ANGGAPAN e-cigarette alias rokok elektronik, yang kondang disebut vape/pod, tidak lebih berbahaya dari rokok konvensional jelas mitos belaka. Bahayanya bahkan bisa melebihi aneka rokok dan cerutu konvensional karena bahan-bahan bakunya tak teregulasi sebagaimana rokok konvensional.
“Hoaks yang menyebut rokok elektronik lebih aman dibandingkan rokok konvensional. Padahal itu juga memperbesar risiko penyakit tidak menular (kanker, penyakit paru, dll),” ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan RI (P2PTM Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi dalam diskusi daring “Dampak Konsumsi Rokok Elektronik bagi Kesehatan” di akun Youtube Kementerian Kesehatan RI, Rabu (11/12/2024).
Di Indonesia, pengguna vape terbilang tinggi dan meningkat tiap waktunya baik dalam jumlah orang yang sudah kecanduan maupun yang belum kecanduan. Dr. dr. Feni Fitriani Taufik dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengungkapkan bahwa dari berbagai hasil riset, dalam kurun hampir satu dekade (2011-2018) prevalensinya meningkat dari 0,3 persen menjadi 10,9 persen.
“Menurut Statista Consumer Insights (Januari-Maret 2023) kita berada di peringkat pertama di dunia dalam hal pengguna yang mencoba setidaknya satu kali dengan 25 persen. Peringkat keduanya Swiss 16 persen, Amerika (Serikat) 15 persen, dan Inggris 13 persen. Kalau di Asia Tenggara, kita juga pangguna rokok (elektronik) nomor satu. Kalau di dunia nomor delapan. Untuk ukuran Asia, kita nomor tiga setelah India dan China,” urai Feni.
Baca juga: Terpukau Tanaman Suci Tembakau
Vape kian digemari kalangan remaja dan anak muda di Indonesia, lanjut Feni, tak lain karena dianggap nikotinnya lebih rendah sehingga bahayanya dianggap lebih kecil daripada rokok konvensional. Faktor lain yang tak kalah berpengaruh dalam memantik rasa penasaran lebih kalangan muda adalah munculnya aneka rasa dan tren kontes membuat trik uap dari vape.
“Padahal ada penelitian yang menyebutkan satu minipod itu sama dengan 20 (batang) rokok konvensional. Banyak juga yang meneliti bahwa kandungan yang tercantum pada (komposisi) cairannya lebih tinggi dari yang sebenarnya. Dan itu semua bukan bahan yang aman dimasukkan ke dalam paru kita,” imbuh Feni.
Hal senada disampaikan pakar farmasi Universitas Airlangga, Prof. Dr. Muhammad Yuwono. Menurutnya, dari sisi perisa untuk menciptakan berbagai varian rasa sangat berbahaya karena belum teregulasi.
“Perisa biasanya dari proses kimia, bisa sintetis dan bisa alami. Perisa sintetis jelas dihasilkan dari proses kimiawi lagi. Kalau perisa alami bagaimana mereka mengekstraknya? Apakah sudah teregulasi? Regulasi jadi sesuatu yang penting untuk menjaga standar mutu bahan-bahannya,” timpal Prof. Yuwono.
Baca juga: Semerbak Aroma Sejarah Pencegah Bau Ketiak
Ironis Terciptanya Rokok Elektronik
Umumnya, menurut Dr. Feni, dalam perangkat vape itu tidak hanya terkandung nikotin tapi juga ada zat formalin untuk pengawet mayat, partikel logam, akrolein yang jadi bahan pewangi, partikel silika, hingga acetalehyde sebagai pelarut pewarna dan karet sintetis. Adapun menurut Prof. Yuwono, kandungan yang terdapat dalam e-liquid atau cairan yang dipanaskan dengan baterai menjadi uap di vape biasanya terdiri dari Propylene glycol untuk memberi pengalaman sensorik seperti merokok konvensional, Vegetable glycerin untuk menebalkan uap dan menghasilkan rasa dari perisa, dan zat adiktif nikotin yang menimbulkan ketergantungan. Kombinasi dari itu semua berpotensi jadi penyebab kanker paru.
Eksistensi vape sendiri bermula dari penemuan vaporizer atau alat penguap yang diperuntukkan bagi urusan medis sejak dekade kedua abad ke-20. Menurut Orlando Scoppetta dan Augusto Pérez Gómez dalam artikel “E-Cigarette and Vaping Use Among High School Students in Colombia: Analyzing Characteristics and Health Concerns” yang termaktub di buku Essentials in Health and Mental Health: Unlocking the Keys to Wellness, Joseph Robinson dari Amerika Serikat menemukan vape pada 1927 dan dipatenkan tiga tahun berselang.
“Prinsip penggunaan perangkatnya bisa dilacak hingga dibuatnya alat vaporizer elektronik ciptaan Joseph Robinson yang kemudian ia patenkan pada 1930,” tulis Scoppetta dan Gómez.
Namun, lanjut Scoppetta dan Gómez, perangkat itu dimaksudkan Robinson untuk diisi obat-obatan medis agar bisa dihirup untuk keperluan penguapan pasien tanpa mengalami kebakaran. Meski dipatenkan pada 1930 di United States Patent and Trademark Office, Robinson tak pernah membawanya hingga pada tahap produksi dan dilempar ke pasaran.
Baca juga: Arus Sejarah Baterai Penopang Mobil Listrik
Adapun rokok elektronik pertama yang diciptakan khusus untuk alternatif para perokok baru muncul pada 1963 lewat karya Herbert A. Gilbert. Bentuk perangkatnya benar-benar menyerupai rokok konvensional, yang kini tergolong dalam Generasi 1 vape. Gilbert sempat berusaha mencari investor untuk memasarkannya tapi gagal hingga ia tinggalkan penemuannya.
“Gilbert sampai mematenkannya juga pada 1963 walau sayangnya ia tak bisa memproduksinya dan membawanya juga ke pasar,” sambung Prof. Yuwono.
Dari sejumlah perintis lain, baru pada 2003 seorang apoteker perusahaan produk ginseng China, Hon Lik, yang mampu mengembangkan rokok elektronik hingga pada tahap produksi dan pemasarannya. Ia mengembangkannya sejak 2001 dengan bentuk pipa merokok nan klasik dengan tenaga baterai sebagai energi penguapan cairan nikotinnya. Ia menamainya Ruyan.
“Hon Lik itu yang menemukan rokok elektronik pertama yang diproduksi dan dipasarkan. Hon Lik mengembangkannya karena terinspirasi dari ayahnya yang perokok berat. Dia risau karena setiap hari sering mengeluh (kakner paru). Makanya Hon Lik ingin membuat rokok yang ‘aman’ tapi akhirnya meninggal juga,” tambah Prof. Yuwono.
Baca juga: Kanker Masa Prasejarah
Ruyan kemudian dipasarkan Hon Lik melalui perusahaan Ruyan Group dan kemudian berubah nama menjadi Dragonite International Limited yang berbasis di Hong Kong. Sejak dipatenkan pada 2003, rokok elektroniknya menyebar luas dengan pesat di Eropa dan Amerika Serikat mulai 2006.
Saking booming-nya vape, sejumlah perusahaan tembakau dan produsen rokok besar sampai tak ingin “ketinggalan kereta”. Setidaknya sejak 2010 sudah lima korporat besar yang mengakuisisi berbagai produsen vape: Imperial Tobacco, British American Tobacco, R.J. Reynolds Tobacco Company, Altria Group, dan Japan Tobacco International.
Di Indonesia, sejumlah produk vape, termasuk yang sekali pakai, mudah dijangkau generasi muda. Kenaikan trennya sejalan dengan maraknya store maupun aplikasi-aplikasi belanja daring yang menjualnya.
“Ini data-data penggunanya 10 kali lipat meningkat. Kalau tadi masih banyak rokok konvensional, saya yakin 3-5 tahun ke depan jika tidak perkuat aturan tentang rokok elektronik, pasti akan kebalik,” tandas Nadia.
Baca juga: Jatuh Bangun Juragan Tembakau Bule