Sukarno lulus HBS (Hogere Burgerschool) di Surabaya pada 10 Juni 1921. Seperti teman-temannya, dia ingin melanjutkan ke pendidikan tinggi di Negeri Belanda. Namun, ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, tidak mengizinkan.
Meski Sukarno memohon, ibunya tetap tidak mengizinkan. Bagi ibunya, kuliah di luar negeri tidak salah, tapi banyak jeleknya kalau pergi ke Negeri Belanda. Ibunya bertanya apa yang membuat Sukarno tertarik pergi ke luar negeri: mencapai gelar perguruan tinggi atau mendapat perempuan kulit putih?
"Aku ingin masuk perguruan tinggi, Bu," jawab Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
"Kalau itu yang kau ingini, kau bisa masuk perguruan tinggi di sini," kata ibunya. "Pertama kita harus ingat pada kenyataan dasar yang menentukan segala sesuatu dalam hidup kita. Uang! Pergi ke luar negeri memerlukan biaya yang sangat besar."
Sukarno pun daftar ke Perguruan Tinggi Teknik (Technische Hogeschool te Bandoeng, kini ITB). Dia membawa istrinya, Utari, putri H.O.S. Tjokroaminoto, ke Bandung pada akhir Juli 1921. Mereka indekos di rumah kawan lama Tjokroaminoto, Haji Sanusi, suami Inggit Garnasih.
Baca juga: ITB Rayakan Seabad TH Bandung
Sukarno termasuk dalam sebelas mahasiswa bumiputra di Perguruan Tinggi Teknik. "Kami belajar keras di sekolah. Kuliah-kuliah yang diberikan enam hari dalam seminggu, ditambah dengan ujian tertulis setiap triwulan selama sebulan penuh, benar-benar melelahkan," kata Sukarno.
Belum lama menjalani pendidikan, Sukarno menghadapi masalah. Mertuanya, Tjokroaminoto, ditahan pemerintah kolonial Belanda karena sebagai pemimpin Sarekat Islam dituduh menggerakkan perlawanan di Cimareme, Garut yang disebut kasus Afdeling B.
Sukarno memutuskan kembali ke Surabaya. Dia menghadap Rektor Prof. Ir. G. Klopper M.E. menyampaikan maksudnya untuk cuti kuliah. Dalam percakapan dengan rektor terungkap bahwa kuliah Sukarno dibiayai oleh keluarganya.
"Sebagai seorang mantri guru, Bapak membanting tulang seperti pekerja lainnya. Ibu duduk selama berjam-jam sampai tengah malam ketika lilin penerangan telah redup untuk membatik. Untuk mengumpulkan uang 300 rupiah sebagai pembayaran uang kuliah setahun. Kakakku dan suaminya juga memberikan bantuan sejumlah tertentu setiap bulan," kata Sukarno.
Baca juga: Bung Hatta Membayar Beasiswa di Belanda
Sukarno dan Utari kembali ke Surabaya. Untuk membantu kebutuhan keluarganya, Sukarno bekerja di stasiun kereta api sebagai klerk Kantor Kelas Satu Golongan Satu. Tugasnya yang utama adalah membuat daftar gaji untuk para pegawai. Dari gaji 165 rupiah setiap bulan, dia serahkan 125 rupiah kepada keluarga Tjokroaminoto.
Setelah ditahan selama tujuh bulan, Tjokroaminoto dibebaskan pada April 1922. Sukarno menceraikan Utari dan kembali ke Bandung untuk melanjutkan kuliah.
"Bulan Juli, pada waktu tahun pelajaran baru secara resmi dimulai, aku kembali ke Sekolah Teknik Tinggi dan…kembali kepada Nyonya Inggit," kata Sukarno.
Belum lama mengikuti perkuliahan lagi, Sukarno untuk pertama kali berpidato dalam rapat raksasa di sebuah lapangan di kota Bandung yang diadakan organisasi dan partai untuk memprotes berbagai persoalan.
Pidato Sukarno dihentikan polisi Belanda dan acara dibubarkan. Sejak itu, Sukarno dianggap pengacau dan selalu diawasi polisi Belanda.
Akibat pidatonya itu, Sukarno dipanggil rektor. Prof. Klopper memperingatkan dengan bijaksana, "Bila engkau ingin terus kuliah di sini, engkau harus menekuni kuliahmu. Aku tidak keberatan jika seorang pemuda mempunyai cita-cita politik, tetapi yang harus diingat yang pertama dan paling utama engkau harus memenuhi kewajiban sebagai seorang mahasiswa. Engkau harus berjanji mulai hari ini engkau tidak terlibat lagi dalam gerakan politik."
"Dia sangat baik dalam masalah ini," kata Sukarno yang berjanji tidak akan lagi melalaikan kuliah. "Anda dapat memegang ucapanku ini."
Baca juga: Inggit Garnasih yang Menghidupkan dan Menyayangi Sukarno
Pada 1923, Sukarno menikahi Inggit. Baginya, Inggit sangat penting. "Aku sekarang mahasiswa di tahun kedua. Aku sudah menikah dengan seorang perempuan yang kubutuhkan. Dia adalah ilhamku. Dia adalah pendorongku," kata Sukarno.
Sukarno tetap menaruh perhatian pada politik, sehingga dia tidak berharap menjadi mahasiswa yang cemerlang. Dia lemah dalam mata kuliah ilmu pasti terutama matematika.
"Matematika merupakan pelajaran yang kubenci. Aku tidak begitu kuat dalam matematika. Dalam ujian matematika, kuakui aku berbuat curang, meski hanya sedikit. Kami semua berbuat curang dengan berbagai cara," kata Sukarno.
Menurut arsitek Bambang Eryudhawan dalam "Sukarno, Bapak Arsitek Indonesia" termuat dalam Tegang Bentang: Seratus Tahun Perspektif Arsitektural di Indonesia, mata kuliah favorit Sukarno adalah menggambar arsitektur. Kemajuan pembangunan kota di Surabaya dan Bandung tentu tidak luput dari perhatian Sukarno muda, sekaligus memberi inspirasi bagi karier yang akan ditekuninya di masa depan.
Baca juga: Kisah Hubungan Sukarno dan Wolff Shoemaker
Minat Sukarno pada arsitektur mungkin mendapat pengaruh dari Abikoesno Tjokrosoejoso, adik Tjokroaminoto, yang bekerja sebagai arsitek sejak tahun 1921. Namun, tentu saja pengaruh terbesar datang dari gurunya, C.P. Wolff Schoemaker, arsitek terkemuka yang mengajar mata kuliah arsitektur, ilmu bangunan arsitektonis, sejarah ilmu bangunan, gambar kerja dan rencana anggaran biaya, serta perencanaan kota.
Sukarno memang suka menggambar arsitektur, tapi dia kesulitan dalam kalkulasi bangunan dan komputasi. Sehingga, dia pernah gagal dalam "kleinste vierkanten atau yang disebut geodesi, di mana kita mengukur tanah dan mencoba membaginya dalam ukuran kaki-persegi." Kendati demikian, Sukarno merasa heran dapat melampaui batas nilai yang ditentukan untuk kelulusan.
Baca juga: Sukarno Sebagai Seorang Arsitek
Bambang menyebut seharusnya Sukarno dapat lebih cepat menyelesaikan kuliahnya, tetapi karena urusan keluarga di Surabaya, dia harus cuti selama tujuh bulan. Sesuai target, pada paruh pertama tahun 1926, Sukarno sibuk menyelesaikan tahap akhir masa kuliahnya. Tugas akhir yang disusunnya masih belum jelas: perencanaan jembatan atau pelabuhan.
Sukarno lulus dan diwisuda pada 25 Mei 1926. Dia bersama Anwari, J.A.H. Ondang, dan Soetedjo, menjadi insinyur sipil pertama lulusan Hindia Belanda –setara lulusan Technische Hogeschool Delft, Belanda.
"Ijazahku dalam jurusan teknik sipil menyebutkan aku merupakan spesialis dalam pekerjaan jalan raya dan pengairan," kata Sukarno. "Aku sekarang berhak menuliskan namaku: Ir. Raden Sukarno."