan Indonesia di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamis, 9 November 2017.

Kebijakan menyekolahkan putra-putri bangsa ke luar negeri sebenarnya juga telah dilakukan Indonesia pada masa Pemerintahan Sukarno. Negara mengirim ratusan pemuda dari berbagai daerah ke luar negeri untuk mengenyam pendidikan di berbagai universitas sesuai bidang pilihannya. Selain melalui kerjasama dengan negara-negara tujuan, pemerintah melakukannya dengan memberi beasiswa kepada para mahasiswa Ikatan Dinas (Mahid) itu.

Advertising
Advertising

Supardi dan Gatot Wilotikto merupakan dua dari sekian banyak Mahid itu. Bila Supardi mengenyam pendidikan tingginya di Moskow, Gatot melanjutkan pendidikan tingginya ke Jurusan Tenaga Listrik Institute Technology Kim Chaik, Pyongyang. “Mereka hanya memenangkan beasiswa pemerintah, seperti para anak muda yang pintar dikirim belajar ke Delft, Belanda, pada era Habibie,” tulis Tomi Lebang dalam Sahabat Lama, Era Baru: 60 Tahun Pasang-Surut Hubungan Indonesia-Rusia.

Pemerintahan Sukarno lebih memilih mengeluarkan banyak biaya untuk menyekolahkan putra-putri bangsa ketimbang membuka lebar-lebar keran investasi asing guna membangun negeri. Menurutnya, dalam otobiografi berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams, hal itu dilakukan agar kelak kekayaan berlimpah yang dikandung bumi pertiwi bisa sepenuhnya diolah dan dimanfaatkan oleh putra-putra bangsa untuk kemajuan negeri.

Namun, belum lagi program itu mencapai panen, Prahara 1965 keburu membuyarkan semuanya. Sukarno terdepak dari kekuasaan. Hampir semua hal yang dilakukan semasa pemerintahannya digusur oleh program-program Jenderal Soeharto.

Kepada para Mahid, penguasa baru memberi pilihan: mendukung pemerintahannya atau tidak. Banyak para Mahid awam politik sehingga mereka enggan mendukung penguasa baru. Akibatnya, paspor mereka dicabut sehingga stateless dan akses mereka ke instansi yang mengirim diputus. “Sejak itu kami menjadi orang-orang yang terhalang pulang karena Peristiwa 30 September 1965,” kata Supardi, sebagaimana dikutip Lebang. Sementara Gatot, baru bisa pulang setelah puluhan tahun “terdampar” di Korea Utara. “Saya pulang tanpa visa,” ujarnya kepada Historia.

Kisah para Mahid yang kehilangan kewarganegaraan itu menginspirasi sineas Dwimas Sasongko membuat ] Surat Dari Praha. Film itu mengisahkan percintaan Jaya (Tio Pakusadewo) dengan Sulastri (Widyawati). Percintaan itu kandas karena Jaya, yang menjadi Mahid di Praha, kehilangan kewarganegaraan dan tak bisa pulang setelah Prahara 65 akibat menolak kemauan penguasa.

Di situlah arti penting sejarah yang semestinya menjadi bahan pertimbangan bagi setiap pemerintah dalam membuat kebijakan, kata Takashi. “Saya tidak melihat bahwa sejarah bisa dipisahkan dari ilmu sosial. Di satu sisi kita bisa mengombinasikan sejarah dengan ilmu politik atau ekonomi politik,” ujarnya.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Eks Pesindo Sukses Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh AS Kembalikan Benda Bersejarah Peninggalan Majapahit ke Indonesia Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno