Pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) Komponen Cadangan Pertahanan Negara untuk dibahas di DPR RI membuat publik bertanya-tanya: benarkah akan digelar wajib militer? Masyarakat terbelah dalam memberikan tanggapan. Ada yang setuju, banyak yang tidak.
Mereka yang setuju melihat wajib militer berguna jika sewaktu-waktu negara terancam. Sementara yang menolak berpendapat tidak ada keadaan apapun yang mendesak penerapan wajib militer. Bisa-bisa malah menguras anggaran.
Perdebatan soal perlu tidaknya “wajib militer” juga terjadi pada masa kolonial. Ancamannya nyata. Kala itu Perang Dunia I berkecamuk. Belanda khawatir gelombangnya sampai ke Hindia Belanda. Kalau itu terjadi, bisa-bisa tanah jajahannya lepas. Maka banyak pihak mengusulkan penguatan militer, termasuk menggaet milisi bumiputera.
Isu itu menjadi pembicaraan di Belanda maupun di Hindia. Pembentukan milisi bumiputera dianggap beralasan. Jumlah pemuda usia produktif di Hindia dirasa cukup banyak. Pun, “Perekrutan milisi akan membuka cadangan prajurit potensial dan akan lebih murah biayanya daripada perekrutan prajurit profesional,” tulis Kees van Dijk dalam Hindia Belanda dan Perang Dunia I.
Kelompok yang mendukung gencar berkampanye. Termasuk para pemimpin Central Sarekat Islam dan Boedi Oetomo, yang menganggap milisi bumiputera bagus untuk menanamkan disiplin dan meningkatkan kondisi fisik pemuda. Yang memprotes tak kalah galak. Semaoen, pentolan Sarekat Islam cabang Semarang, mengecam lewat brosur “Anti Indie Weerbaar” karena tak ingin melihat bumiputera jadi tameng Belanda jika pecah perang.
Gerakan pendukung milisi bumiputera mengkristal dalam Comite Indie Werbaar. Pada 3 Januari 1917, komite mengirim delegasi ke Belanda. Namun misi delegasi tak tercapai. Pemerintah Belanda merasa belum perlu melatih milisi bumiputera.
Toh, pada akhirnya pemerintah Belanda melibatkan bumiputera, melalui wajib militer, dalam Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) untuk menjaga Hindia dari ancaman eksternal maupun internal. Selama pendudukan di Indonesia, Jepang juga memberlakukan wajib militer yang ditampung dalam organisasi militer dan semimiliter Pembela Tanah air (Peta) dan Heiho. Bekas prajurit KNIL maupun Peta kelak berperan penting bagi masa depan militer Indonesia.
[pages]
Pasca Kemerdekaan
RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara mengacu pasal bela negara dalam UUD 1945 dan UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara, serta sejalan dengan hakikat pertahanan negara yang bersifat semesta.
Selama perang kemerdekaan, rakyat Indonesia secara spontan angkat senjata atau membantu tentara melawan Belanda. Pengalaman inilah yang menjadi dasar pelibatan rakyat dalam strategi pertahanan negara –hingga kini.
Ketetapan Dewan Pertahanan Negara No 85/1947 tentang Pertahanan Rakyat menjabarkan konsep Pertahanan Rakyat Total, yang melibatkan pegawai negeri hingga orang atau badan partikelir dalam perlawanan. Proses militerisasi juga menimpa sumberdaya dan instansi pemerintah, dari Polisi Negara hingga Perusahaan Tambang Minyak. Mobilisasi ini terutama dilakukan ketika menghadapi agresi militer Belanda II.
Wajib militer secara jelas masuk dalam UUD Sementara tahun 1950. Maka, UU No 29/1954 tentang Pertahanan Negara, dengan konsep “pertahanan rakyat yang teratur”, memasukkan pasal mengenai wajib militer. Pelaksanaannya kemudian diatur dalam UU No 66/1958. Terbitnya seperti hendak memberi jawaban kepada gerakan perlawanan macam DI/TII dan PRRI/Permesta.
Namun, karena proses penerimaan dan ujian calon peserta wajib militer memakan waktu lama, Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Perang Pusat mengeluarkan Peperpu No. 38/1959 yang menjadi dasar penyelenggaraan Wajib Militer Darurat –menyusul kemudian beberapa peraturan lainnya, termasuk dari Kepala Staf Angkatan Laut. Tujuannya, tulis R. Soebijono dalam Wadjib Militer, memenuhi kebutuhan personil jangka pendek dalam menghadapi “full scale operation”.
Dalam pelaksanaannya, Peperpu mengutamakan orang-orang yang pernah bergabung dalam Organisasi Pertahanan Rakyat dan Organisasi Keamanan Desa. Dengan alasan sudah ada UU Wajib Militer, Sukarno lantas menerbitkan Perpu No 39/1960 yang membatalkan semua peraturan Penguasa Perang Pusat dan menyalurkan militer wajib darurat ke dalam wajib militer.
Ketika Sukarno mengumandangkan Tri Komando Rakyat, lewat Perpu No 1/1962 pemerintah melakukan mobilisasi umum dalam upaya “pembebasan” Irian Barat. “Kehadiran tenaga sukarelawan di garis depan tidak saja dalam rangka infiltrasi ke daratan Irian Barat, tetapi banyak pula membantu di dalam penyiapan pembangunan pangkalan-pangkalan serta bongkar muat logistik,” tulis Saleh Djamhari dalam Tri Komando Rakyat: Pembebasan Irian Barat. Misalnya di lapangan terbang Kendari, Amahai dan Letfuan, serta di Ambon.
Semasa konfrontasi dengan Malaysia, Sukarno menerbitkan SK. Pres/PANGTI ABRI/KOTI/1964 tentang pembentukan milisi sukarelawan. Diikuti dengan terbitnya PP No 24/1965 tentang Perpanjangan Dinas Wajib Militer. Atas peraturan-peraturan itu, dibentuk sebuah kelompok milisi bernama Brigade Sukarelawan Bantuan Tempur dengan komandan Brigade Kolonel Inf. Sabirin Mochtar. Selain berasal dari warga yang sukarela mendaftar, mereka berasal dari pegawai negeri sipil.
Di awal Orde Baru, terbit Keputusan Menhankam No. Kep/B/32/1968 tentang Naskah Rencana Realisasi Program Sistem Wajib Latih dan Wajib Militer bagi Mahasiswa. Keluarnya keputusan ini dianggap sebagai upaya meneruskan generasi Resimen Mahasiswa, dibentuk 1959, yang memiliki peran dalam penumpasan “Gerakan 30 September”.
[pages]
Hak Menolak
UU semasa Sukarno memuat materi tentang pembebasan untuk wajib militer. Yakni, bila “mengakibatkan kesukaran hidup bagi orang lain yang menjadi tanggungannya” atau “menjabat suatu jabatan agama atau perikemanusiaan yang ajarannya tidak membolehkan”. Ketentuan ini tak tertera dalam UU Pertahanan Negara tahun 2002 maupun RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara.
Padahal, klausul hak warga negara untuk menolak wajib militer sudah diakomodasi Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui resolusi ke-88 pada 1998 dengan istilah Conscientious Objectors. “Resolusi itu bentuk penolakan dari hati nurani warga negara,” tutur Al A’raf dari Imparsial, kepada Historia. Imparsial, lembaga pembela hak asasi manusia, getol menolak RUU Komponen Cadangan.
Menurut A’raf, melaksanakan wajib militer sama saja merestui penyelesaian masalah dengan peperangan. “Kalaupun ada perang, sudah bukan zamannya lagi banyak-banyakan tentara. Sekarang lebih kepada modernisasi komponen-komponen utama alutsista.”
Dia juga menyoroti kemungkinan militerisasi seperti di masa Orde Baru. “Kalau diloloskan undang-undang ini bisa jadi akan mengembalikan selubung dominasi militer atas negara,” tutur A’raf.
[pages]